Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Limbungnya bisnis para pengusaha penangkapan tuna Indonesia, akibat melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) di Tanah Air, kini memperoleh ”solusi”. Pemerintah negeri jiran, Malaysia, melalui Fisheries Development Authority of Malaysia, membentuk konsorsium dengan perusahaan penangkapan tuna setempat, Malaysia International Tuna Port Sdn Bhd, dan perusahaan minyak Malaysia, Oil Corporation Berhad. Mereka menawarkan fasilitas solar bersubsidi bagi pengusaha penangkapan tuna Indonesia agar mau bekerja sama.
Harga solar di negeri itu 1,70 ringgit. Konsorsium itu akan memberikan harga solar 1 ringgit atau setara dengan Rp 2.700. ”Sisanya, 0,70 ringgit, akan disubsidi pemerintah Malaysia,” kata Dato Annas Bin Khatib Katib Jafar, perwakilan dari Fisheries Development Authority of Malaysia.
Menurut Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Wilayah Jakarta, Eddy Yuwono, dengan tawaran seperti itu, kapal tuna Indonesia diharapkan hijrah ke Malaysia, menggunakan bendera Malaysia, dan membongkar hasil tangkapannya di sana serta melakukan kegiatan ekspor dari pelabuhan Penang, Malaysia. Para nelayan Indonesia juga diwajibkan memberikan pelatihan kepada nelayan tuna Malaysia tentang soal teknik penangkapan ikan tuna.
Tawaran itu agaknya disambut baik oleh pengusaha penangkapan tuna Muara Baru, Jakarta. Sedikitnya sudah 150 kapal tuna Indonesia yang sudah menyatakan akan bergabung dengan konsorsium itu. Malah nota kesepakatan sudah ditandatangani antara konsorsium dan asosiasi itu pada 30 November 2005 di Jakarta. Kesepakatan itu akan mulai dilaksanakan pada Januari 2006.
”Ini solusi yang bagus,” kata Edwin Mulia, direktur operasi perusahaan penangkapan tuna, PT Asia Persada, yang akan ikut melayarkan delapan armadanya ke Malaysia. Bayangkan saja, kata dia, sekarang ini harga solar industri Rp 6.030 per liter. Untuk sekali melaut ke Samudra Hindia selama 5-6 bulan, kapalnya yang berkapasitas 100 gross ton (GT) harus membawa 100 ton solar. Itu setara dengan Rp 603 juta.
Padahal ikan yang dihasilkan rata-rata 15 ton. Hasil tangkapan itu dijual ke pasar ekspor 40 persen dengan harga Rp 40 ribu per kilogram. Sisanya dijual di pasar domestik dengan harga Rp 25 ribu per kilogram. Jika pendapatan dari sekali melaut hanya sekitar Rp 465 juta, artinya setiap kapal bisa rugi lebih dari Rp 100 juta. ”Jadi sekarang sebagian kapal terpaksa ditambatkan, daripada rugi,” kata Edwin.
Dari delapan kapal yang dimiliki Edwin, kini tinggal empat yang masih beroperasi sejak pulang melaut November lalu. Jika hijrah ke Malaysia, dari hasil perhitungan mereka, di atas kertas bisa untung 25 persen karena biaya solar hanya 35 persen dari seluruh biaya operasional.
Departemen Kelautan dan Perikanan rupanya merasa kecut dengan rencana relokasi para pengusaha penangkapan tuna Indonesia itu. Menurut Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Aji Sularso, jika mereka melakukan relokasi ke Malaysia, Indonesia bisa kehilangan pasokan tuna dalam jumlah yang cukup besar. Sekitar 6.750 ton per enam bulan (sekali melaut).
Menurut Aji, sebenarnya harga BBM yang membubung tidak bisa serta-merta dijadikan alasan penyebab kerugian mereka. Seharusnya para pengusaha itu masih bisa meraih keuntungan melalui efisiensi. Misalnya dengan rasionalisasi armada dan memperbaiki cara penanganan hasil tangkapan di kapal agar harga jualnya tinggi.
Sayangnya, yang terjadi kini, menurut Aji, ikan hasil tangkapan nelayan Indonesia dihargai lebih rendah, meski wilayah tangkapannya sama dengan kapal Thailand. ”Karena, ya, cara penanganan mereka di kapal masih buruk,” kata Aji.
Meski begitu, Aji tak bisa berbuat banyak jika benar ada 150 kapal yang hijrah ke Malaysia dan menggunakan bendera Malaysia. ”Asal mereka mengembalikan dulu izin penangkapan di zona ekonomi eksklusif Indonesia. Dan setelah itu mereka dilarang menangkap ikan di wilayah kita,” kata Aji.
Yang perlu dicermati benar oleh para pengusaha itu tak lain soal kepastian hukum dalam perjanjian tersebut. Sebab, Indonesia tidak punya perjanjian bilateral tentang perikanan dengan Malaysia, tidak seperti dengan Thailand, Cina, dan Filipina. Jika terjadi masalah, tidak ada dasar pemerintah untuk membela mereka. ”Apalagi perjanjian antara mereka sifatnya private, bukan government to government. Pemerintah tidak akan bisa ikut campur,” kata Aji.
Rinny Srihartini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo