Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dana Moneter Internasional (IMF) sepertinya tengah menghadapi masa depan suram. Paling tidak, itulah gambaran sekilas kondisi lembaga keuangan multilateral itu setelah sejumlah negara mempercepat pembayaran utangnya. Pendapatan bunga IMF dari pinjamannya kepada negara-negara yang dilanda krisis mengkerut seiring dengan percepatan pelunasan utang tersebut.
Persoalan itulah yang membayang-bayangi IMF dalam pertemuan tahunan Bank Dunia-Dana Moneter Internasional di Singapura, yang dimulai pekan lalu. Piutang IMF memang menyusut jauh. Pada Desember 2003, total pinjaman IMF masih 72 miliar SDR (special drawing right)—satuan mata uang yang dipakai IMF. Pada Agustus lalu, piutang IMF tinggal 18,2 miliar SDR atau anjlok hampir 75 persen. Satu SDR setara dengan Rp 13.498.
Sebagai penyalur kredit, yang menurut istilah Kepala Ekonom Bank Mandiri, Martin Panggabean, ”mencari makan dari uang yang mereka pinjamkan”, IMF harus menyiasati penyusutan pendapatan ini. ”Karena itu, beberapa bulan lalu mereka mulai mengalihkan kelebihan dananya ke pasar uang atau obligasi,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aslim Tadjuddin, kepada Tempo.
Dua klien besar IMF, Brasil dan Argentina, mempercepat pembayaran utangnya pada Desember 2005. Brasil, yang mendapat pinjaman IMF senilai US$ 30,4 miliar pada 2002, melunasi sisa pinjamannya sebesar US$ 15,46 miliar. Sedangkan Argentina, yang menerima dana bailout sebesar US$ 13,7 miliar pada akhir 2001, membayar saldo utangnya yang masih US$ 9,81 miliar.
Indonesia menyusul langkah Brasil dan Argentina. Juni lalu, Indonesia mempercepat pembayaran utang sebesar US$ 3,7 miliar. Sisanya yang US$ 3,8 miliar akan dibereskan akhir tahun ini. Bahkan, menurut Aslim, waktunya bisa dipercepat karena dananya mencukupi. Seharusnya utang Indonesia baru lunas pada 2010.
Bagi Indonesia, percepatan pembayaran utang ini memang lebih banyak untungnya ketimbang mudaratnya. Cadangan devisa jauh lebih dari cukup. Awal bulan ini, cadangan devisa Indonesia US$ 42,2 miliar. Tak jauh lagi untuk mencapai angka US$ 43 miliar, yang banyak disebut sebagai patokan ”aman” bagi kita untuk membayar sisa utang sekitar US$ 3,8 miliar (lebih dari Rp 34 triliun).
Percepatan itu juga menghemat pembayaran bunga dari semula US$ 800 juta menjadi US$ 600 juta atau ada selisih US$ 200 juta (sekitar Rp 1,8 triliun). Selain itu, percepatan pembayaran ini juga akan mengakhiri perdebatan tak berujung antara mereka yang acap dituduh antek IMF dan mereka yang anti-IMF.
Lembaga keuangan internasional itu memang tak bisa berbuat apa-apa ketika anggotanya banyak yang mempercepat pelunasan utangnya. Kepala perwakilan lembaga ini di Jakarta, Stephen Schwartz, memastikan tak akan memberi penalti atas pelunasan yang lebih cepat dari jadwal ini. ”Kami mendukung langkah itu,” ujarnya, Kamis pekan lalu.
Jika Indonesia benar-benar mempercepat pelunasan utangnya, praktis tinggal Turki yang menjadi klien terbesar IMF saat ini. Sebelumnya, pasien IMF berderet mulai dari Rusia, Argentina, Brasil, sampai negara-negara Asia seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan, yang dilanda krisis finansial mulai pertengahan 1997 silam.
Krisis di negara-negara itu berlalu dan kini justru IMF yang kerepotan menanamkan uangnya. Itu sebabnya, IMF harus berubah. Direktur Pelaksana IMF, Rodrigo de Rato, bukannya tak menyadari soal itu. ”Kami akan merumuskan strategi jangka menengah dan mereformasi struktur lembaga ini,” katanya. Salah satunya adalah dengan mengatur kembali kuota dan hak suara negara-negara anggotanya.
Meski begitu, Rato memastikan masalah perekonomian dunia masih jauh dari beres. Satu-dua negara mungkin berhasil lolos dari krisis, tapi di sudut-sudut benua lain ada lebih banyak lagi yang kini justru di ambang bangkrut. Itu berarti mereka masih akan terus bekerja. ”Tidak mungkin menyelesaikannya dengan satu peluru ajaib,” ujarnya.
Ini pula yang Jumat pekan lalu kembali diungkapkan Presiden Bank Dunia, Paul D. Wolfowitz, di Singapura. Dia menunjuk negeri-negeri di regional Sub-Sahara Afrika. Dia mengatakan, ketika 400 juta orang di banyak negara keluar dari kemiskinan dalam 25 tahun terakhir, ada 600 juta orang di Sub-Sahara Afrika yang kini melarat. Ke sanalah ia meminta lembaga-lembaga donor seperti IMF memperbesar perhatiannya. ”Mereka adalah prioritas saat ini.”
Ada 26 negara yang oleh Independent Evaluation Group (IEG)—salah satu lembaga di bawah Bank Dunia—dimasukkan dalam daftar LICUS (low-income countries under stress). Mereka dinilai sangat rentan jatuh bangkrut karena lemahnya kebijakan, kelembagaan, dan tata pemerintahan.
Pendeknya, ditulis IEG dalam laporannya, mereka menghadapi ”masalah kronis yang parah” dalam politik, sosial, dan penegakan hukum. ”Juga hambatan besar bagi investasi karena terbatasnya sumber daya dalam pemerintahan.” Mau tidak mau, IMF harus mau masuk ke sana. Paling tidak, IMF bisa mendapatkan klien baru.
MTQ, Y. Tomi Aryanto, Yura Syahrul (Singapura)
Negara-negara dalam kategori miskin dan terancam bangkrut atau LICUS (low income countries under stress):
Afganistan, Angola, Burundi, Kamboja, Republik Afrika Tengah, Komoro, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Guinea-Bissau, Guinea, Haiti, Kosovo, Laos, Liberia, Myanmar, Nigeria, Solomon Islands, Somalia, Sudan, Timor Leste, Republik Togo, West Bank dan Gazamereka menolak menyebut Palestina (baru masuk daftar)Pantai Gading, Vanuatu (baru), Eritrea, Zimbabwe.
Sumber: Independent Evaluation Group (IEG)-Bank Dunia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo