Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH hampir 20 tahun Ismail Chamdani berkhidmat sebagai pengusaha mebel. Sampai kini ia tak berani tampil dengan merek sendiri. ”Kami cuma tukang jahit buat produk orang lain,” kata Ismail, Direktur PT Alam Calamus, Kamis pekan lalu. Padahal perusahaan yang didirikan Chamdani, ayah Ismail, itu punya perjalanan bisnis yang tak bisa dipandang enteng.
Sederet merek furniture kelas dunia pernah digarap Alam Calamus. Sebutlah Gervasoni (Italia), Pierce Martin (Amerika Serikat), Gossen (Belanda), Weizel (Jerman), Pavillion Rattan (Inggris), hingga Moeble Pfister (Swiss). Bagi konsumen menengah-atas Eropa, berbagai merek itu tak asing lagi. Gervasoni, misalnya, sudah terdengar sejak 1882. Harga eceran untuk satu sofa merek Gervasoni bisa menembus US$ 6.242—sekitar Rp 56 juta. Kursi rotannya saja sampai US$ 2.418.
Bisa dibayangkan, dengan mengirim 11-12 kontainer (40 kaki) per bulan, rezeki yang dikaut Alam Calamus aduhai nian. Apalagi nilai satu kontainer US$ 15-17 ribu. Namun Ismail sadar, meski bergelimang dolar, ia tak mendapat nilai tambah. Tak banyak pembeli tahu, berbagai merek dunia itu dikerjakan di pabriknya.
Memang, sejak dua tahun lalu Ismail, 42 tahun, berhasrat keluar dengan merek sendiri. Bagai pucuk dicita ulam tiba, pas setahun lalu ia bertemu dengan Joshua Simandjuntak, master seni lulusan Royal College of Art, London, Inggris. Joshua pernah mengenyam jurusan desain furniture ketika menyelesaikan pendidikan strata satu di universitas yang sama. Di Inggris, Joshua sempat bekerja tiga tahun dengan Tom Dixon, salah satu figur desain produk di sana.
Joshua, 34 tahun, sempat tak percaya Alam Calamus pernah membuat produk untuk Gervasoni. Tapi, setelah melihat langsung produk Alam Calamus, justru Joshua yang meyakinkan Ismail untuk berani mengusung merek sendiri. ”Kalau sudah bisa membuat produk Gervasoni, kenapa takut bikin merek sendiri?” kata Joshua.
Bergabunglah Joshua di Alam Calamus. Ismail juga menggandeng Leo nard Theosabrata, Alvin Tjitrowirjo, Cory Grosser (Amerika), dan Carlo Tinti (Italia). Sebagai penasihat desain, ia memilih Yamakawa Yazuru, 72 tahun, pakar rotan dari Jepang. Mereka semua menjadi desainer lepas (freelance) di Alam Calamus. Nama Chamdani dipilih sebagai merek produk.
Sebagai imbalannya, para desainer memperoleh royalti dari setiap penjualan mebel yang dirancangnya. Besarnya 5-7 persen dari harga free on board (harga produksi plus biaya angkut hingga ke kapal). Para desainer juga menerima pembayaran royalti di muka US$ 1.500.
Alam Calamus berhak memiliki hasil rancangan para desainer selama lima tahun. Setelah lewat masa itu, kesempatan melanjutkan kerja sama tetap terbuka. Tapi, bila kerja sama tak berlanjut, rancangan dikembalikan ke masing-masing desainer, yang kemudian bebas menjual rancangannya bila pabrikan lain berminat.
Agar merek ini lekat di hati pasar Eropa, Chamdani gencar mengikuti berbagai pameran mebel skala internasional. Contohnya di Milan, Italia, pada April lalu, serta di Koln, Jerman, pada Januari dan awal September silam. Hasilnya, dua merek mebel Eropa, Weizel (Jerman) dan Tecan (Spanyol), bersedia menjadi distributor utama Chamdani. Sekitar 60 sampel Chamdani juga sudah menyebar ke berbagai pasar di Eropa.
Begitulah, kata Ismail, cara Chamdani membangun citra di pasar Eropa. Soalnya, sebuah produk baru butuh waktu 6-9 bulan untuk bisa diterima pasar luar negeri. ”Itu umur paling cepat untuk pengiriman kontainer pertama,” ujar Ismail. Bahkan tak jarang dibutuhkan sampai setahun untuk menjajal sebuah produk baru di pasar mancanegara.
Sembari menggelitik pasar Eropa, Ismail juga tetap membidik pangsa pasar domestik. Salah satunya dengan mengikuti pameran 100% Mebel Indonesia, yang berlangsung di SCBD Semanggi, Jakarta, pekan ini. Dengan pangsa pasar menengah ke atas, harga sebuah kursi rotan Chamdani dipatok Rp 2,5–3 juta. Sofanya di sekitar Rp 7 juta.
Belakangan, model kerja sama yang dilakukan Alam Calamus mulai menyebar. Lewat seminar Indonesia Design Power, Juli lalu, ada lima perusahaan mebel yang sepakat bekerja sama dengan para desainer produk. Kolaborasi itu diharapkan bisa menciptakan desain baru.
PT Kharisma Indonesia termasuk yang menempuh model ini. Serupa dengan kebanyakan perusahaan mebel rotan lainnya di Indonesia, Kharisma selama ini memproduksi furniture menurut pesanan, dengan desain yang ditentukan pemegang merek. Hampir 80 persen pesanan berasal dari Jepang, sisanya Amerika dan Eropa. Pangsa pasarnya kelas menengah ke bawah. Dengan kapasitas produksi 25 kontainer per bulan, nilai produksi Kharisma US$ 7.000-10.000 per kontainer.
Kharisma juga ingin membuat merek sendiri, dengan pangsa pasar menengah ke atas. Tiga desainer produk digamit Kharisma, di antaranya Joshua Simandjuntak. Untuk mewujudkan mimpi itu, Kharisma kini membangun galeri empat lantai di bilangan Hasyim Asyari, Jakarta Pusat. Galeri itu diberi nama Maza, sesuai dengan nama merek yang akan diluncurkan pada Oktober mendatang. Peluncurannya bertepatan dengan Pameran Produk Ekspor 2006. ”Kami tidak hanya membuat furniture, tapi juga berbagai hasil kerajinan,” kata Frans Ronald Tambunan, Direktur Utama Kharisma.
Kolaborasi dengan desainer produk itu boleh jadi memberi napas segar bagi industri mebel Indonesia. ”Sebab, tren furniture dunia saat ini lebih mengedepankan desain,” kata Sae Tanangga Karim, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo). Masalahnya, kata Angga—begitu Tanangga biasa dipanggil—perkembangan desain furniture di Indonesia lambat.
Produsen selalu bergantung pada gambar yang disodorkan pemilik merek. Akibatnya, sangat mengandalkan pesanan dari luar negeri. ”Pasti kalah dengan Cina, yang produknya lebih murah, produksinya lebih cepat,” kata Angga. Bila sudah begitu, nilai ekspor mebel Indonesia akan semakin jomplang.
Pada 1996, nilai ekspor Indonesia US$ 946 juta, Cina US$ 1,3 miliar. Tapi, pada 2005, nilai ekspor Indonesia US$ 1,8 miliar, Cina melejit US$ 14 miliar—menjadi nomor satu di pasar global, menggusur Italia, yang nilai ekspornya ”hanya” US$ 12 miliar.
Memang tak semua perusahaan mebel cuma menunggu. Tengoklah, misalnya, usaha Leonard Theosabrata bersama ayahnya, Yos S. Theosabrata. Sejak 2002, duet ayah-anak ini mengembangkan kursi merek Accupunto. ”Saya mengembangkan sistemnya, Leo yang mendesain,” kata Yos.
Kebetulan Leo, sang ayah, sudah malang-melintang di industri mebel sejak 1979, dan pernah mendesain furniture untuk Hotel JW Marriott dan Hilton di Amerika. Sedangkan Leo, 29 tahun, desainer produk lulusan Art Center College of Design, Pasadena, Amerika Serikat. Kolaborasi itu sukses. Kursi berkerangka metal dengan dudukan tonjolan plastik ciptaan mereka mendapat Red Dot Award di Essen, Jerman, sebagai inovasi terbaik 2003.
Pada tahun berikutnya, mereka meraih gelar Best of the Best dari Interior Innovation Award di Koln, Jerman. Masih pada tahun yang sama, Accupunto mendapat penghargaan Good Design Award di Jepang. Kini kursi Accupunto sudah dijual di Italia, Denmark, Finlandia, Jerman, dan Spanyol. ”Bila dijual eceran, bisa 1.000 euro per unit,” kata Yos. Angka itu empat kali lipat dibandingkan harga jual di Jakarta.
Accupunto juga pernah mendapat proyek untuk Hotel Novotel Dubai, Hotel Novotel Singapura, dan Hotel Ascott Malaysia. Omzetnya kini rata-rata US$ 100 ribu per bulan. ”Masih kecil, karena kita masih dalam tahap membangun brand,” kata Leo. Tapi, paling tidak, orang macam Yos, Leo, dan Joshua kini yakin, kreativitas bisa menjadi bekal bertahan dari gempuran produk luar negeri.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo