Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasanya belum terlalu lama Indonesia membanggakan diri sebagai satu dari sedikit negara Asia yang berhasil memulai reformasi pada tahun 1998. Tiba-tiba saja insiden di Singapura dan Batam pekan silam mengingatkan pada sebuah aroma Orde Baru: otoriter. Tak kurang dari Presiden Bank Dunia, Paul Wolfowitz, yang mengucapkan kata "otoriter" atas larangan terhadap para aktivis-termasuk aktivis Indonesia-untuk masuk ke Singapura.
Syahdan, Singapura sedang mendapat jatah untuk menjadi tuan rumah sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Semula, sejumlah lembaga swadaya masyarakat internasional yang dimotori oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mempunyai rencana mengadakan aksi demonstrasi di Singapura. Kelompok aktivis menilai, IMF dan Bank Dunia tetap tidak berpihak kepada negara miskin dan berkembang. Apa boleh buat, Singapura kemudian melarang aksi ini dengan menggunakan undang-undang di negaranya. Singapura malah melakukan cegah tangkal terhadap 28 aktivis, kendati mereka undangan resmi IMF dan Bank Dunia. Karena itu pula, IMF dan Bank Dunia melayangkan protes kepada Singapura. Itu belum selesai. Empat aktivis-dua orang dari Kanada dan dua orang dari Amerika Serikat-dideportasi dari negeri pulau itu.
Tidak kurang akal, para aktivis sepakat memindahkan aksi demo ke Batam, yang letaknya tak jauh dari Singapura. Lho, ternyata kawasan ini masih belum "tersentuh reformasi" atau masih terbiasa dengan gaya masa lalu yang mempersoalkan keamanan dan citra. Para aktivis tidak diizinkan mengadakan demonstrasi, tetapi diizinkan menyelenggarakan seminar tentang kemiskinan. Dan jangan lupa, penyelenggaraan seminar itu dijaga ketat oleh seribu polisi, termasuk dari pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror, disebar di titik masuk kota dan sejumlah tempat keramaian.
Aksi seperti negara sedang dalam bahaya ini mau tak mau mengingatkan kita pada aroma dan gaya Orde Baru, ketika kehidupan bersuara dan berpendapat ada pada titik terendah. Singapura memiliki peraturan dan undang-undangnya sendiri, dan harap diingat mereka juga tidak memiliki pers yang bebas bersuara. Sebagai tetangga, kita tak perlu "ketularan".
Jika pihak Bank Dunia dan IMF saja dengan legawa sudah memberi akreditasi kepada para aktivis itu untuk ikut bersuara-dan sudah pasti suaranya berisi protes-kenapa pula pihak tuan rumah Singapura dan tetangganya, Indonesia, harus pasang pagar? Skenario terburuk apakah yang terbayang seandainya pun demonstrasi itu berlangsung?
Seharusnya pemerintah Indonesia, sebagai negara yang baru saja menyatakan diri memasuki era reformasi, bisa cukup santai dan nyaman untuk mengizinkan para aktivis berdemonstrasi. Tentu saja untuk mencegah kericuhan-yang bisa saja terjadi akibat insiden tak terduga-harus tetap disiapkan aparat keamanan dalam jumlah yang proporsional. Insiden September ini justru akan memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia masih memiliki sisa-sisa gaya pemerintahan lama. Dan pemerintahan gaya lama (baca: Orde Baru) bukan sesuatu yang menarik bagi masyarakat Indonesia maupun internasional. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo