DI Jenewa, udara musim panas terasa menghangatkan. Khususnya bagi peserta sidang tahunan pertama Dewan Gubernur Dana Bersama untuk Komoditi (Common Fund for Commodities: CFC). Bagi delegasi Indonesia, hawa segar bulan Juli itu semakin menggairahkan. Soalnya, baru 19 Juli lalu, calon Indonesia terpilih menjadi managing diree tor CFC. Ini bukanlah keberhasilan yang biasa di forum internasional. Prestasi itu harus dicatat. Budi Hartantyo, 61 tahun, adalah calon Indonesia yang terpilih, sesudah bertarung melawan banyak calon tangguh lainnya. Lelaki kelahiran Lamongan, Jawa Timur, itu dikenal sebagai diplomat karier yang pernah bertugas di perwakilan RI di New York, San Francisco, Canberra, dan Brussels. Ia juga bekas Deputi Wakil Tetap RI di Jenewa, 1978-1981. Terakhir, ayah seorang putri ini menjadi dubes di Budapest, Hungaria, sebelum akhirnya ditarik menjadi staf ahli Ketua BKPM. Pada sidang antara 10-21 Juli, Budi berhasil menyisihkan lima calon tangguh dari Denmark, Bangladesh, Mesir, Nigeria, dan India. Semula di putaran pertama pemilihan yang berdasarkan sistem gugur ini, suara bagi Indonesia 17.963, sementara India memperoleh 15.192. Pada putaran ini juga, Bangladesh - yang konon sengaja ikut untuk mengacau perolehan suara India -- dinyatakan gugur, karena mendapat suara minoritas. Pada putaran kedua, Denmark dan Nigeria mengundurkan diri. Konon, ini berkat lobby Indonesia. Maka, sebagian suara pindah ke Indonesia. Cina, misalnya, yang semula mendukung Bangladesh, kemudian memperkuat posisi Indonesia. Alhasil, pada putaran ketiga Indonesia tidak lagi sulit menggondol kemenangan. Budi mengumpulkan 47.724 suara, sementara Indrajit Singh Chadha--calon dari India--hanya beroleh 17.642 suara. Kalau mau dikaji, kemenangan Budi sebenarnya sudah dirintis dari awal oleh Menlu Ali Alatas dan bekas Menko Ekuin Widjojo Nitisatro. Gagasan untuk membentuk CFC, misalnya, telah dimulai sejak diterimanya resolusi mengenai Program Komoditi Terpadu pada Konperensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) IV di Nairobi, tahun 1976. Dalam konperensi itu, delegasi Indonesia yang memegang peran penting dalam upaya pembentukan CFC tadi, dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Alatas sendiri berperan pada tahap-tahap negosiasi dalam rangka pembentukan Persetujuan Dana Bersama, ketika Wakil Tetap RI di Jenewa itu menjadi juru bicara Kelompok 77. Itulah sebabnya berita keberhasilan Budi disambut hangat di Jakarta. "Saya langsung telepon Pak Widjojo," ujar Alatas. Kepada wartawan Alatas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara pertama yang menandatangani dan meratifikasi Persetujuan "FC. "Maka, wajar kalau Indonesia diberi kepercayaan menjadi Managing Director CFC yang pertama," katanya tandas. Perjuangan mengegolkan calon Indonesia dilakukan serius. Di Jakarta, misalnya, Menlu Alatas melobi para dubes. Pejabat Deplu yang lain berkeliling ke 17 negara, untuk memperkenalkan calon Indonesia, sekaligus mencari dukungan. Usaha yang begitu sungguh-sungguh dengan sendirinya mencerminkan betapa pentingnya CFC, sebagai lembaga keuangan internasional yang bergerak di bidang komoditi. Dan Indonesia menyadari hal ini. Salah satu keunikan CFC adalah bahwa sistem pengambilan suaranya menjadikan negara berkembang punya posisi kuat. Bagi negara berkembang, CFC berfungsi untuk menyediakan dana yang akan digunakan untuk membeli komoditi - khususnya komoditi pertanian yang diekspor negara berkembang - ketika harga labil. Kelak jika harga stabil, barulah komoditi itu dijual ke pasaran. Dengan begitu, pendapatan nyata negara pengekspor komoditi dapat ditingkatkan. Selain itu, rekening CFC yang lain diperuntukkan bagi penyediaan dana di luar cadangan penyangga, seperti pada program diversifikasi ekspor dan distribusi komoditi. Untuk itu, CFC mendapatkan modal, baik dari kontribusi langsung negara peserta - sebesar US$ 470 juta - maupun dari sumbangan sukarela sebesar US$ 280 juta. Untuk sumbangan yang disebut terakhir ini, Indonesia bersedia menyetor US$ 1 juta.Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini