SGS akan tetap berperan, setidaknya sampai tahun 1994. Apakah penggantinya, SI, bisa tampil profesional dalam waktu tiga tahun? Hal itu juga yang dipertanyakan oleh importir. KALAU dihitung-hitung, hanya tinggal tiga bulan lagi -- bahkan kurang beberapa hari -- PT Surveyor Indonesia (PT SI) harus sudah bisa bekerja sebagai pemeriksa barang-barang impor yang akan masuk ke Indonesia. Paling tidak, tugas itu harus sudah dilakukan PT SI di Pulau Batam sejak 1 Agustus 1991. Tapi apa yang terjadi? Hingga berita ini diturunkan Selasa pekan ini, yang namanya PT SI tak kunjung jelas sosoknya. Ternyata, semuanya memang serba tak jelas. Baik bentuk perusahaannya, besar modal yang akan ditanamkan, maupun pembagian saham di antara Pemerintah, Sucofindo, dan SGS. Menteri Perdagangan Arifin Siregar pekan lalu mengatakan bahwa di PT SI Pemerintah akan memegang saham sebesar 50%. SGS dan Sucofindo masing-masing 40% dan 10%. Tapi, ketika informasi ini dikonfirmasi oleh TEMPO, Arifin malah hampir-hampir tidak bersuara. Dia hanya mengatakan, "Semuanya sudah ditangani oleh Departemen Keuangan." Yang lebih mengherankan ialah Departemen Keuangan. Lembaga yang dipimpin Menteri Sumarlin ini, tampaknya, belum bisa merinci ataupun membenarkan pernyataan Menteri Arifin. "Nilai investasi maupun pembagian sahamnya masih dalam taraf perhitungan," kata Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura. Bahkan lebih dari itu, PT Sl-nya sendiri juga belum terbentuk. Ketidaktahuan serupa juga diungkapkan I Nyoman Moena, Dirut Sucofindo. "Modalnya sih tentu saja duit, tapi saya tidak tahu berapa jumlahnya. Wong perusahaannya saja belum berdiri," katanya sambil terbahak. Moena menduga, SI tidak akan memakan banyak investasi karena modal utama perusahaan seperti ini bukan uang melainkan tenaga kerja. Satu hal yang agaknya sudah pasti adalah, Sl tidak akan merekrut karyawan dari Bea dan Cukai, ataupun dari instansi pemerintah lainnya. "Sebab, ini merupakan perusahaan yang berdiri sendiri," Nasrudin menjelaskan. Tapi, rekrutmen itu pun belum dilakukan karena SI juga belum menjelma sebagai badan usaha. Dalam kata lain, SI belum apa-apa. Dan tak bisa dibayangkan bagaimana (calon) perusahaan ini akan memulai kerjanya yang pertama di Pulau Batam, Agustus nanti. Ketidaksiapan seperti ini bisa saja terjadi, mungkin lantaran keputusan yang diambil terlalu mendadak, mungkin juga karena alasan lain. Terlepas dari gambaran samar-samar seputar SI, para pengambil keputusan tampaknya sudah memperhitungkan kemungkinan terjadinya hal-hal seperti ini. Buktinya, selain di Pulau Batam, pemeriksaan barang impor di negara asal, hingga satu tahun kemudian (sampai 1 Agustus 1992), tetap akan dipegang SGS. Bedanya, kelak perusahaan survei dari Swiss ini tidak akan meneken kontrak kerja dengan pemerintah RI, melainkan dengan SI. Dan sesuai dengan pernyataan pers Pemerintah, perjanjian kerja antara SI dan SGS bisa diperpanjang maksimal hanya dua kali. Ini berarti, pada awal Agustus 1994 nanti, SI harus sudah siap melakukan pemeriksaan barang-barang impor di negara asal. Tidak semua barang impor akan ditangani SI, minimal sekitar 85%. Alasannya: tidak ekonomis kalau seluruhnya ditangani SI. "Masa di negara-negara yang cuma sekali-sekali menjual barang ke Indonesia harus didirikan perwakilan SI," kata Nasrudin. Nah, volume impor yang 15% itulah yang kelak akan diserahkan kepada SGS -- - yang jelas-jelas sudah punya jalinan kerja dengan Indonesia. Atau, kalau tidak, secara eceran mungkin istilah ini tidak begitu tepat -- akan disubkontrakkan kepada perusahaan swasta di negara asal barang. Harus diakui, peran pemeriksa barang di negara asal tak bisa dianggap ringan. Sering terbukti, selain arus barang menjadi lebih lancar, Pemerintah juga telah memetik cukup banyak keuntungan. Sepanjang periode 1985-1990, misalnya, ada sekitar 4,5 milyar dolar devisa yang dihemat dari koreksi harga bahan baku dan barang modal yang dimasukkan ke Indonesia. Selain itu, selama periode yang sama, telah dapat dicegah terjadinya under-invoicing dan over-invoicing yang meliputi nilai 3,2 milyar dolar. Kalau melihat jumlah uang yang "terselamatkan", peran pemeriksa barang impor ini penting adanya. Tapi, mampukah SI -- dengan "waktu belajar" yang hanya tiga tahun -- menggantikan SGS yang sudah berpengalaman puluhan tahun, dan memiliki perwakilan di berbagai negeri? Yang pasti, pertanyaan serupa itu juga dilontarkan oleh hampir sebagian besar pengusaha yang berkepentingan erat dengan barang-barang impor. Kepada TEMPO, mereka menyatakan tidak hanya meragukan kemampuan SI, tapi juga mengkhawatirkan berperan penuhnya kembali Ditjen Bea dan Cukai sebagai pemeriksa barang di dalam negeri. Sikap pesimistis itu tak sedikit pun disembunyikan. Wakil Presdir Grup Astra, Edwin Soeryadjaya, pernah memetik pengalaman tak sedap dari masa pra-SGS tempo dulu. Menurut Edwin, sebelum SGS berperan, Astra terpaksa menanggung beban biaya tinggi. Soalnya, lambatnya pemeriksaan di pelabuhan menyebabkan grup ini harus menyetok suku cadang untuk 1,5 tahun di muka. Lain halnya ketika SGS beroperasi. "Semuanya berjalan lancar," tutur Edwin dengan rasa puas. Sejak itu, Astra hanya melakukan penyetokan suku cadang untuk waktu tiga-empat pekan saja. "Dari situ saja Anda sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang bisa kami hemat," ujarnya. Wajarlah bila bos Astra ini berharap, SI akan bisa bekerja segesit SGS. "Pokoknya, asal jangan menghambat impor, deh," pesan Edwin. Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini