Seorang pemuda yang dianggap suka mencuri dirajam puluhan penduduk dua hari setelah Lebaran. Jalan pintas melawan kejahatan? KEKEJAMAN masyarakat melawan kejahatan kadang-kadang bisa kelewat batas. Bahkan masih dalam suasana halal bihalal, dua hari setelah Lebaran, puluhan penduduk di Sawangan, Bogor, Jawa Barat, tega merajam seorang warganya, Nalih alias Ligut, hingga tewas. Kemarahan massa terhadap Ligut, yang dianggap penduduk suka mencuri dan membuat onar, tampaknya tak kepalang tanggung. Bahkan ketika tubuh Ligut yang dibungkus karung telah berkelojotan dan dari mulutnya keluar rintihan takbir "Allahu Akbar ... Allahu Akbar", puluhan orang tetap saja menghunjamkan pukulan, bacokan golok, kapak, batu, bertubi-tubi ke tubuh itu. Akibatnya, riwayat pemuda 20 tahun yang konon memiliki ajian Belut Putih itu tamat dengan tubuh tak berbentuk. Kekesalan penduduk Desa Pasir Putih dan sekitarnya, di Kecamatan Sawangan, memang telah berkarat terhadap Nalih, yang lebih beken dipanggil Ligut itu. "la didiamkan orang kampung karena tingkah lakunya nggak resep," kata ketua RT di Pasir Putih, Inan, tempat orangtua Ligut tinggal. Kata Inan, tak terhitung banyaknya pemuda itu mencuri radio, tape recorder, dan uang milik tetangganya. Tak jarang pula ia kepergok ketika beraksi. Namun, Ligut yang bertubuh sedang itu, malah menantang korbannya berkelahi. Bukan tak pernah pula ia dikeroyok penduduk. Tapi, ini yang mengherankan keluarga dan juga tetangganya, ia bisa saja lolos dari kepungan pengeroyoknya, lalu lari tanpa cedera apa-apa. Dari situlah lalu bertiup kabar burung "Ligut punya ilmu Belut Putih". Ayahnya, Saimin, pernah menanyai Ligut soal itu, tapi pemuda tersebut melengos saja. Saimin sendiri mengaku sudah kewalahan mengatasi kelakuan anaknya. Bahkan, ketika masih duduk di kelas 3 SD. Ligut terpaksa berhenti sekolah karena teman-temannya ketakutan padanya. Namun, sejak itu pula kenakalannya makin menjadi-jadi. Tak hanya di luar, di dalam rumah pun ia sering membuat takut orangtua atau saudara-saudaranya karena suka mengancam dengan goloknya. Untungnya, ia jarang terlihat di rumah. "Dari 12 anak saya, hanya Ligut yang sering ngelayap," kata Saimin, yang sehari-hari berdagang tape. Di kampung, bahkan sampai ke luar kampung, nama Ligut beken. Ia juga dikenal suka memburu gadis dan royal kepada gadis yang disenanginya. Pemuda berambut keriting itu juga sering terlihat hanya berkain sarung, dengan walk-man tak lepas dari telinganya. Playboy musiman itu, begitu orang kampung mengejeknya, suka sekali lagu-lagu cinta. Kejengkelan penduduk memuncak ketika Ligut ketahuan mencuri radio dari warga Kampung Prigi, tak jauh dari tempatnya tinggal, pada malam Lebaran lalu. Hebatnya, ia berani mencoba menjualnya kepada orang yang tinggalnya masih di sekitar situ juga. Pada saat itulah ia dipergoki oleh rombongan warga yang mau berhalal bihalal. Dasar Ligut, ketika ditegur, ia malah mengambil sikap menantang orang-orang itu. Tak ayal lagi, warga segera saja mengepungnya. Biarpun ia memberikan perlawanan, massa yang bertambah ramai membuatnya terpojok. Ligut diarak beramai-ramai ke rumah RT Bantong untuk diadili. Pintu rumah RT Bantong berantakan mereka desak. Dan setelah itu, entah siapa yang memulai, eksekusi dilaksanakan. Setelah nyawa Ligut putus, prosesi pembantaian tak segera berhenti. Warga ramai-ramai menyeret jasad Ligut. Kaki dan tangan Ligut diikat tali plastik, dan tubuhnya dibungkus karung. Mayat pemuda itu kemudian dibuang di kebun karet, sekitar setengah kilometer dari tempat pembantaian. Malam itu juga polisi turun tangan. Mayat Ligut yang sudah hancur -- kedua otot tungkainya putus, dan tubuh tak terbentuk -- diserahkan kepada orangtuanya. "Kami tak akan menuntut apaapa atas kematian anak kami," ujar Saimin pasrah, kendati ibu Ligut syok melihat nasib anaknya itu. Bagaimanapun, Kapolres Bogor, Letnan Kolonel James D. Sitorus, menyesalkan pembantaian itu. Kendati belum menahan seorang tersangka pun, Sitorus berjanji akan terus menyidik kasus itu hingga tuntas. Ia mengerti, penduduk takut kepada Ligut sehingga tak satu pun laporan yang masuk ke polisi tentang kejahatan almarhum. "Seharusnya, kalaupun takut lapor lisan, kan bisa melalui tulisan. Dan kami pasti akan datang," ujar Sitorus. Kejadian itu agaknya bisa jadi cermin bahwa banyak warga lebih percaya kepada tindakan menghakimi sendiri daripada melapor ke petugas. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini