Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu Kompetisi Dibuka

Pelabuhan Tanjung Priok makin tertinggal oleh pelabuhan-pelabuhan lain di Asia Tenggara. Perlu ada kompetisi.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di pelabuhan laut kita tak kunjung jaya. Meski sudah lama tersohor sebagai negeri maritim, tak satu pun pelabuhan di Indonesia yang mampu unjuk gigi di kancah internasional. Bahkan hanya sekadar di Asia Tenggara sekalipun. Lemahnya kompetisi di sektor ini dituding sebagai penyebab rendahnya efisiensi dan produktivitas pelabuhan laut.

Ketua Umum Indonesian Shipowner Association, Oentoro Surya, mengungkapkan, rata-rata infrastruktur pelabuhan Indonesia buruk. Salah satunya berkaitan dengan alat untuk menaikkan atau menurunkan barang (crane). Hal ini bahkan terjadi di pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok. Akibatnya, truk atau trailer pengangkut barang harus antre 10-12 jam. ?Inefisiensi yang terjadi di Priok saja bisa sampai 50 persen,? kata Oentoro.

Itu baru di sisi lapangan pelabuhan. Di sisi alur laut sami mawon. Kapal pengangkut peti kemas alias kontainer yang hendak merapat juga harus ?mengelus dada? karena lama menunggu kapal lain yang sedang bongkar muat. Setidaknya, butuh waktu 10 jam agar satu kapal bisa bersandar di Tanjung Priok. Akibatnya, utilisasi kapal juga rendah, padahal biaya modal kapal sangat mahal. Satu hari saja peti kemas tertahan di kapal, berarti rugi US$ 20 ribu (Rp 188 juta) per peti kemas.

Gara-gara inefisiensi inilah, Oentoro menghitung, kerugian yang diderita perusahaan pelayaran yang menggunakan Tanjung Priok mencapai US$ 20 juta (hampir Rp 190 miliar) per tahun. Pemborosan ini akhirnya menyebabkan daya saing produk nasional rendah dan upaya menarik investasi makin susah. ?Padahal, pelabuhanlah yang menjadi pintu gerbang perekonomian, tempat arus barang keluar-masuk.?

Hal itu tecermin dari rendahnya arus keluar-masuk kontainer (throughput) di Pelabuhan Tanjung Priok yang saat ini hanya tiga juta TEUs (twenty equivalent units) per tahun. Arus kontainer pelabuhan ini jauh tertinggal bila dibanding pelabuhan Singapura yang melayani arus kontainer sampai 20 juta TEUs setahun.

Bahkan dibandingkan dengan Pelabuhan Tanjung Pelepas yang baru dibangun Malaysia sekitar lima tahun lalu saja masih kalah jauh. Arus kontainer pelabuhan negara tetangga ini sudah mencapai tujuh juta TEUs setahun.

Karena itulah, harus dicari jalan untuk mendorong efisiensi pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Berbagai usulan bermunculan dalam acara ?Port Partnership Workshop? di Jakarta, Selasa pekan lalu. Salah satunya menyangkut penciptaan iklim kompetisi. Direktur Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, Tjuk Sukardiman, antara lain, meng-akui perlunya diciptakan iklim kompetisi untuk mendorong efisiensi pengelolaan pelabuhan.

Sayangnya, regulasi yang ada saat ini tidak memungkinkan pengelola pelabuhan dapat berkompetisi secara penuh. Sampai saat ini, pengelolaan pelabuhan nasional dan internasional di Indonesia hanya bisa dilakukan perusahaan negara, yaitu PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I-IV. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21/1992 tentang Pelayaran, swasta yang ingin berinvestasi di pelabuhan harus bekerja sama dengan perusahaan pelat merah itu.

Menurut Tjuk, pemerintah sebetulnya sudah merevisi undang-undang tersebut dan akan mengajukannya ke DPR. Revisi itu tinggal diproses untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat tahun ini juga. Jika disetujui, swasta yang berbadan hukum Indonesia dimungkinkan mengelola pelabuhan tanpa harus bekerja sama dengan Pelindo.

Bagi investor yang ingin menikmati kue dari hasil pelabuhan, revisi UU ini dirasakan bak angin segar. Sebut saja Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang sudah menggandeng investor Jepang untuk membangun terminal pelabuhan untuk kendaraan roda empat (car terminal) di Pantai Ancol Timur yang juga berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Priok. ?Ada investor Jepang yang siap menginvestasikan Rp 8 triliun di pelabuhan tersebut,? kata Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Namun, tak mudah bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mewujudkan impiannya. Jikapun revisi disetujui DPR, masih ada hambatan lain yang bakal menghadang. Pelabuhan itu akan dibangun di kawasan yang masuk wilayah kerja pengelola Pelabuhan Tanjung Priok, PT Pelindo II. Persoalannya makin runyam karena Pelindo II juga sudah menyiapkan lahan itu untuk pengembangan pelabuhan yang sama.

Menurut Oentoro, Pemda Jakarta sebenarnya ingin bekerja sama dengan Pelindo II membangun pelabuhan yang sama, tapi Pelindo II tidak bersedia. Menurut Tjuk, konflik lahan antara Pelindo II dan Pemda Jakarta saat ini masih dibahas kedua pihak bersama Departemen Perhubungan. ?Tapi pembahasannya belum final,? kata Tjuk. Hasil pembahasan itu nanti akan dirumuskan dalam rencana induk pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok.

Nah, rencana itu nanti harus mendapat rekomendasi Gubernur DKI Jakarta. Tujuannya agar pengembangan pelabuhan itu selaras dengan pembangunan Kota Jakarta. ?Pembuatan rencana induk itu juga diterapkan untuk pengembangan pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia agar bersiap-siap menghadapi era pasar bebas,? ujar Tjuk.

Namun, kata Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Departemen Perhubungan, Djoko Pramono, sebaiknya Pemda Jakarta tak perlu membangun pelabuhan baru yang bersebelahan dengan Tanjung Priok karena malah akan menciptakan inefisiensi. ?Bila ada dua pelabuhan bersebelahan di Tanjung Priok justru akan membuat alur kapal di pelabuhan itu menjadi kacau,? kata Djoko.

Persaingan, kata Djoko, memang diperlukan, tapi jangan sampai terjadi ada dua pelabuhan yang sangat berdekatan. Jarak ideal antarpelabuhan internasional adalah 500-1.000 mil, seperti antara Jakarta dan Surabaya atau Singapura. Menurut dia, akan lebih bagus jika Tanjung Priok memfokuskan diri bersaing dengan Singapura.

Karena itu, dalam persoalan Tanjung Priok, kata Djoko, kompetisi sebaiknya dibuka hanya untuk terminal saja. Mi-salnya, investor yang digandeng Pemda DKI diberi kesempatan membangun terminal di Pelabuhan Tanjung Priok. ?Tapi ini baru bisa terwujud setelah regulasinya selesai direvisi.? Sejauh ini, baru ada Jakarta International Container Terminal yang dikelola Pelindo II bersama Hutchison Whampoa (Hong Kong).

Direktur Utama PT Pelindo II, Abdullah Syaifuddin, sendiri mengaku siap berkompetisi ataupun bekerja sama dengan siapa saja untuk membangun terminal di Tanjung Priok. Diakuinya, Pelindo II memang akan mengembangkan Pelabuhan Tanjung Priok. Investasinya berasal dari pinjaman lunak pemerintah Jepang melalui Departemen Keuangan. Tanjung Priok, katanya, ?Harus dikembangkan, terserah oleh siapa saja, asal sesuai regulasi.?

Belakangan, Pemda DKI tak terlalu ngotot. Asisten Perekonomian Pemda DKI Jakarta, Makmun Amin, misalnya, mengakui bahwa pembangunan pelabuhan baru di Tanjung Priok belum tentu menciptakan persaingan yang sehat. ?Yang penting bagi DKI Jakarta, ada pelabuhan kompetitif yang memberikan dampak ekonomi besar bagi Jakarta,? katanya.

Pengelola Naha Port Authority, Jepang, Thosiro Tsutsumi, dalam acara tersebut mendukung pandangan Makmun Amin. Setiap pelabuhan di Jepang, katanya, selalu memberikan manfaat kepada daerah tempat pelabuhan itu berada. Hal yang sama dikatakan Senior Business Development Port of Rotterdam, Belanda, Capt. Kees Westsrate.

Westsrate juga menyarankan agar pemerintah membangun sistem pelabuhan secara utuh mulai dari lalu lintas darat, pelabuhan, maupun di laut. Ia mencontohkan, 80 persen kargo dari Jawa Barat dikirim ke Tanjung Priok lewat jalan darat. Akibatnya, terjadi kemacetan di beberapa ruas jalan seperti di Cikampek dan jalur Puncak, Jawa Barat. ?Jalur pengiriman kargo ini juga tidak efisien,? katanya.

Seharusnya pemerintah mendorong pengembangan Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, sebagai pintu pengiriman kargo dari Jawa Barat. Pelabuhan ini bisa dijadikan pelabuhan pengumpan (feeder) ke Pelabuhan Tanjung Priok. ?Artinya, pengiriman barang Jawa Barat ke Tanjung Priok lebih efisien melalui laut,? katanya. Persoalannya memang tak sekadar menciptakan kompetisi, tapi juga pengaturan menyeluruh agar tidak terjadi keruwetan yang tidak perlu.

Taufik Kamil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus