Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah agaknya tak mau jatuh ke lubang yang sama dua kali. Paling tidak, itulah yang bisa dilihat ketika pemerintah memutuskan menenderkan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Paiton 3 dan Paiton 4. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, yang menyatakan proyek listrik di Probolinggo, Jawa Timur, itu akan ditenderkan. Padahal, Paiton Energy?pemilik proyek Paiton 1?sudah lama mengincar proyek tersebut.
Paling tidak, Paiton Energy sudah meneken nota kesepahaman (MoU) dengan PLN sebagai calon pembeli listriknya tak lama setelah pemerintah menyelesaikan restrukturisasi 26 proyek listrik swasta pada Juli 2003. Tentu saja PLN terkejut. "Maaf saya tidak bisa mengomentarinya," kata Direktur Utama Eddie Widiono. Yang lain pun bungkam. Hanya Direktur Pembangkitan, Ali Herman Ibrahim, yang bersedia bicara. "Kami akan ikut pemerintah. Sampai saat ini belum ada deal dengan Paiton Energy," katanya.
Sebenarnya isyarat proyek ini bakal ditenderkan sudah muncul pada Januari silam. Dalam forum internasional Infrastructure Summit, pemerintah mencantumkan proyek itu dalam daftar proyek energi yang ditawarkan kepada para investor. Dari 12 proyek listrik, terseliplah proyek Paiton 3 dan 4 dengan kapasitas 800 megawatt. Ketika itu nilai proyek Paiton 3 dan Paiton 4 disebutkan sebesar US$ 900 juta (sekitar Rp 8,4 triliun).
Sumber Tempo di sektor kelistrikan membisikkan, pemerintah akhirnya memutuskan proyek itu akan ditender setelah Paiton enggan menurunkan tarif listriknya ke level yang diinginkan pemerintah, yakni US$ 4,46 sen per kilowatt hour (kWh). Mereka menginginkan tarif listrik Paiton 3 dan 4 sama dengan tarif listrik Paiton I, US$ 4,93 sen per kWh. "Mereka bersedia turun harga jika pemerintah memberikan kompensasi berupa jaminan pemerintah dan pembebasan bea masuk," ujar sumber itu.
Tentu saja pemerintahan tak mau mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu saat meneken kontrak jual-beli listrik dari Paiton I (lihat boks). Karena itu, kata sumber Tempo, pemerintah tak merespons permintaan Paiton. Walhasil, negosiasinya dengan PLN tak pernah mencapai kata sepakat.
Lagi pula, tender jelas bukan pilihan yang buruk. Apalagi sejumlah investor listrik berminat menanamkan modalnya di Indonesia. Bahkan beberapa investor bersedia menjual listriknya dengan mata uang rupiah dan bukan dolar AS. Ini tentu lebih menguntungkan pemerintah, khususnya PLN, lantaran terbebas dari fluktuasi kurs mata uang asing. "Kita harus membiasakan dengan mata uang sendiri. Kalau ini positif, harus kita terapkan di masa depan," kata sumber tersebut.
Sayang, Presiden Direktur Paiton Energy, Ronald P. Landry, yang sedang berada di Amerika Serikat, tak bisa dimintai komentarnya. Surat elektronik yang dikirimkan Tempo sejak Senin pekan lalu juga tak berjawab. Manajer Hu-mas dan Sumber Daya PT Edison Mission Maintenance and Operation Indonesia, Bambang Jiwantoro, pun tak bersedia menjawab pertanyaan Tempo. "Kami tak punya informasi lengkap dan persis soal rencana pengembangan Paiton. Itu me-rupakan hak dan wewenang Paiton Energy," kata Bambang kepada Abdi Purmono dari Tempo.
Sekadar mengingatkan, pada 7 Juni tahun lalu Ronald sempat mempresentasi rencana pengembangan proyek Paiton 3 dan 4 di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Ketika itu dia mengatakan, sebagai salah satu syarat hasil restrukturisasi perjanjian jual-beli Paiton I dengan PLN, pemerintah meminta Paiton Energy memasang pembangkit tambahan di kompleks Paiton dengan tarif lebih rendah.
Saat itu Ronald mengatakan, harga listrik yang dibahas berkisar US$ 4,79 sen per kWh. Bahkan Ronald ketika itu berharap negosiasi bisa selesai paling lambat 30 Juni 2004. "Kami mematuhi pengarahan Komisi Energi DPR, Tim Keppres 133, dan akan melakukan ekspansi dengan mengembangkan satu unit tambahan sebesar 800 megawatt," kata Ronald, "dengan biaya konstruksinya US$ 580 juta."
Kini, setelah pemerintah memutuskan akan menggunakan mekanisme tender, sumber Tempo lainnya membisikkan bahwa PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), anak perusahaan PLN, berminat atas proyek Paiton 3 dan 4. Sejak Undang-Undang Kelistrikan baru No. 20/2002 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Desember lalu, PLN kembali berperan sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan. "Mereka menggandeng investor asal Cina dengan tawaran tarif listrik lebih murah dari Paiton."
Ketua Komite Tetap Ketenagalistrikan Kadin, Bakti S. Luddin, membenarkan tingginya minat investor atas berbagai proyek kelistrikan. Ia mencontohkan sebuah bank Jerman, Commerce Bank, berminat mendanai proyek kelistrikan. Tapi, problemnya, sejak Infrastructure Summit lalu, pemerintah belum mengatur proses tendernya sehingga investor bersikap menunggu. "Jadi, belum ada kepastian hukum hingga kini."
Pemerintah mengaku sedang menyiapkan keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral soal tender itu. Saat ini drafnya sudah di meja menteri untuk segera diteken. Prinsipnya ada dua opsi: tender dilakukan pemerintah atau PLN. "Kemungkinan besar tender dilakukan oleh PLN, tetapi diumumkan oleh pemerintah sebagai fungsi pengawasan," ujar Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Emy Perdanahari.
Sebelum memulai proses tender itu, masih ada satu persyaratan lagi. Pemerintah harus membuat Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang baru. Sebab, RUKN yang diterbitkan April tahun lalu tak bertaji lagi akibat pembatalan Undang-Undang No. 20. Rencana tersebut harus mengacu ke undang-undang lama, No. 15/1985. "Yang penting, proyek Paiton dimasukkan ke RUKN dahulu. Saat ini kami prioritaskan pembangunan PLTU Cilegon dengan kapasitas 450 megawatt," ujar Menteri Purnomo.
Keputusan pemerintah menenderkan Paiton 3 dan Paiton 4 didukung pengamat kelistrikan I Nengah Sudja. Menurut dia, pemerintah belum terlalu membutuhkan proyek tersebut. Selain itu, kalau proyek tersebut dimaksudkan untuk memasok listrik ke Jawa Barat, kata Sudja, mestinya pembangkitnya dibangun di daerah yang memerlukannya. "Kalau dibangun di Jawa Timur, justru lebih sulit pengaturannya. Apalagi sistem transmisi-distribusi jalur selatan juga belum selesai," kata Nengah.
Nengah juga mengingatkan, jangan sampai tender ini cuma bagi-bagi proyek seperti dulu-dulu. Seharusnya pembangunan pembangkit baru betul-betul didasarkan pada kebutuhan.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo