Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu Lampu Hijau dari IMF

IMF akhirnya mengirim tim ke Indonesia untuk kaji ulang letter of intent. Mungkin restrukturisasi utang di BPPN akan menentukan apakah Indonesia lolos atau tidak. Rizal Ramli menyiapkan SAL Rp 3 triliun. Namun, itu saja masih belum cukup.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


BAK petinju yang nyaris terpukul jatuh, Indonesia terselamatkan oleh lonceng istirahat. Lihat saja, di akhir kuartal pertama tahun ini, saat ekonomi di ambang krisis, tiba-tiba beberapa negara donor menyodorkan pinjaman yang lama ditunggu-tunggu. Pekan lalu, saudara tua Jepang mengucurkan 41 miliar yen, yang setara dengan US$ 333,5 juta atau Rp 3,4 triliun, untuk membiayai proyek pembangunan rel kereta api listrik dan rel ganda pada jalur utama Jawa. Dana tersebut merupakan bagian dari pinjaman sejumlah 99,2 miliar yen atau setara dengan US$ 806 juta yang dijanjikan pemerintah Negeri Sakura pada November tahun lalu.

Pemerintah Jerman tak mau ketinggalan dan siap mencairkan pinjaman sebesar 85 juta mark atau setara dengan US$ 40 juta. Pinjaman ini dimaksudkan untuk membiayai peremajaan lintasan kereta api sepanjang 500 kilometer—juga di Pulau Jawa. Itu termasuk menyediakan crane kereta api dan peralatan lain yang dibutuhkan. Dengan bantuan itu, kerusakan rel yang membuat kereta tak bisa melaju kencang diharapkan bisa teratasi.

Hampir bersamaan dengan dua komitmen tersebut, kabar baik juga berembus dari Washington, Amerika Serikat. Dana Moneter Internasional (IMF), yang sebelumnya bersikap maju-mundur dalam mengucurkan pinjaman US$ 400 juta, kini mulai menyorotkan lampu hijau. Isyaratnya, tim kaji ulang letter of intent (LoI) IMF akan datang ke Jakarta dalam waktu dekat. Kapan?

Petugas hubungan masyarakat IMF di Washington, Tom Dawson, semula memang belum memastikan waktunya. Namun, John Dodsworth, Kepala Perwakilan IMF di Indonesia, menyebut bahwa pada April 2001 ini tim tersebut bisa dipastikan sudah berada di Jakarta. Bahkan, Direktur SocGen Indonesia, Lin Che Wei, yang mengaku sempat mengobrol dengan pejabat IMF, "membocorkan" bahwa tim kaji ulang LoI itu akan datang pada 9 April, pekan depan.

Yang jelas, pada 3 April 2001, akan hadir lebih dulu bekas Gubernur Bank Sentral Selandia Baru, Donald Thomas Brash, dan bekas Gubernur Bank Sentral Cile, Roberto Zahler. Mereka akan berdiskusi dengan Boediono dan Sutan Remy Sjahdeini—keduanya anggota panel ahli yang ditunjuk pemerintah—tentang berbagai masukan untuk amandemen UU Bank Indonesia.

Kedatangan tim kaji ulang tersebut tak pelak menandai perbaikan hubungan yang signifikan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Dodsworth menjelaskan, hal itu terjadi karena sejumlah agenda yang tadinya menjadi ganjalan—desentralisasi fiskal, penjualan aset di BPPN, dan amandemen UU BI—kini sudah menunjukkan kemajuan.

Seakan ingin memanfaatkan momentum yang baik itu, pemerintah terus menggebrak dengan meminta percepatan pencairan pinjaman asing lainnya sejumlah US$ 17 miliar atau setara dengan Rp 170 triliun. Duit pinjaman itu, kata Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, diperlukan untuk menstimulus anggaran.

Tapi seorang ekonom yang bekerja pada sebuah sekuritas asing mengatakan, pinjaman tersebut sesungguhnya merupakan hak karena Indonesia juga telah memenuhi kewajiban membayar biaya komitmen sebesar 0,7 hingga 1 persen. "Mestinya pencairannya juga tak sulit karena rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) di negara-negara donor itu kecil sekali, rata-rata di bawah 5 persen," katanya. Nah, kalau mereka mempersulit, pemerintah bisa menuntut Consultative Group on Indonesia (CGI) untuk membayar denda.

Perkiraan ekonom itu, sayangnya, hanya bagus di atas kertas dan masih sulit diterapkan di lapangan. Soalnya, negara-negara kreditor menetapkan sejumlah syarat yang berat untuk pencairan pinjaman. Mereka, misalnya, meminta pemerintah Indonesia menyediakan dana pendamping dalam bentuk rupiah. Dulu jumlahnya mencapai 40 persen. Kini, Bank Dunia memang telah setuju menurunkan jumlah itu menjadi 20 persen dari total pinjaman. Tapi, dalam kondisi sulit modal seperti sekarang, tetap saja jumlah itu akan sangat memberatkan pemerintah.

Syarat lain yang cukup rumit adalah urusan pengadaan, termasuk proses tender, dan seleksi jasa konsultasi. Belum lagi kekhawatiran tentang siapa yang akan membayar pinjaman: pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Kepastian tentang ini penting karena pemberlakuan otonomi daerah. Dan yang juga perlu diperhitungkan adalah tuntutan beberapa negara donor yang menunggu diterapkannya UU tentang pencucian uang dan tenaga listrik sebelum mereka mengucurkan utang. Alhasil, pencairan pinjaman tersebut diperkirakan tetap saja akan memakan waktu bertahun-tahun.

Dalam keadaan terjepit, Menko Rizal Ramli rupanya tak kehabisan akal. Dalam upaya menutup kebutuhan dana pendamping berupa rupiah, pemerintah telah meminta izin DPR untuk menggunakan sisa anggaran tahun lalu (SAL) sebesar Rp 3 triliun. "Dana itu merupakan bridging finance agar pencairan utang bisa dipercepat," katanya.

Menghadapi perundingan kaji ulang LoI dengan IMF, pemerintah juga telah melakukan persiapan, antara lain, dengan menyempurnakan kebijakan restrukturisasi utang perusahaan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Penyempurnaan yang diputuskan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) itu, menurut Rizal, bertujuan "membantu BPPN agar dapat menjalankan tugasnya secara transparan."

Bentuk perbaikan itu antara lain rencana restrukturisasi yang mesti didasarkan pada kelayakan usaha dengan memperhatikan proyeksi penerimaan dan berbagai aspek bisnis lainnya. Selanjutnya, pemilik lama harus memberikan jaminan pribadi (personal guarantee—PG) atas utangnya. Selain itu, porsi saham pemilik lama dalam perusahaan yang sudah direstrukturisasi akan menjadi minoritas, kecuali mereka memasukkan dana tunai atau menambah aset yang dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Yang tak kalah penting, badan pengawas (oversight committee) di bawah pimpinan Mar'ie Muhammad wajib melakukan kaji ulang terhadap setiap transaksi di atas Rp 250 miliar. Khusus untuk obligor tunggal dengan total kewajiban Rp 750 miliar atau lebih yang belum selesai secara hukum, hasil kaji ulangnya akan diserahkan kepada KKSK bersamaan dengan rekomendasi komite eksekutif BPPN. Dan rekomendasi itu bersifat tidak mengikat.

Dari paparan tersebut, tampak semua sudah diatur cukup rapi. Dengan demikian, tidak akan ada ganjalan lagi. Namun, menurut Lin Che Wei, IMF belum puas dengan penyempurnaan itu. Mereka terutama menyoroti keterbukaan dan kesamaan perlakuan terhadap para pengutang di BPPN. Karena itu, mereka meminta agar pemerintah membuka restrukturisasi pinjaman obligor (memiliki beberapa utang di BPPN) yang berutang lebih dari Rp 1 triliun—termasuk obligor yang oleh pemerintah disebut secara legal restrukturisasi utangnya sudah selesai (legally completed) karena sudah meneken nota kesepahaman (MoU). Tapi, dalam kacamata IMF, restrukturisasi itu belum tuntas karena belum sampai pada penandatanganan perjanjian (agreement).

Sampai di sini, agaknya akan timbul masalah. Soalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini pemerintah cenderung lunak terhadap sejumlah obligor di BPPN, seperti Sinar Mas, Texmaco, Gadjah Tunggal, dan Chandra Asri. Seiring dengan sikap lunak itu, pemerintah bersikap keras kepada pengutang yang lain, seperti Kelompok Salim dan Bob Hasan. Padahal, tanpa restrukturisasi utang swasta yang "lurus", pemulihan ekonomi Indonesia tak kunjung bisa berjalan lancar. Restrukturisasi perbankan yang menyedot biaya rekapitalisasi ratusan triliun rupiah itu pun kini terancam mubazir gara-gara sektor riil belum juga siuman dari pingsannya. Bank-bank kini kembali menderita pendarahan akibat negative spread. Dengan gambaran yang suram ini, tak aneh bila muncul spekulasi tentang rekap babak kedua.

Apakah pejabat pemerintah menangkap hal-hal yang dirisaukan IMF itu? Mari kita dengar komentar seorang pejabat di Kantor Menko Perekonomian. Menurut pejabat yang tak mau disebut namanya ini, permintaan IMF yang menyentuh level mikro bisa dinilai tak wajar. "Lagaknya seperti Belanda minta tanah di zaman dulu," katanya sebal. Padahal, kecenderungan micromanagement ini, menurut sumber tadi, sudah dikritik habis-habisan di Amerika dan oleh para ahli.

Menyangkut soal restrukturisasi utang di BPPN dan laporan pelaksanaan otonomi daerah, sebetulnya sudah ada kesepakatan secara prinsip antara pemerintah dan IMF. "Jadi, ini bukan soal baru," kata pejabat tadi. Bila pemerintah menghadapi kendala untuk memberikan laporan, ia meminta IMF bisa memaklumi. Misalnya soal pelaksanaan otonomi daerah. "Wong, programnya saja baru mulai Januari lalu," ujarnya.

Tak nyaman, memang, jika orang lain ikut mengatur urusan rumah tangga kita. Tapi mereka tentu juga tak punya alasan untuk ikut campur bila kita sendiri mampu unjuk kebolehan dalam mengelola dapur rumah tangga dengan baik.

Nugroho Dewanto, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus