Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pengungsi, GAM, dan Aparat

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH jauh-jauh meninggalkan rumah untuk mengungsi, rasa aman tak didapat pula. Itulah yang dirasakan sekitar 5.000 pengungsi yang tinggal di desa-desa seputar Kecamatan Idirayeuk, Kabupaten Aceh Timur. "Kami merasa terancam oleh pihak keamanan," ujar Sofyan, salah seorang pengungsi dari Desa Teupingjareng. Karena ancaman itulah, Senin pekan lalu para pengungsi mengutus 10 orang tokoh untuk bertemu dengan Bupati Aceh Timur, Haji Azman Usmanuddin, guna meminta jaminan keamanan dari pemerintah daerah.

Rupanya, pihak aparat tak senang dengan aksi pengungsian tersebut. Sejak hari pertama mengungsi, sudah empat kali mereka didatangi petugas keamanan yang meminta para pengungsi kembali ke rumah masing-masing di sekitar Idirayeuk, tapi mereka menolak karena sebagian besar sudah tidak punya rumah lagi.

Menurut Sofyan, selama ini rakyat pengungsi menjadi korban dari aparat keamanan. Bila ada penghadangan dan penyerangan aparat oleh kelompok GAM, "Imbasnya mengenai kami yang tak berdosa ini," katanya. Di saat aparat melakukan sweeping, mereka menembaki warga yang dituduh membantu Gerakan Aceh Merdeka (GAM), membakar rumah, dan merampas harta benda. Karena itu, para pengungsi menganggap penting sekali adanya jaminan keamanan dari Bupati, selaku pelaksana pemerintah daerah, sebelum mereka beranjak kembali ke desa masing-masing.

Permintaan jaminan keamanan ini berkaitan dengan meninggalnya dua orang pengungsi akibat penyiksaan oleh orang-orang berseragam tentara. Sebelumnya, pekan pertama bulan Maret, lima warga tewas di tangan aparat keamanan. Padahal, beberapa hari sebelumnya, lima desa yang didiami pengungsi itu dikuasai GAM selama 14 jam.

Namun, tudingan bahwa ketidakamanan itu disebabkan oleh aparat ditepis oleh yang bersangkutan. Buktinya, bukan pengungsi saja yang menjadi korban, petugas keamanan pun bernasib serupa. Awal Februari lalu, Komandan Koramil Idirayeuk, Kapten Infanteri Husaini, tewas diterjang peluru. "Siang ini (Kamis, 29 Maret), anggota kami Sertu Haidir Siregar dari Brimob Polda Aceh juga tewas ditembak," kata Kepala Polisi Resor Aceh Timur, Ajun Komisaris Besar Abdullah Hayati, kepada Zainal Bakri dari TEMPO.

Apakah itu berarti aparat keamanan tak bisa lagi memberikan jaminan keamanan? Soal jaminan itu, menurut Kapolres Abdullah, tak bisa diberikan secara personal. "Kalau kami diminta menjamin warga satu per satu, itu tidak mungkin. Tapi kalau per desa atau per blok diminta mengawasinya, masih bisa," ujarnya. Sikap berbeda ditunjukkan oleh Bupati Azman, yang siap menjamin keamanan warga pengungsi: "Kami siap membuat jaminan itu secara tertulis agar warga bisa hidup normal di tempatnya masing-masing seperti sebelumnya."

Dalam soal ketidakamanan ini, tokoh GAM, Amni bin Ahmad Marzuki, juru bicara pada Komite Bersama Modalitas Keamanan Forum Damai, menunjuk penyebabnya adalah aparat. "Selama ini yang membuat penduduk ketakutan dan mengungsi adalah ulah aparat TNI/Polri yang selalu bersikap di luar batas. Persoalan dengan GAM disikapi aparat dengan membakar rumah dan menyiksa penduduk setempat. Jika GAM yang menyerang mereka, mengapa rumah penduduk yang dijadikan sasaran amukan?" tutur Amni.

Temanggung

CITRA yang ditanam rezim Orde Baru tentang bahaya komunisme terbukti berhasil. Di Temanggung, Jawa Tengah, ahad dua pekan lalu, sekitar 5.000 massa yang menamai diri Forum Umat Islam membakari peti mati dan melempari mobil-mobil, memprotes rencana pemakaman kembali 21 tokoh Partai Komunis Indonesia yang dibunuh tentara pada tahun 1965 di Desa Kaloran, Temanggung.

Pemakaman kembali tulang-belulang itu bermula dari niat baik Yayasan Peduli Korban Pembunuhan 1965. Irawan, 80 tahun, Ketua Cabang Temanggung, mewakafkan tanahnya seluas 400 meter di desa itu. Lalu, yayasan yang Januari lalu berhasil menggali 26 korban pembantaian di Hutan Kaliwiro, Wonosobo, itu bermaksud memakamkannya kembali di tanah itu.

Rencana pemakaman sudah disusun, izin dari Bupati Temanggung juga sudah di tangan. Namun, niat itu gagal karena ada sekelompok orang yang tidak setuju. "Dikhawatirkan, makam itu kelak dijadikan monumen dan momen awal bangkitnya komunisme, dan membangkitkan luka lama bagi generasi penerus," kata Kiai Muhammad Khozim, Ketua Koordinator Forum Umat Islam. Irawan, bekas tahanan dari Pulau Buru itu, sampai akhir pekan lalu diamankan Polda Jawa Tengah, dan 21 kerangka itu kembali dibawa ke Rumah Sakit Dokter Sardjito, Yogyakarta.

Denpasar

ADA kafe, ada keramaian. Itu hal yang umum. Namun, yang terjadi akibat adanya sebuah kafe di Pantai Geger, Peminge, di Nusadua, Bali, bukanlah keramaian yang biasa. Selasa pekan lalu, Marthen Blegur Lunmury, kuasa hukum I Nyoman Sagi, seorang pemilik kafe, dihajar warga Desa Peminge karena menggugat Surat Keputusan Bupati Badung Tanggal 8 Maret, yang memerintahkan pembongkaran kafe di Pantai Geger. Alasan Sagi, ia telah membayar pajak tanah dan bangunan.

Gugatan tersebut Selasa itu akan disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar. Saat itu, di halaman pengadilan terjadi unjuk rasa ratusan warga yang meminta sidang itu dihentikan. Ketika Marthen baru turun dari mobil, massa tiba-tiba menyerbunya. Pukulan, tendangan, dan injakan mampir ke tubuhnya.

Puas menggebuki, warga kemudian mencaci-maki majelis hakim yang memimpin sidang. Suasana jadi tak keruan. Beberapa tokoh adat yang ikut aksi itu minta agar sidang dihentikan. "Kami tak menjamin kalau sidang itu diter- uskan," kata I Wayan Luwirwiana, Kepala Lingkungan Banjar Peminge. Akhirnya, sidang diadakan di luar ruangan. Hasilnya, "Gugatan saya cabut karena saya ditekan," kata Marthen.

Hari itu juga Marthen melaporkan penganiayaan dirinya ke Polda Bali. Ia menuding Bupati Badung, A.A. Oka Ratmadi, berada di balik pengerahan massa itu. Tapi, menurut Ketua Tim Yustisi Pemda Badung, Rai Sudharma, kedatangan warga ke PTUN adalah spontanitas murni.

Cirebon

WABAH menerpa pelbagai lembaga pemasyarakatan. Bukan wabah penyakit, melainkan kerusuhan. Setelah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang dan LP Pemuda, Tangerang, ahad dua pekan lalu kerusuhan juga terjadi di LP Kesambi, Cirebon, Jawa Barat. Akibatnya, semua aktivitas produksi LP, seperti pembuatan kompor minyak tanah, bengkel motor, jaring ikan, pemintalan kain, kerajinan rotan dan bola sepak untuk diekspor, berhenti. Sampai akhir pekan lalu, LP Cirebon bagaikan bangunan tua yang tak berpenghuni, padahal di dalamnya hidup 481 narapidana dan 100 sipir.

Untuk sementara, pembesuk dilarang masuk, makan untuk napi dipasok langsung ke sel masing-masing, salat Jumat di masjid LP juga ditiadakan. "Soalnya, jumlah petugas kami sangat sedikit. Kami tak mau ambil risiko, apalagi napi-napi di sini relatif termasuk kelas berat dan serius," ujar Kepala LP, Soejoto.

Perkelahian itu terjadi gara-gara uang Rp 3.000 yang dipinjam salah satu napi tak dikembalikan. Napi asal Sumatra dan Bandung pun bentrok. Seorang napi asal Palembang, Zul Adlis, tewas bersimbah darah. Sedangkan tiga lainnya luka parah dan kini masih terbaring di Rumah Sakit Gunung Djati, Cirebon. Kini, LP itu dijaga 2 SSK Brimob. "Kami harus berjaga-jaga agar tak berlanjut. Pekan ini kami baru akan menyelidiki kejadian yang sebenarnya," ujar Kepala Polresta Cirebon, Ajun Komisaris Besar Polisi Krido Sudibyo.

Tembilahan

MAKSUD baik tak selalu berakhir baik. Peristiwa bermula dari pertengkaran antara Haryanto dan Andy di Restoran Pujasera, Tembilahan, Riau. Inspektur Satu Nazib, yang kebetulan ada di tempat itu, mencoba menengahi. Bukannya takut, Yanto malah mengayunkan celurit yang digenggamnya ke tubuh polisi itu. Nazib tak kalah gertak, pistol dikeluarkan. Jagoan Pasar Tembilahan itu langsung ngibrit, apalagi pistol itu juga menyalak. Yanto terjun ke kali dan tak nongol lagi.

Dua hari tak ada kabar, beredar isu Yanto mati ditembak. Polisi yang ditanyai keluarga Yanto hanya bisa angkat bahu. "La, kami sendiri hingga kini tak tahu keberadaannya, bagaimana bisa memberi penjelasan. Yang jelas, kami tak menangkap Yanto, apalagi menganiayanya," kata Kapolres Indragiri Hilir, Ajun Komisaris Razali Yahya.

Jawaban polisi itu bikin marah keluarga Yanto. Kamis sore pekan lalu, lebih dari 1.000 orang mendatangi Polres. Malam harinya, massa semakin banyak yang marah. Bensin pun disiramkan ke kantor polisi dan membuatnya dilalap api. Dalam kesempatan itu, 16 tahanan juga kabur. Massa masih belum puas, rumah dinas Kapolres, mobil, dan motor milik polisi dibakar, serta tujuh asrama polisi yang berjarak 500 meter juga dirusak. Tiga polisi luka-luka dan tiga warga kena tembakan peluru karet. Sampai akhir pekan lalu, 261 aparat kepolisian dan 46 tentara tampak siaga. "Memang, situasi sudah terkendali, tapi kami masih berjaga untuk mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi," kata Kapolda Riau, Brigjen Maman Supratman.

Jayapura

MAUNYA bikin kajian ilmiah, yang terjadi malah rusuh. Rabu pekan lalu, terjadi baku pukul di Gedung Olahraga Cendrawasih, Jayapura, tempat diadakannya forum kajian ilmiah tentang otonomi khusus. Sejak awal acara, gejala bakal ada kerusuhan memang sudah terlihat. Saat itu lebih dari 1.000 mahasiswa dan 500 warga Papua berkumpul di sekitar gedung. Mereka bukan mau ikut diskusi, melainkan menolak oto-nomi. Berbagai spanduk pun terkembang, diiringi teriakan, "Merdeka…, merdeka!"

Keadaan makin bising saat Gubernur Papua, Jacobus Prividia Solossa, membuka acara itu. Polisi melarang masuk para pengunjuk rasa, tapi mereka merangsek, sehingga akhirnya terjadilah aksi pukul antara pengunjuk rasa dan polisi. Para pejabat yang hadir lari terbirit-birit, demonstran mengamuk membantingi kursi-kursi hingga patah, tenda panitia dicabut, dan mobil milik para pejabat dihancurkan. Senjata polisi pun meletus belasan kali untuk meredakan amukan. Empat belas demonstran ditangkap dan seorang aktivis prokemerdekaan Papua, Philipus Morib, tewas sehari kemudian. Sementara itu, di pihak polisi, sembilan orang luka-luka terkena lemparan botol.

Tewasnya Philipus, menurut Kepala Polres Jayapura, Ajun Komisaris Besar Daud Sihombing, bukan karena bentrokan. "Korban meninggal karena adanya pembengkakan limpa dan sakit malaria," ia menjelaskan. Apa pun alasannya, Gubernur Solossa menyayangkan terjadinya kerusuhan itu: "Justru seharusnya di forum ini dibicarakan soal setuju dan tidak setujunya oto- nomi khusus. Jangan malah membuat aksi kekerasan."

Ahmad Taufik dan laporan dari daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus