Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu Masa Bulan Madu

Investor peminat Permata berderet. Tak ada untungnya menjual buru-buru.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lamaran ditolak, mengirim surat cinta pun tak boleh. Apa boleh buat, kewenangan mengambil keputusan memang tak di tangan Sigit Pramono dan jajaran manajemen PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI). Setelah proposal merger dengan PT Bank Permata Tbk. yang mereka ajukan kandas, kini keinginan direktur utama bank pemerintah terbesar kedua itu menawar Permata melalui proses divestasi pun tak diizinkan.

Sigit mengaku pasrah. "Ya sudah, tak ada pilihan bagi kami," katanya. Juragan Sigit, Laksamana Sukardi, memang telah menegaskan BNI tak boleh merger ataupun membeli Permata. "BNI sebaiknya berkonsentrasi memperbaiki kondisi internal," kata Laksamana kepada TEMPO pekan lalu. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara itu merujuk situasi BNI yang belum lama kemalingan Rp 1,7 triliun melalui manipulasi letter of credit (L/C) fiktif. Meski manajemen memastikan musibah itu tak mengguncang arus kas perseroan, tetap saja Laksamana menilai ekspansi belum perlu.

Dengan demikian, satu penawar potensial bagi Permata tereliminasi. Meski begitu, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), sebagai pemilik 97,66 persen saham Permata, mengaku tak khawatir dengan hilangnya satu peminat. Direktur Utama PPA, Mohamad Syahrial, dalam berbagai kesempatan menyatakan yakin jualannya akan laris manis. "Ada 19 investor yang sudah menyatakan minat, 12 di antaranya pemodal asing," katanya.

Mereka meliputi konsorsium, bank asing murni, atau bank asing yang bermitra dengan bank domestik. Beberapa bank lokal juga sudah ada yang menunjukkan minat secara informal. Beberapa nama yang disebut, antara lain Standard Chartered Bank, PT Danamon Tbk., PT Bank Central Asia Tbk., dan PT Bank Artha Graha. Temasek Holding, perusahaan milik pemerintah Singapura, yang sudah memiliki PT Bank Internasional Indonesia Tbk., dan Danamon, juga dikabarkan berhasrat menguasai Permata. "Mereka mungkin masuk melalui mitranya itu," kata Syahrial.

Namun para petinggi Danamon maupun BII yang dihubungi TEMPO menyatakan sampai saat ini Temasek belum melakukan pembicaraan mengenai rencana pembelian Permata. Yang jelas, kata Direktur Danamon, Muliadi Rahardja, pihaknya memang tertarik membeli Permata. "Tapi kami masih menunggu kepastian berapa persisnya saham yang dijual," katanya.

Memang, PPA sampai sekarang belum memutuskan soal ini. "Proses divestasi belum sampai pada tahap itu," kata Wakil Direktur Utama PPA, Raden Pardede. PPA, yang pekan lalu baru menunjuk ABN AMRO sebagai penasihat keuangan, memang diberi keleluasaan oleh DPR memilih beberapa opsi divestasi.

Pertama, menjual 71 persen saham. Rinciannya, 51 persen dijual ke investor strategis, 20 persen ke investor terpilih. Kedua, 71 persen saham dijual secara langsung dengan menggunakan harga premium. Ketiga, pemerintah menjual 97,66 persen saham Permata kepada investor dengan harga superpremium.

Presiden Direktur Bank Artha Graha, Anton B.S. Hudyana, yang dihubungi Setri Yasra dari TEMPO, mengatakan bahwa rencana akuisisi Permata telah disiapkan manajemen sejak dulu. Keinginan itu bahkan pernah disampaikan ketika Permata masih di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Kami memang sangat berminat, dan akan ikut menawar dalam tender nanti," kata Anton.

Bank Artha Graha akan segera membentuk konsorsium yang meliputi beberapa investor. Sayang, dia tidak bersedia menyebutkan nama investor yang akan digandeng. "Belum kami tentukan," kata Anton. Ia memastikan memiliki cukup dana untuk membeli Permata. Berapa jumlahnya, Anton tak bersedia menyebutkan. "Kami menunggu proses uji tuntasnya dulu."

Adapun Standard Chartered masih enggan memberikan keterangan dalam soal ini. Seorang petingginya tak membantah rencana meminang Permata. Namun direksi belum memutuskan membuka rencana itu ke publik. Seorang bankir pelat merah papan atas mengungkapkan, Standard Chartered sudah bertemu dengan Laksamana membahas soal divestasi Permata. "Mereka minta jaminan ke Laksamana agar jangan dipermalukan lagi," katanya.

Seperti diketahui, sudah dua kali Standard Chartered berusaha membeli bank lokal, yaitu PT Bank Bali Tbk. dan PT Bank Central Asia Tbk. Keduanya gagal total. Ketika dimintai konfirmasi, Laksamana mengaku memang sempat tiga kali bertemu dengan manajemen bank asing itu. "Tapi saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Kalau harga yang mereka tawarkan jelek, masa harus saya loloskan," katanya.

Jadi, kata dia, pemerintah tak mungkin menjanjikan apa pun kepada mereka, apalagi sampai harus memberikan jaminan. "Penawaran akan berlangsung terbuka, siapa pun yang berani menawar paling tinggi akan menang," ujarnya. Lagi-lagi Syahrial dan Raden Pardede belum bersedia menyebutkan angka yang mereka patok untuk Permata. Yang jelas, menurut Raden, PPA ingin harga Permata lebih baik daripada bank lain yang sudah lebih dulu dilego BPPN. "Yang sudah-sudah, rata-rata 1,3 atau 1,4 kali nilai buku. Kalau bisa, di atas itulah," katanya.

Sampai Desember 2003, modal Permata tercatat Rp 1,3 triliun, dengan aset sekitar Rp 29 triliun. Dalam proposalnya, Sigit Pramono memperkirakan para investor akan menghargai Permata lebih tinggi. Sebab, bank yang berfokus di bisnis retail dan kredit usaha menengah-kecil dianggap memiliki risiko lebih kecil daripada bank yang bermain pada kredit korporat, "Sehingga harganya bisa mencapai 1,5 kali nilai buku," kata Sigit.

Raden sepertinya sadar untuk tak buru-buru takabur dengan membeludaknya peminang Permata. Soalnya, mereka belum tentu menyodorkan harga pada saat penawaran benar-benar dibuka. "Prosesnya masih panjang," katanya. "Sekarang kami sedang menyiapkan road show bersama manajemen Permata untuk menemui para investor di Asia dan Eropa."

Tak seperti sebelumnya, ketika menolak pinangan merger dari BNI, kini PPA tidak terlalu ngotot penjualan Permata harus terlaksana sebelum pemerintahan berganti, Oktober nanti. "Dalam White Paper (rancangan program pemerintah pascaprogram Dana Moneter Internasional) hanya disebutkan targetnya tahun ini. Jadi tidak harus dalam pemerintahan sekarang," kata Raden.

Seorang sumber di Departemen Keuangan membenarkan, Menteri Keuangan Boediono sejak awal ingin Permata dilepas setelah pemerintahan baru terpilih. Alasannya, situasi politik yang tak menentu menjelang pemilihan umum diperkirakan mempengaruhi investor. Tak ada untungnya memaksakan penjualan segera terlaksana. "Harga mungkin lebih baik pada masa bulan madu pemerintahan baru," katanya.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus