Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika hasrat berkuasa jadi lumrah, kebutuhan akan tertawa jadi penting. Ambisi bukanlah suatu hal yang buruk, namun sempit. Kehendak untuk jadi pemenang pemilihan presiden pada dasarnya sama dengan tekad jadi pemegang Piala Eropa. Dalam motif itu, sebuah lapangan direduksikan jadi arena antara "kita" dan "mereka". Arah hanya satu.
Humor bisa menghentikan penyempitan itu. Yang jenaka mengguncang konsentrasi, mengacau fokus, dan memperluas hidup dengan menampilkan yang ganjil dan terjungkir balik.
Misalnya lelucon ini:
Calon Presiden X datang ke sebuah daerah miskin di Pulau B. Di hadapan sekitar 700 penghuni, sang calon berpidato.
"Saudara-saudara," katanya, "akan saya bangun instalasi air bersih untuk desa ini!"
Penduduk mula-mula diam. Tiba-tiba seorang berteriak, "Hoya!"
Segera, semua warga juga berseru, "Hoya! Hoya!"
Pak Calon tak tahu apa arti kata yang diteriakkan dalam bahasa lokal itu, tapi ia lihat orang pada tersenyum. Ia pun kembali bergelora.
"Kelak, jika saya menang," katanya lagi keras, "akan saya keluarkan keputusan bahwa rakyat Pulau B tak perlu bayar pajak!'
"Hoya! Hoya!"
"Meskipun begitu, Saudara-saudara, sekolah akan tetap dibangun!"
"Hoya! Hoya!"
Pidato kampanye pun selesai. Sang Calon berkeliling melihat-lihat rumah kumuh dan ladang kering di dusun yang miskin dan kotor itu. Di sebuah sudut ia nyaris terperosok. Seorang desa berkata, "Awas, Pak, jangan sampai menginjak hoya"dan ditunjuknya seonggok tahi.
Realitas seakan-akan ambyar dalam peristiwa itu. Citra umum seorang calon presiden tiba-tiba bukan lagi sesuatu yang sudah bulat. Umumnya ia dianggap pintar dan cerdik. Tapi di sana ia terkecoh oleh rakyat di dusun miskin yang galibnya dibayangkan sebagai "terkebelakang".
Ada satu lelucon lain. Calon Presiden Z datang ke sebuah pertemuan di kawasan baru di luar Bogor. Penduduk berkumpul di sebuah gelanggang olahraga, dan Pak Calon berpidato tentang perlunya pembaruan akhlak. Setelah itu, ia mendatangi orang ramai untuk bersalaman.
Tiba-tiba seorang perempuan mendekat. Ia tersenyum. Pak Z pun membalas senyum itu dengan ramah. Ia ulurkan tangannya: "Terima kasih, Bu. Ibu kelak akan memilih saya, kan?"
"Lo, tentu, dong," sahut perempuan itu, "Kan, saya istrimu yang pertama!"
Kisah ini diarahkan ke seseorang yang dikenal beristri banyak, tentu. Humor memang bisa seperti agresi. Thomas Hobbes, yang memandang manusia dengan muram, menyatakan bahwa kita menertawakan orang lain karena kita merasa hebat dan orang lain kita anggap cacat. Seseorang yang menyusun teori tentang humor juga mengatakan bahwa lelucon adalah hasil evolusi dari suara aum dalam duel rimba raya.
Tapi ada lelucon yang tak menertawakan orang lain, melainkan diri sendiri. Dalam humor jenis ini hidup seakan-akan tak punya ketegangan. Ketika "agresi" diarahkan ke diri sendiri, konflik adalah sesuatu yang mubazir. Tapi bagaimana hidup berubah tanpa konflik? Maka ada yang mengatakan, humor bersifat konservatif.
Ada benarnya. Dalam film Indonesia lama, sebagai kelanjutan dari tonil populer tahun 1920-an, adegan kocak yang lazim adalah ketika muncul jongos dan babu. Kedua anggota kelas bawah ini menampilkan diri begitu udik dan tolol. Mereka diadakan untuk sebuah kontras bagi sosok sang majikan yang serba ganteng, cantik, berhasil. Di sini tata sosial yang timpang, antara si juragan yang menang dan si abdi yang takluk, diperkuat.
Tapi tak semua lelucon jongos-babu memperkukuh apa yang mapan, meskipun sepintas memang tampak begitu. Saya ingat "Srimulat".
Sejarah kelompok ini adalah sejarah orang-orang yang menerobos tata sosial dan kategorinya. Jika kita ikuti buku Teguh Srimulat yang disusun Herry Gendut Janarto (terbit pada tahun 1990), sang pendiri kelompok lawak itu lahir dengan nama Raden Ajeng Srimulat. Ia putri Wedana Bekonang, Surakarta. Anak wedana ini tak cuma gemuk dan cantik; ia juga pintar menembang macapat, dan suaranya merdu. Di rumah orang tuanya, kesenian Jawa adalah bagian hidup sehari-hari.
Tapi Srimulat melarikan diri. Kehidupan rumah orang tuanya menyesakkan dia setelah ibunya meninggal. Ia mendapatkan ibu tiri yang tak menyetujui gadis itu meneruskan sekolah. Ia dipingit. Ia minggat.
Dalam pelarian ini ia bergerak terus. Rangkaian hidupnya layak untuk bahan novel yang bagus: ia bergabung dengan rombongan seorang dalang, lalu sebuah grup ketoprak yang main di alun-alun kota, lalu sebuah paguyuban wayang orang yang dipimpin seorang perempuan yang juga memimpin orkes yang memainkan lagu keroncong, dan akhirnya berkelana dari pasar malam ke pasar malam.
Di panggung yang mengembara itu ia berjumpa dengan Teguh. Pemuda yang 18 tahun lebih muda ini kemudian jadi suaminya, dan kemudian mengabadikan nama Srimulat dalam sebuah kelompok komedi yang sukses.
Teguh adalah anak Kho Swie Hien dari Kampung Bareng, Klaten, yang dibesarkan oleh Go Bok Kwie, seorang buruh percetakan, dan istrinya, Ginem. Dari latar yang miskin ini ternyata ia tumbuh jadi seorang pemain musik berbakat, antara lain berkat Pak Wiro, tetangganya, seorang pembuat gitar.
Tapi lebih dari itu, seperti Srimulat, Teguh juga orang yang menerobos tata masyarakat kolonial. Sementara Srimulat tak terjerat dalam kategori kelas, Teguh tak terjebak dalam kategori ras. Bukan kebetulan mereka betah di dunia seni hiburan. Sudah lama, apalagi pada masa menjelang runtuhnya kolonialisme di awal 1940-an, dunia ini bebas dari desain kekuasaan Hindia-Belanda yang merumuskan identitas dengan dasar asal-usul.
Itu mungkin sebabnya lelucon Srimulat dalam adegan abdi-majikan tak sama dengan klise dalam tonil tahun 1920-an. Si juragan bisa tampak bodoh dan sebaliknya si pembantu cerdik. Posisi berubah tak putus-putusnya. Martabat dan identitas berada dalam chaos. Semua bisa ditertawakan, semua bisa menertawakansebuah situasi carnavalesque yang meneruskan kerinduan demokrasi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo