AWAL abad ke-21 adalah masa paling menegangkan bagi Bank Tabungan Negara (BTN). Seperti diketahui, masa itu pemerintah memutuskan merekapitalisasi bank-bank yang guncang diterpa krisis moneter. Karena bank yang guncang lumayan banyak, pemerintah mau tak mau harus menyeleksi bank yang layak diselamatkan. Konsultan yang disewa meneropong masa depan menyodorkan opsi "horor": BTN layak dibubarkan.
Opsi ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan karena dokter besar Dana Moneter Internasional (IMF) menganjurkan agar Indonesia memangkas semua bentuk subsidi, termasuk subsidi perumahan. Nah, BTN termasuk yang mengandalkan subsidi sumber pembiayaan kredit pemilikan rumah murah. Dengan uang yang diambil dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Rekening Dana Investasi (RDI), BTN menjadi penguasa pasar kredit perumahan sejak 1976.
Vonis mati memang tak diketuk pemerintah. Pada akhir 2001, BTN dikukuhkan sebagai bank nasional yang berfokus pada pembiayaan perumahan, setelah diinjeksi dengan dana segar Rp 14,19 triliun. Tapi, untuk bertahan hidup, BTN perlu lebih dari sekadar injeksi. Penghapusan berbagai subsidi menyebabkan BTN kehilangan sumur pembiayaan kredit murah.
Bank ini juga sulit mengandalkan dana pihak ketiga karena biayanya terhitung mahal. Dari keseluruhan dana pihak ketiga yang dihimpun BTN, hanya enam persen berupa giro (yang berbunga murah), sementara tabungan sebesar 24 persen. Sisanya, 70 persen, berupa deposito. Sebagai pengganti subsidi, BTN menerbitkan obligasi. Di sinilah timbul masalah.
Bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang dikenakan BTN ke nasabahnya mau tak mau harus lebih tinggi dari biaya obligasi. Padahal, saat ini, pemerintah juga menerbitkan berbagai seri surat utang. Untuk memancing selera pembeli, mau tak mau BTN harus bersaing dalam penetapan bunga. Obligasi BTN ke-9, yang terbit pertengahan tahun lalu, dibanderol dengan bunga tetap 12,75-12,85 persen, sementara obligasi ke-10, yang terbit awal tahun ini, berbunga 12,2-12,6 persen. Dengan biaya pendanaan setinggi itu, BTN mau tak mau melepas bunga KPR tak kurang dari 15 persen.
Di sini kemampuan BTN sebagai penguasa pasar KPR mulai diragukan. Pasalnya, bank lain mampu menawarkan bunga lebih rendah. Bank Internasional Indonesia, misalnya, mampu menawarkan bunga KPR 12,75 persen. Namun, untuk KPR rumah sederhana, BTN masih belum tergoyahkan. Lebih dari 90 persen KPR rumah sederhana yang mengucur tahun ini masih berasal dari BTN.
Namun, dengan biaya bunga yang tinggi, bertahan di bisnis KPR rumah sederhana meniupkan selentingan tak sedap. Keuangan BTN diisukan terancam sakit jika dipaksa terus memanggul gerakan sejuta rumah. Hal itu dibantah Direktur BTN Siswanto. "Selisih bunga itu kan ditanggung oleh subsidi pemerintah," katanya.
THW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini