GAGAH nama dari rupa, begitu ternyata gerakan pembangunan sejuta rumah. Gaungnya juga tak sehebat ketika dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri, September tahun lalu. Syahdan, pemerintah akan membangun satu juta unit rumah untuk kaum papa sepanjang tahun ini. Ada rumah baru, rumah susun, rumah swadaya, ada juga penataan kampung kumuh.
Program percepatan ini memang tak terhindarkan karena setiap tahun dibutuhkan tambahan 800 ribu rumah baru. Jika tak ada terobosan, akan makin banyak saja orang Indonesia yang tak punya rumah. Tapi, jangankan separuhnya, sampai Juni ini tak lebih dari 100 ribu rumah yang sudah dibangun.
Setelah berjalan lima bulan, berdasarkan catatan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, kredit pemilikan rumah per akhir Mei baru tersalur untuk 20 ribu unit rumah?14 ribu rumah sangat sederhana (RSS) dan sisanya rumah swadaya. Selain itu, ada 30 ribu unit rumah sederhana yang pembiayaannya sedang diproses. Itu berarti realisasi pembangunan RSS baru tak sampai separuh dari yang ditargetkan, yakni 83 ribu unit.
"Gerakan itu lebih bersifat memfasilitasi," kata Direktur Jenderal Perumahan dan Permukiman, Sjarifuddin Akil, saat ditanyai ihwal melempemnya pembangunan rumah baru, "Disuruh membangun sejuta rumah dengan uang (anggaran) Rp 667 miliar, ya, tidak bisa." Jadi, yang bisa dilakukan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah hanyalah mengajak pihak yang berkepentingan, seperti pengembang, pemilik dana (bank), dan pemilik lahan (pemerintah daerah), mempercepat pembangunan rumah baru.
Ratusan nota kesepahaman yang ditandatangani Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dengan pihak-pihak tadi akhirnya hanya teronggok di kantor departemen tersebut. Mau tak mau, program ini terpaksa tunduk pada hukum besi pasar. Pengembang dan bank ternyata lebih berminat membangun rumah kelas menengah ke atas, meskipun permintaan justru lebih banyak dari masyarakat kelas menengah ke bawah?yang menjadi target pengembang rumah sederhana.
Sejumlah pengembang mengaku sulit mendapat margin keuntungan tinggi dari pembangunan rumah sederhana atau sangat sederhana. Jauh berbeda kalau mereka menggarap perumahan kelas menengah ke atas. Soalnya, harga rumah sederhana dipatok pemerintah. "Paling-paling pengembang mendapat keuntungan dari selisih harga jual-beli tanah," kata Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Dharmasetiawan Bachir.
Hambatan lain datang dari bank. Jumlah bank yang mau terjun ke bisnis ini bisa dihitung dengan jari. Untuk mengucurkan kredit kepemilikan rumah sederhana, banyak bank berpikir dua kali karena nilai satuan yang kecil. Dalam catatan REI, lebih dari 90 persen kredit kepemilikan rumah sederhana yang terealisasi tahun ini mengalir dari brankas Bank Tabungan Negara (BTN). "Sebagian besar bank lebih berfokus pada pembiayaan rumah menengah ke atas," kata Agus Martowarjojo, Ketua Umum Perbanas, yang juga Direktur Utama Bank Permata.
Rumah sederhana pun bukan magnet bagi kredit konstruksi. Pada umumnya pengembang rumah sederhana juga dibelit kesulitan mendapat kredit konstruksi. Bank swasta besar yang bermain di bisnis perumahan jarang mau melirik pengembang rumah sederhana, yang umumnya pengembang baru, kecil, atau pengembang kelas dua. Selain BTN, paling hanya Bank Bukopin dan Bank Niaga yang masih mau mengucurkan kredit konstruksi.
Padahal jumlah kredit konstruksi yang dibutuhkan untuk membangun rumah sederhana dalam gerakan sejuta rumah mencapai tak kurang dari Rp 8 triliun. Selain ketersediaan yang terbatas, mahalnya biaya bunga juga dikeluhkan oleh para pengembang. Sekarang ini bank mengenakan bunga 13-16 persen. REI berharap bunga kredit dapat turun hingga di bawah 14 persen. Namun, di tengah gonjang-ganjing rupiah seperti sekarang, harapan itu mirip dongeng.
Saat kredit konstruksi yang seret itu, pengembang rumah sederhana menyiasati kebutuhan dana mereka dengan urunan bersama pengembang lain. "Kalau seorang bisa menyumbangkan Rp 100 juta, dari 10 orang akan terkumpul Rp 1 miliar," ujar Dharmasetiawan. Angka itu cukup untuk menutup pembangunan konstruksi awal sekitar 200 rumah jika mengikuti patokan uang muka untuk rumah sederhana yang besarnya Rp 5 juta. Tapi ini pun tak banyak menolong karena mereka tidak bisa melakukan percepatan pembangunan rumah sederhana.
Kesungguhan pemerintah daerah dalam mendukung gerakan sejuta rumah setali tiga uang dengan sikap bank. Padahal pemerintah setempat memainkan peran tak kalah penting dalam penyediaan rumah ini. Pemdalah yang menentukan lambat-cepatnya pengurusan sertifikat kepemilikan tanah. Sjarifuddin Akil menyebut satu contoh, yakni masih tertundanya proses kredit untuk 30 ribu unit rumah baru karena tak kunjung beresnya sertifikasi tanah. "Sekarang bola ada di tangan pemerintah daerah dan bank," katanya.
Kesimpulan itu ditepis para pelaku yang langsung berhubungan dengan urusan rumah. Mereka lebih mengeluhkan lemahnya koordinasi di antara lembaga pemerintah. "Urusan rumah itu kompleks karena melibatkan banyak lembaga dan kewenangan," kata Dharmasetiawan. Karena itu, ia dan seorang bankir yang menolak disebut namanya malah berharap perumahan kembali diurus menteri perumahan tersendiri seperti pada zaman dulu. Tapi, kalau anggaran perumahan tetap kerdil, bisa apa menteri perumahan?
Thomas Hadiwinata, Agricelli (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini