TAK banyak pengusaha pribumi yang berhas mengembankan usahanya.
Apalagi setelah mengalirnya madal asing. Tapi Achmad Bakrie,
presiden direktur PT Bakrie & Brothers, agaknya merupakan
pengecualian. Dalam usia 59 tahun, Rahu pagi pekan lalu
pengusaha kawakan itu kembali melebarkan sayapnya. Bukan di
bidang perdagangan umum impor-ekspor tapi industri pengecoran.
Dengan disaksikan ratusan undangan antara lain Dubes Australia
R. Woolcott & nyonya, oleh Menteri Perindustrian M. Jusuf
diresmikanlah pabrik pengecoran PT Bakrie-Tubemakers, milik
kongsi Bakrie Brothers dengan Tubemakers of Australia Ltd.
Letaknya di Bekasi, kurang lebih 27 km dari Jakarta, di atas
tanah seluas kira-kira 7400 M2. Modal yang dituangkan dalam
pabrik pengecoran itu berjumlah AS $ 7,4 juta, dengan
perbandingan saham antara Australia - Indonesia, 75: 25. Meski
saham dari fihak Indonesia lebih kecil tapi "ini adalah anak
dari pabrik Talang Tirta" kata A. Bakrie.
Dengan kata lain, pengusaha yang juga menjabat Presdir PT
Bakrie-Tubemakers itu, ingin menerangkan bahwa jauh sebelumnya,
yakni di tahun 1957. ia telah menerjunkan diri di bidang
industri dengan mendirikan pabrik yang memproduksi barang-barang
dari kawat. Lalu tahun 1959 mendirikan pabrik pipa baja di
Jakarta, yang pertama di Indonesia. Tapi pabrik itu terbatas
membuat pipa baja untuk keperluan listrik, konstruksi ringan dan
perabot rumah tangga. Tahun 1972, dengan fasilitas PMDN di jalan
Tendean didirikannya pabrik Talang Tirta yang memproduksi
pipa-pipa baja untuk penyaluran air dan gas. Dan bagi A. Bakrie
adanya pabrik kongsi yang pertama dengan asing ini belum
dipandang cukup. "Kami juga telah memikirkan untuk perluasan
pabrik ini katanya.
Dewasa ini, pabrik pengecoran Bakrie-Tubemakers ini menghasilkan
sambungan pipa (malleable iron fitting), katup-katup (valves),
barang-barang tuangan umum (general castings) dan juga
grinding-balls yang diperlukan oleh pabrik-pabrik di Indonesia.
Pada tahap pertama kapasitas produksinya 2000 ton setahun dengan
tenaga kerja 180 orang. Ini masih dapat ditingkatkan menjadi
3000 ton setahun dengan tenaga kerja tidak kurang 400 orang.
Sedang bahan baku berupa besi mentah (pig iron) masih diimpor
dari Australia. "Kalau Krakatau Steel sudah berproduksi tahun
depan dan harga cocok, bahan bakunya mungkin akan dibeli di
dalam negeri", kata seorang manajer. Tapi apakah yang mendorong
A.Bakrie mendirikan pabrik ini dan berkongsi dengan Australia'
Jawabnya: barang-barang tersebut sampai saat ini masih diimpor
dari Amerika Serikat, Taiwan dan Jepang, karena belum dibuat di
Indonesia. Dan Australia mempunyai bahan baku yang melimpah dan
tidak jauh dari Indonesia. Sementara partnernya dalam berusaha
telah berpengalaman pululan tahun serta merupakan pabrik pipa
baja terbesar di Australia.Dewasa ini ia memiliki 1 pabrik
sejenis tersebar di seluruh negeri Kangguru itu.
Pemasaran, tampaknya tidak menjadi masalah baginya.Dan dibaginya
dalam dua bidang: ekspor dan pasaran dalam negeri. Sepertiga
dari produksi akan dipasarkan ke luar negeri yang akan
disalurkan oleh Tubemakers of Australia.Kini pabriknya sudah
mendapat pesanan dari Singapura. Selain itu,ia juga akan
melemparkan barang-barang ke Inggeris.Dan "mungkin juga'' ke
Astralia karena upah buruh di sana tinngi. Sedangkan sisanya
(2/3 dari produksi) untuk kebutuhan dalam negeri yang
penyalurannya langsung diurus oleh PT Bakrie & Brothers. Tidak
hanya itu. Menurut Bakrie. pabrik pengecoran ini juga akan
nemproduksi komponen kendaraan bermotor yang sekarang sebagian
besar masih diimpor.
Tentang pemasaran yang berorientasi ke luar negeri itu, Menteri
Jusuf punya' nasehat. Katanya: "Ekspor, memang salah satu
penyelesaian bagi Singapura. Hongkong dan Taiwan. Karena
penduduknya sedikit satu-satunya jalan untuk perluasan produksi
adalah ekspor. Tapi bagi Indonesia, terutama di masa mendatang.
produksi tak selalu harus berorientasi pada ekspor.Sebab
Indonesia dengan penduduknya yang padat, merupakan pasaran yang
cukup luas.Di tahun 2000 nanti penduduk Indonesia akan
berkembang menjadi 50 juta jiwa. Pulau Jawa saja diperkirakan
akan berpenduduk 140 juta. Jadi tak perlu berorientasi seperti
Singapura.
Tapi itu masalah nanti. Kini yang penting para produsen dalam
negeri perlu mampu bersaing, baik harga maupun mutu dibandingkan
dengan barang-barang impor. Demi konsumen atau payah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini