MANDINGO
Cerita: Kyle Onstott
Skenario: Norman Wexler
Sutradara: Richard Fleischer
***
TUAN tanah dan pemilik peternakan budak, Maxwell (James Mason)
dan puteranya, Hammond (Perry King) menetap dalam istana
terasing di Lousiana. Selain dari hasil perkebunan, hidup nereka
tergantung pula pada jual beli budak. Hammond yang kehilangan
ibu sejak masa kecilnya, termanja oleh ayahnya, antara lain
dengan hak menikmati keperawanan budak-budak mereka. Kendati
demikian, tuan Maxwell yang berangkat tua tetap saja
menginginkan cucu dari seorang menantu kulit putih.
Hammond bukannya tidak tahu keinginan ayahnya. Tapi kebiasaan
menikmati perempuan kulit hitam nampaknya telah menghilangkan
seleranya terhadap perempuan kulit putih yang jarang ditemuinya
dalam hidupnya di tengah belantara budak. Apalagi disertai
nasehat-nasehat sang ayah mengenai perempuan kulit putih yang
disebutnya memiliki kebiasaan lain dari perempuan kulit hitam.
"Perempuan kulit putih tidak suka telanjang seperti perempuan
kulit hitam yang jadi gendakmu itu", kata ayahnya. Maka Hammond
pun menjadi amat gugup ketika pertama kali harus meniduri
isterinya, Blanche (Susan George) yang dikawininya lewat desakan
ayahnya. Suasana malam pengantin kemudian berantakan setelah
Hammond menemui kenyataan bahwa Blanche sudah tidak suci lagi
ketika menaiki ranjang pengantin.
Harapan Maxwell mendapatkan cucu untuk melanjutkan pemeliharaan
warisannya tinggal jadi harapan sia-sia ketika Hammond lebih
mencintai budaknya yang manis, Ellen (Brenda Sykes) yang
dibelinya dalam suatu perjalanan. Sebelum membeli Ellen, di
tempat pelacuran - ketika melampiaskan kekesalannya sehabis
dikecewakan oleh isterinya yang tidak perawan lagi -- Hammond
juga membeli Mede (petinju Ken Norton). Selain untuk diadu, Mede
yang bertubuh kekar ini juga dipersiapkan oleh Hammond untuk
menurunkan keturunan dengan salah seorang bekas gendaknya.
Keasyikan Hammond dengan Ellen dan Mede itu bukan saja
mengesalkan Maxwell yang terus mengharapkan cucu, tapi juga, dan
terutama amat mendongkolkan hati Blanche. Perempuan ini suatu
kali tiba pada keputusan berterus-terang mengenai masa mudanya.
Ia kehilangan kesuciannya oleh saudara kandungnya sendiri pada
usia 14 tahun. Hal ini tidak malah mendinginkan hati Hammond
yang telah menghamili Ellen. Blanche berniat balas dendam.
Menyiksa Ellen hingga keguguran, ia juga memaksa Mede meniduri
dirinya. Blanche hamil, Maxwell senang, tapi yang lahir adalah
bayi hitam.
Kelahiran itu merupakan awal dari kehancuran keluarga Maxwell.
Bayi hitam dibunuh oleh sang dokter yang rupanya sudah terbiasa
menemukan kasus penyelewengan nyonya kulit putit dengan
budak-budak mereka. Hammond membunuh Blanche dengan racun,
membunuh Mede dengan dua butir peluru. Tapi pada saat yang sama,
Maxwell juga terbunuh oleh budaknya yang sejak lama menganggap
Mede sebagai puteranya . Ketika semua kematian itu berlalu,
Hammond terduduk di lantai memandang nanar mayat ayahnya, seakan
dunia sekitarnya telah menutup gerbang bagi petualangannya di
hari-hari mendatang.
Film produksi Dino de Laurentis ini nampaknya memang dibuat
dengan semangat simpati (yang lagi mode) terhadap orang-orang
hitam. Sembari memperlihatkan kekejaman orang-orang kulit putih
terhadap bangsa hitam, dalam film ini juga digambarkan
kebobrokan mental orang-orang kulit putih, seperti yang
tergambar jelas pada isteri Hammond yang bukan cuma bersenggama
dengan budaknya, tapi juga dengan saudara kandung sendiri. Pada
pelelangan budak. seorang janda kulit putih dengan terus terang
menawar Mede untuk memuaskan nafsu dan rasa kesepiannya.
Kehancuran keluarga Maxwell di akhir cerita tidak bisa lain dari
perlambang kejatuhan para pedagang budak yang menikmati hidup di
atas penderitaan dan kematian orang-orang kulit hitam. Tembakan
maut budak Agamemon terhadap Maxwell harus dianggap sebagai awal
kebangkitan semangat kebebasan orang-orang kulit hitam yang
kemudian menjadi tema utama perang saudara Amerika Serikat
beberapa tahun setelah kematian Maxwell. Dengan cara dan sudut
pandangan yang tersendiri, sutradara Richard Fleischer
sebenarnya -- seperti juga film Gone With The Wind--ikut
menggambarkan sebagian dari sejarah Amerika yang tidak
seluruhnya cerah. Ketidakcerahan itu menjadi makin suram oleh
simpati yang berlebihan pembuat film ini terhadap penderitaan
orang-orang hitam. Nyaris sebuah melodrama.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini