Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hitam + putih

Sutradara: richard fleischer produksi: dino de laurentis pemain: james mason, perry king resensi oleh: salim said. (fl)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANDINGO Cerita: Kyle Onstott Skenario: Norman Wexler Sutradara: Richard Fleischer *** TUAN tanah dan pemilik peternakan budak, Maxwell (James Mason) dan puteranya, Hammond (Perry King) menetap dalam istana terasing di Lousiana. Selain dari hasil perkebunan, hidup nereka tergantung pula pada jual beli budak. Hammond yang kehilangan ibu sejak masa kecilnya, termanja oleh ayahnya, antara lain dengan hak menikmati keperawanan budak-budak mereka. Kendati demikian, tuan Maxwell yang berangkat tua tetap saja menginginkan cucu dari seorang menantu kulit putih. Hammond bukannya tidak tahu keinginan ayahnya. Tapi kebiasaan menikmati perempuan kulit hitam nampaknya telah menghilangkan seleranya terhadap perempuan kulit putih yang jarang ditemuinya dalam hidupnya di tengah belantara budak. Apalagi disertai nasehat-nasehat sang ayah mengenai perempuan kulit putih yang disebutnya memiliki kebiasaan lain dari perempuan kulit hitam. "Perempuan kulit putih tidak suka telanjang seperti perempuan kulit hitam yang jadi gendakmu itu", kata ayahnya. Maka Hammond pun menjadi amat gugup ketika pertama kali harus meniduri isterinya, Blanche (Susan George) yang dikawininya lewat desakan ayahnya. Suasana malam pengantin kemudian berantakan setelah Hammond menemui kenyataan bahwa Blanche sudah tidak suci lagi ketika menaiki ranjang pengantin. Harapan Maxwell mendapatkan cucu untuk melanjutkan pemeliharaan warisannya tinggal jadi harapan sia-sia ketika Hammond lebih mencintai budaknya yang manis, Ellen (Brenda Sykes) yang dibelinya dalam suatu perjalanan. Sebelum membeli Ellen, di tempat pelacuran - ketika melampiaskan kekesalannya sehabis dikecewakan oleh isterinya yang tidak perawan lagi -- Hammond juga membeli Mede (petinju Ken Norton). Selain untuk diadu, Mede yang bertubuh kekar ini juga dipersiapkan oleh Hammond untuk menurunkan keturunan dengan salah seorang bekas gendaknya. Keasyikan Hammond dengan Ellen dan Mede itu bukan saja mengesalkan Maxwell yang terus mengharapkan cucu, tapi juga, dan terutama amat mendongkolkan hati Blanche. Perempuan ini suatu kali tiba pada keputusan berterus-terang mengenai masa mudanya. Ia kehilangan kesuciannya oleh saudara kandungnya sendiri pada usia 14 tahun. Hal ini tidak malah mendinginkan hati Hammond yang telah menghamili Ellen. Blanche berniat balas dendam. Menyiksa Ellen hingga keguguran, ia juga memaksa Mede meniduri dirinya. Blanche hamil, Maxwell senang, tapi yang lahir adalah bayi hitam. Kelahiran itu merupakan awal dari kehancuran keluarga Maxwell. Bayi hitam dibunuh oleh sang dokter yang rupanya sudah terbiasa menemukan kasus penyelewengan nyonya kulit putit dengan budak-budak mereka. Hammond membunuh Blanche dengan racun, membunuh Mede dengan dua butir peluru. Tapi pada saat yang sama, Maxwell juga terbunuh oleh budaknya yang sejak lama menganggap Mede sebagai puteranya . Ketika semua kematian itu berlalu, Hammond terduduk di lantai memandang nanar mayat ayahnya, seakan dunia sekitarnya telah menutup gerbang bagi petualangannya di hari-hari mendatang. Film produksi Dino de Laurentis ini nampaknya memang dibuat dengan semangat simpati (yang lagi mode) terhadap orang-orang hitam. Sembari memperlihatkan kekejaman orang-orang kulit putih terhadap bangsa hitam, dalam film ini juga digambarkan kebobrokan mental orang-orang kulit putih, seperti yang tergambar jelas pada isteri Hammond yang bukan cuma bersenggama dengan budaknya, tapi juga dengan saudara kandung sendiri. Pada pelelangan budak. seorang janda kulit putih dengan terus terang menawar Mede untuk memuaskan nafsu dan rasa kesepiannya. Kehancuran keluarga Maxwell di akhir cerita tidak bisa lain dari perlambang kejatuhan para pedagang budak yang menikmati hidup di atas penderitaan dan kematian orang-orang kulit hitam. Tembakan maut budak Agamemon terhadap Maxwell harus dianggap sebagai awal kebangkitan semangat kebebasan orang-orang kulit hitam yang kemudian menjadi tema utama perang saudara Amerika Serikat beberapa tahun setelah kematian Maxwell. Dengan cara dan sudut pandangan yang tersendiri, sutradara Richard Fleischer sebenarnya -- seperti juga film Gone With The Wind--ikut menggambarkan sebagian dari sejarah Amerika yang tidak seluruhnya cerah. Ketidakcerahan itu menjadi makin suram oleh simpati yang berlebihan pembuat film ini terhadap penderitaan orang-orang hitam. Nyaris sebuah melodrama. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus