MINYAK rupanya menjanjikan prospek baru bagi politik luar negeri
RRT. Selain sudah digunakan untuk mengimbangi arus minyak dari
Soviet ke Jepang, Muangthai, Pilipina, RRT juga sudah setuju
untuk mengirim minyaknya ke Mesir, yang kini sangat anti-Soviet.
Dan baru-baru ini Mesir sudah pula membeli peralatan pesawat
tempur MIG dari RRT . Dari hasil penjualan minyaknya pula, RRT
rupanya mampu membeli lisensi pembuatan mesin jet Rolls Royce
untuk industri pesawat terbangnya. Mereka juga sudah membeli
pesawat terbang anti-kapal selam dari Jepang.
Agaknya RRT merasa butuh memiliki industri pesawat terbang
sendiri untuk bisa memprodusir jenis yang mirip MIG 23 dan 25
dalam rangka menghadapi Soviet. Dan timbullah suatu prospek
baru: pendekatan kepada negara-negara baru dan menggalakkan
ketidaktergantungan mereka dari pengaruh kekuatan besar. Mungkin
ini akan mewarnai politik luar negeri mereka di masa depan.
Namun ada satu soal yang masih menggoda para pemimpin RRT
sehubungan dengan berkah minyaknya: bagaimana sebaiknya menerima
suatu perekonomian yang cenderung melaju pesat? Masalah seperti
'seberapa besar tingkat kenaikan yang wajar dilakukan',
merupakan suatu hal yang diperdebatkan. Bagi mereka masyarakat
harus siap menerima setiap tingkat kenaikan. Tapi mereka anggap
percuma, bila kenaikan itu akan menunjukkan suatu sikap
"kapitalisme". Jadi diperlukan suatu mekanisme penolak yang
"built-in dan tumbuh secara keyakinan yang sadar.
Sektor Pertanian
Minyak memang menjadi pelicin kenaikan perekonomian RRT. Tapi
sektor pertanian rupanya tetap diandalkan sebagai tulang
punggung perekonomian negeri itu. Naik turunnya produksi
pertanian akan mempengaruhi tingkat industri, perdagangan luar
negeri dan GNP. Dan lebih khas lagi adalah peranan produksi
pangan. Karena impor pangan berarti mempergunakan devisa yang
masih langka itu. Namun yang mengherankan adalah ini: Sekali pun
produksi pangan cuma baik 3%, selama periode 1967-1972, akibat
Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan Mao, toh industri meningkat
sebesar 80-93%. Dan selama 5 tahun itu GNP adalah 27%.
Perdagangan luar negeri yang meningkat dengan 46%.
Mengapa bisa begitu? Rupa-rupanya telah terjadi sumbangan yang
cukup besar dari sektor pertanian kepada sektor industri semasa
sebelum Revolusi Kebudayaan pecah. Tepatnya pada masa "Lompatan
Besar Kemuka' dan masa "Penyesuaian Kembali". Masa "Lompatan"
yang dikembangkan olel Mao berhasil membangun bendungan,
irigasi, penghijauan jalan raya dan lain lagi. Juga tumbuhnya
industri-industri kecil yang sekalipun sederhana, tapi menunjang
industri berat dan industri pertanian. Sementara periode
penyesuaian yang dipimpin Liu Shao-ch'i lebih memusatkan pada
kenaikan produksi pertanian.
Keuntungan dari dua periode itu: tegaknya tulang punggung
perekonomian yang kuat, yang bisa lebih menjamin investasi di
sektor perindustrian. Meskipun dalam ukuran jangka panjang
(1952-1972), pertumbuhan ekonomi menunjukkan kenaikan yang
sedang: selama 20 tahun itu sektor pertanian hanya naik 1,9%,
industri naik 8,4% dan GNp hcrtambah dengan 3,8%.
Namun jalan lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi RRT pun
datang ketika pecah krisis enerji. Para pemimpin Cina menyambut
permintaan dari Jepang untuk membeli minyak. Sekalipun mereka
amat berhati-hati dan bersikap "alot" selama perundingan.
Keinginan Jepang untuk bisa membor sumur-sumur minyak RRT di
lepas pantai Po Hai perlu menunggu setahun. Dan baru di musim
panas 1973 RRT setuju untuk memulai perundingan dengan
kontraktor minyak dari Nippon Steel dan Mitsui.
Tapi arus penjualan minyaknya tak sebanyak diduga orang. Jepang
yang butuh minyak sekitar 250 juta ton setahun, hanya kebagian
tak sampai 5 juta ton selama 1974 dari RRT. Selama tahun lalu
ekspor minyak mereka ke Jepang naik menjadi 7,8 juta ton.
Sebaliknya dalam periode yang sama arus impor meningkat masuk
RRT, berupa barang-barang modal, prasarana industri minyak dan
pabrik-pabrik petrokimia. Maka tak heran kalau timbul defisit
yang di tahun 1974 saja berjumlah tak kurang dari $AS 200 juta
(ada juga beberapa pengamat yang menaksir defisit tahun itu
sampai di atas $AS 1 milyar). Kalau benar begitu, lubang defisit
pasti tak mungkin ditambal dengan hasil ekspor pertanian. Maka
itu sebabnya ekspor minyak--yang sesungguhnya ingin mereka
manfaatkan untuk kepentingan dalam negeri--tak bisa dihindarkan.
Meskipun begitu, untuk masa dekat (sampai tahun 1980?) RRT
agaknya masih perlu mengembangkan sektor pertanian ini. Mengapa?
Pertambahan penduduk melebihi pertambahan pangan. Antara
1952-1972 penduduk bertambah sebanyak 50O, sementara kenaikan
produksi pangan hanya antara 43-530. Pada awal dasawarsa 1970
ini malah terjadi krisis pangan yang melanda dunia, yang juga
mengenai RRC. Dalam masa itu negara-negara yang mampu memiliki
stockpile semacam AS menjadi penting dan bisa mempergunakannya
sebagai alat politik luar negeri.
Sementara itu telah berlangsung usaha mempersiapkan kenaikan
produksi di bidang pertanian secara lebih pesat. Seperti
pembangunan prasarana yang terus berlangsung (waduk, irigasi dan
lain-lain). Pembuatan industri-industri kecil yang menghasilkan
peralatan pertanian, seperti traktor ringan, mesin pompa
air--juga pembuatau pupuk, obat pemberantasan hama. Juga
peningkatan produksi enersi yang tak saja minyak, tapi juga
kampanye massal menggali batu bara. Begitu pula pembangunan PLTA
yang banyak didirikan, dari yang besar sampai yang diusahakan
oleh komune-komune (PLTA kecil-kecil ini kalau dijumlah bisa
menyamai atau hallkan melebihi satu unit PLTU raksasa di AS).
Dengan kecemasan bahwa sektor pertanian akan jauh tertinggal
oleh sektor industri, maka diadakanlah persiapan yang matang
untuk usaha mekanisasi pertanian. Inilah prakarsa Hua Kua feng
sebelum menjadi Perdana Menteri. Menurut Hua, mekanisasi
pertanian setidaknya tahun 1980 bakal dicapai oleh sepertiga
komune. Hua mengingatkan bahwa sasaran tersebut harus dibarengi
dengan pengawasan melalui"perjuangan kelas" yang lebih ketat.
Ini mungkin juga suatu isyarat persiapan menuju pergantian
generasi pemimpin pada tahun 1980.
Betapapun juga, pastilah usaha gerakan "pembetulan pikiran" akan
dilakukan secara lebih intensif. Pada gilirannya ini selain
menanamkan mekanisme penolak sikap "individualisme", juga
menyiapkan pergantian kepemimpinan secara lebih teratur.
Sekalipu demonstrasi mendukung Teng baru-baru ini perlu juga
diperhitungkan.
Ada suatu masalah lain akibat kenaikan perekonomian ini. Yaitu
berkenaan dengan penurunan penjualan minyak dan penurunan
pembelian baja oleh RRC ke Jepang pada tahun ini. Mungkin
terdapat perdebatan juga antara kelompok radikal-Hua dengan
kelompok Teng, yaitu tentang sampai seberapa besar perekonomian
perlu tumbuh, dan seberapa besar pula kebutuhan impor bagi
industri RRC. Sebab penjualan minyak dan pembelian baja itu
kelihatannya akan dimanfaatkan bagi pertumbuhan sektor industri
juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini