Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selamat Tahun Baru 2016. Mari kita sama-sama berharap rezeki Republik Indonesia masih baik pada tahun mendatang. Semua doa pemohon kebaikan layak kita panjatkan karena tantangan yang menghadang pada 2016 sungguh berat. Terutama bagi negeri yang kesehatan ekonominya sangat bergantung pada harga-harga komoditas, seperti Indonesia.
Salah satu faktor terpenting penentu merah-birunya rapor ekonomi kita di sepanjang 2016 adalah Cina. Jika ekonomi Tiongkok menggeliat, ada harapan harga-harga komoditas turut bergerak. Pada gilirannya, tetesan rezeki dari membaiknya harga komoditas sedikit-banyak akan mengerek Indonesia.
Pada saat yang sama, perhatian kita tak bisa lepas dari ekonomi Amerika Serikat. Jika Amerika semakin sehat, suku bunga patokan The Federal Reserve akan bergerak sesuai dengan target, naik bertahap hingga satu persen pada akhir tahun. Ini akan membuat likuiditas dolar mengetat dan nilai tukar rupiah sulit menguat.
Di dalam negeri, peran pemerintah sangat besar untuk melonggarkan tekanan pada dunia usaha. Mari kita sama-sama berharap pemerintah memperbaiki kekeliruannya tahun lalu, begitu agresif menarik pajak sehingga pengusaha swasta ataupun badan usaha milik negara gelagapan.
Sepanjang 2015, pemerintah habis-habisan menarik pajak karena sudah telanjur mematok target sangat tinggi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, sebesar Rp 1.489 triliun. Dalam istilah ekonom, kebijakan menggenjot pajak dalam keadaan ekonomi melesu adalah kebijakanpro-cyclical yang kian memperparah keadaan.
Hingga akhir tahun, perkiraan perolehan pajak hanya akan mencapai Rp 1.194,6 triliun atau 80,2 persen dari target. Untuk mencapai penerimaan pajak sebesar itu pun aparat pajak harus melakukan berbagai akrobat. Aktivitas ekonomi swasta ataupun badan usaha negara tentu menyusut karena sebagian besar dana tersedot ke kantong pemerintah. Inilah yang memunculkan situasipro-cyclicaltadi. Dalam keadaan susah, tekanan pajak justru membuat iklim usaha semakin berat.
Masalahnya, sedotan pajak akan terus berlanjut pada 2016 karena APBN sudah memancang sasaran penerimaan pajak yang jauh lebih tinggi, Rp 1.546 triliun. Maka, selain memikirkan ekonomi global yang masih belum menguntungkan Indonesia, investor di Indonesia harus meneropong terus kebijakan perpajakan ini.
Ada baiknya jika Presiden Joko Widodo menimbang betul usul Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution untuk mempercepat revisi APBN 2016 dengan sasaran utama menurunkan target penerimaan pajak. Ini adalah langkah realistis yang akan menyelamatkan bukan hanya dunia usaha dan ekonomi Indonesia, tapi juga reputasi dan kredibilitas pemerintah sendiri.
Menurunkan target pajak juga penting untuk memupuk optimisme investor di seluruh dunia kepada Indonesia. Ekonomi modern dapat bergerak hanya karena ada keyakinan pada masa depan. Orang berani berinvestasi dan bank bersedia menyalurkan kredit karena masih yakin akan hasilnya di kemudian hari.
Optimisme seperti ini hanya tumbuh subur jika orang juga yakin bahwa pemerintah akan mengeluarkan kebijakan yang realistis tidak mematikan bisnis. Jika pemerintah menulikan telinga dan membutakan mata, tetap menggenjot target penerimaan pajak, jangan-jangan tak ada lagi kembang api yang berpendar meriah pada akhir tahun depan.
Yopie Hidayat Kontributor Tempo
KURS
Rp per US$
Pekan sebelumnya 13.644
13.794 Penutupan 30 Desember 2015
IHSG
Pekan sebelumnya 4.522
4.593 Penutupan 30 Desember 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 6,25%
4,89% November 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
CADANGAN DEVISA
30 Oktober 2015 US$ 100,7 miliar
US$ miliar 100,24 30 November 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,1% Target 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo