Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dokumen Palsu Kapal Nelayan

Atas permintaan KPK, pemerintah mengukur ulang puluhan ribu kapal penangkap ikan. Selisih penerimaan bukan pajak dianggap kerugian negara.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETUGAS Kementerian Perhubungan itu terperenyak saat melihat kapal yang diukurnya dua tahun lalu berubah. Datang ke Pelabuhan Perikanan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pertengahan November lalu, Abdi Sabda—nama petugas itu—menemukan panjang kapal telah berubah dari 14,5 meter menjadi lebih dari 27 meter. Bobotnya naik berlipat-lipat: dari 28 menjadi 83 gross ton.

Kapal nelayan yang hendak ia verifikasi ulang berbeda jauh dengan kondisi sebelumnya. Rumah geladak yang tadinya bukaan tiga jendela kini menjadi bukaan lima. Rupanya, dokumen kapal berukuran di bawah 30 gross ton itu tidak cocok dengan kondisi aslinya. "Kapal sebelumnya (kecil) entah ke mana, yang ada kami lihat kapal besar-besar," kata Abdi Sabda, Kepala Direktorat Pengukuran dan Kebangsaan Kapal Kementerian Perhubungan, Selasa dua pekan lalu.

Abdi merupakan bagian dari tim pengukuran ulang kapal penangkap ikan yang dibentuk Kementerian Perhubungan pada Juli 2015. Direktur Jenderal Perhubungan Laut Bobby G. Mamahit, dalam surat edarannya, memerintahkan semua kantor unit pelaksana teknis di bawahnya melakukan pengukuran ulang semua kapal nelayan. "Hal itu untuk menindaklanjuti hasil temuan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi," ujar Bobby dalam suratnya tertanggal 10 Juli 2015.

Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan praktek markdown kapal terjadi di sejumlah pelabuhan. Di Belawan, Sumatera Utara, misalnya, dari 72 kapal yang mendapatkan izin pada 2011-2012, sebanyak 96 persen berukuran lebih kecil dari kenyataannya. KPK juga menemukan kasus yang sama di Pelabuhan Juwana, Pati; Batang; dan Tegal. "Ada potensi kerugian negara cukup besar dari perbedaan gross ton kapal nelayan," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Rabu pekan lalu.

Tak hanya menurunkan bobot, 70 persen dari 1.836 pemilik kapal dan 1.404 perusahaan perikanan—yang dikaji KPK—tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Pemilik NPWP pun tidak semua bayar pajak. Akibatnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sangat kecil. Pungutan pajak penghasilan pengusaha perikanan tangkap juga tidak disetor. "Negara tidak mendapat apa-apa," ujar Pahala.

Atas dasar itu, KPK meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kementerian Perhubungan mengukur ulang semua kapal. Pemerintah juga diminta menagih kekurangan PNBP sembari membenahi sistem pengawasan kapal perikanan. "Jika tidak dibenahi, bisa jadi temuan dugaan korupsi," kata Pahala.

Selama ini produksi ikan tangkap lebih dari 5 juta ton per tahun. Namun realisasi PNBP yang berasal dari perikanan tangkap cenderung stagnan sejak 2009, yakni Rp 100-150 miliar per tahun. Pada 2015, Kementerian Kelautan menargetkan PNBP Rp 578 miliar, tapi per Oktober lalu realisasinya baru Rp 66,36 miliar.

Menurut KPK, pengawasan kapal sangat buruk karena tidak ada keseragaman sistem pengukuran, monitoring, dan evaluasi terhadap perubahan ukuran serta tidak ada sistem informasi identitas. Selain itu, tidak ada integrasi antara data kapal perikanan di kesyahbandaran dan pemberi izin usaha perikanan. "Itu belum termasuk masalah suap-menyuap dalam pengurusan perizinan," ujar Pahala.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Narmoko Prasmadji mengakui karut-marut kapal nelayan sudah bertahun-tahun berlangsung. Pemisahan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengurus perizinan salah satu pemicunya. Aturan mainnya, kapal lebih dari 30 gross ton harus mengurus izin di pusat dan menyetor pungutan hasil perikanan. Adapun kapal yang lebih kecil cukup mengurus izin di level provinsi. "Dengan alasan kemudahan mengurus di daerah, pemilik mengecilkan kapalnya," kata Narmoko.

Motif lain markdown, menurut Narmoko, yakni untuk mendapatkan solar bersubsidi. Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 menyebutkan kapal 30 gross ton atau lebih tidak boleh mengkonsumsi solar bersubsidi. Akibatnya, semua kapal seperti berlomba "mengejar" ukuran di bawah 30 gross ton agar mendapat subsidi. "Pemilik kapal bisa mendapat untung banyak," ujarnya.

Itu sebabnya banyak kapal menggunakan surat ukur palsu yang berbentuk tulisan tangan. Abdi Sabda memastikan surat ukur kapal berbentuk tulisan tangan sebagai surat palsu. Semua surat ukur dari kementerian, kata dia, dicetak dengan kop lambang Garuda dan cap stempel merah.

Tidak adanya integrasi data yang baik antarinstansi terlihat dari buruknya pencatatan data kapal. Kementerian Kelautan mencatat ada 87 ribu kapal berukuran di atas 5 gross ton. Sebanyak 6.893 di antaranya lebih dari 30 gross ton dan hanya 3.183 kapal yang memperoleh surat izin penangkapan ikan (SIPI) dari pemerintah pusat.

Abdi mengakui adanya perbedaan angka jumlah kapal. Menurut dia, yang terdaftar di Kementerian Perhubungan ada 18.479 unit kapal. Sebanyak 8.377 di antaranya berbobot lebih dari 30 gross ton. Ia mengatakan perbedaan data itu terjadi karena standar ukuran kapal dua kementerian berbeda. Kementerian Perhubungan hanya mencatat kapal di atas 7 gross ton, sedangkan Kementerian Kelautan di atas 5 gross ton. "Mungkin saja jumlahnya bertambah setelah kami verifikasi," ujar Abdi.

Sejak dibentuk enam bulan lalu, tim pengukuran ulang Kementerian Perhubungan hanya memprioritaskan ukur ulang kapal yang dicurigai berukuran 30 gross ton atau lebih. Targetnya, hingga akhir 2016, sebanyak 15.800 kapal sudah diukur ulang. Namun verifikasi ulang itu berjalan lamban. Sejak Juli hingga akhir November lalu, baru 1.003 kapal diukur ulang. Artinya, rata-rata cuma 200 kapal yang diukur ulang per bulan.

Kementerian Perhubungan memiliki 455 ahli ukur kapal di 169 unit pelayanan terpadu yang melayani pengukuran kapal di seluruh Indonesia. Tapi belum semua ahli ukur bergerak. Petugas, kata Abdi, terhambat minimnya respons nelayan. Padahal pemerintah tidak memungut biaya, kecuali jika ditemukan kekurangan bayar PNBP akibat selisih ukuran. "Waktu ukur pun cepat, tak sampai satu jam," ujarnya.

Bila terdapat selisih bobot setelah kapal diukur ulang, kekurangan PNBP tetap harus dibayarkan. Sebab, bila tidak ditagih akan menjadi kerugian negara. "Ini pendapatan negara bukan pajak, tidak ada (pemutihan) seperti tax amnesty," kata Narmoko.

Pengurus Asosiasi Tuna Indonesia Muhammad Billahmar mengatakan pemilik kapal khawatir ukur ulang menghambat nelayan melaut. Apalagi surat ukur kapal ini syarat terbitnya surat izin usaha penangkapan dan SIPI. "Surat ukur ibarat akta kelahiran," ujar Billahmar saat ditemui di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta. Kalau akta berubah, semua surat ikut berubah. Pengurusan berbagai macam izin itu, kata dia, bisa memakan waktu tiga-enam bulan.

Billahmar meminta jaminan dari pemerintah bahwa setelah diukur ulang, kapal tetap bisa melaut. "Kami minta toleransi," ucapnya. Ia berjanji, saat perpanjangan izin baru, semua surat akan diubah. Pengurusan SIPI, kata dia, dilakukan setahun sekali.

Billahmar mengakui praktek menurunkan bobot kapal dari kondisi sebenarnya sudah dilakukan bertahun-tahun. Dia tak membantah bila pemilik kapal dikabarkan menyodorkan "amplop" kepada aparat untuk memperoleh surat ukur kapal.

Pernyataan Muhammad Billahmar tak dibantah Abdi Sabda. Dia membenarkan ada petugas ukur di kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan yang bermain. "Kami menemukan petugas ukur menerima suap," ujarnya. Suap juga terjadi saat pengurusan izin di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Narmoko Prasmadji mengakuinya sebagai praktek biasa di masa lalu. Karena itu, kata dia, ukur ulang menjadi momentum reformasi birokrasi.

Agus Supriyanto, Ivansyah (Indramayu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus