Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyiram tanah yang gersang

Ada kebijaksanaan baru untuk menarik pma sebanyak-banyaknya. daftar skala prioritas (dsp) akan ditinjau kembali. persyaratan untuk pma diperlunak dan ada rangsangan untuk indonesianisasi. (eb)

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir tiga tahun iklim investasi terasa gersang. Penyegaran yang dilancarkan pemerintah mulai dengan pengangkatan Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita, Februari 1985, disusul pembenahan organisasi BKPM, penyederhanaan prosedur permohonan izin investasi serta izin tenaga asing, sampai dengan kampanye di luar negeri semua itu seperti tak cukup menggairahkan modal asing untuk mengalir lagi ke Indonesia. Buktinya, minat penanaman modal asing (PMA) tahun silam jatuh ke angka US$ 859 juta, atau paling rendah sejak 1980 Diakui Ginanjar bahwa sebagian memang disengaja: menciutnya peluang PMA karena dihadang Daftar Skala Prioritas (DSP). Tapi aliran modal ke negara-negara berkembang memang sedang menciut. Menurut catatan suatu penelitian di PBB, investasi asing di negara-negara berkembang turun dari 33% pada tahun 82, hingga tinggal 21% pada 1984. "Aliran terbesar menuju negara-negara industri maju, terutama AS," tutur Ginandjar. Guna mengimbangi daya sedot negara-negara kaya, pekan lalu, pemerintah mengemukakan sejumlah kompromi yang didasarkan atas usul dan keluhan dari kalangan pengusaha asing dan para diplomat. DSP, kini, sedang ditinjau kembali untuk diperluas. "Pengumumannya nanti dilakukan awal Juni oleh Presiden. Mungkin sampai dua kali lebih luas DSP tahun 1985," kata Ketua BKPM Ginandjar Selain itu, sejak pekan lalu itu juga, ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang diwajibkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) tidaklah kaku. Para prinsipnya, kewajiban yang ditentukan kedua UU itu belum diubah, tapi belum perlu sanksi bagi para pelanggarnya. Bahkan kewajiban iu diperlonggar oleh dua keputusan pemerintah yang dikeluarkan 6 Mei lalu. Para pengusaha yang selama ini menjauhi sektor agribisnis kini digoda memasuki bidang itu - karena sebagai inti (pemodal) mereka bisa memulai equity dengan 40%. Tidak kecil 20% seperti sebelumnya (lihat Berkebun, Ya . . .). Menurut undang-undang, PMA diharuskan mencari mitra lokal yang mampu menyediakan saham minimal 20% pada tahap awal. Kini, PMA yang berani mengambil bidang usaha yang memerlukan modal besar, teknologi, dan risiko tinggi, lokasi usaha di daerah terpencil, serta seluruh hasil produksinya akan diekspor boleh mencari mitra nasional dengan kemampuan menyertakan modal 5% pada tahap awal. Syarat 20% pemilikan saham mitra lokal itu bisa dicicil dalam tempo lima tahun. "Kebijaksanaan ini bisa memikat," begitu komentar Hiroshi Oshima, Direktur Jetro (Japan External Trade Organization) Jakarta. Maklum, kabarnya, selama ini sebenarnya banyak perusahaan asing sulit menemukan mitra bermodal kuat. Menurut bekas Presiden Direktur PT Tifico Takeo Uemura, yang kini menetap di Tokyo, ya paling dari Pertamina atau dua tiga orang keturunan Tionghoa. Kesulitan mencari mitra itu menyebabkan ada investor asing bergerak di Indonesia dengan menonjolkan tokoh pribumi sebagai pemilik perusahaan atas dasar kepercayaan saja (trustee). Bila mitranya bertindak curang, pemilik modal tentu dirugikan. Indonesianisasi, yang merupakan masalah peka di kalangan PMA sejak awal dasawarsa ini, tampaknya, tak pada tempatnya dipermasalahkan sekarang. Menurut Ginandjar, kewajiban Indonesianisasi PMA dalam tempo sepuluh tahun, seperti disebutkan dalam UU PMA, sebenarnya lebih bersifat tonggak untuk mengingatkan bahwa satu waktu PMA itu harus 100% diserahkan kepada Indonesia. Sejauh ini, pemerintah masih bisa mengulur-ulur Indonesianisasi, dengan alasan mitra lokal belum mampu membeli saham mayoritas, atau masih ada teknologi tinggi yang lebih tepat dikembangkan pihak asing. Wajar kalau misalnya PT Freeport Indonesia atau PT Philips Ralin Electronics, yang sebagian sahamnya milik pemerintah, sejauh ini masih dikuasai dan dikelola pihak asing kendati sudah lebih dari 10 tahun beroperasi komersial. "Indonesianisasi dalam tempo 10 tahun itu juga tidak realistis - seharusnya 20 tahun," komentar Hiroshi Oshima. Direktur Jetro Jakarta itu menganggap tak wajar bila perusahaan-perusahaan Jepang, yang dewasa ini sebagian besar dalam keadaan merugi, dipaksakan dioperkan kepada pihak Indonesia. Tapi Yamien Taher dari PT Gobel Dharma Nusantara berpendapat bahwa alih teknologi dan pengetahuan akan diperlambat, jika manajemen dan pemegang saham mayoritas diulur-ulur penyerahannya kepada pihak Indonesia. Pemerintah memang tidak ingin memberi kesan Indonesianisasi dalam tempo 10 tahun itu sebagai hal sepele. Belum ada sanksi, tapi 6 Mei lalu ada Keputusan Presiden, yang merangsang PMA untuk melakukan Indonesianisasi. Keppres 17 tahun 1986 itu menetapkan bahwa PMA yang sudah mengoperkan 75% saham kepada mitra nasional (pemerintah atau swasta) atau telah menjual 51% sahamnya kepada masyarakat lewat pasar modal, atau telah mengoperkan minimal 20% saham ke bursa berikut 31% saham kepada mitra lokal, kini diperlakukan sebagai perusahaan PMDN. Dengan demikian, menurut Ginandjar, PMA itu bisa meminjam modal dari bank pemerintah, bisa menangani sendiri pemasaran produksinya, dan bisa memperluas usaha ke bidang yang masih terbuka untuk PMDN. Izin PMA berlaku 30 tahun dipertegas kembali oleh Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1986 yang juga dikeluarkan 6 Mei lalu. Namun, menurut Ginandjar, sayang kalau modal asing itu buru-buru disuruh pulang kandang (repatriasi). Karena itu, izin itu bisa diperpanjang lagi, bahkan sudah bisa diperpanjang sejak sekarang sebelum habis sekitar tahun 2000. Izin itu bisa diperpanjang bila laba yang dipetik PMA dimanfaatkan kembali, entah dengan memperluas usahanya yang ada sekarang ataupun membuka usaha lain, sejauh belum tertutup untuk PMA. Selama ini bila perusahaan seperti Unilever ada laba, hanya diperbolehkan memperluas usaha di bidang yang sudah ditanganinya, seperti minyak goreng atau sabun. Kini laba PMA itu bisa dipakai untuk, misalnya, membeli saham perusahaan modal asing lain seperti Goodyear, atau ikut memodali industri baja seperti yang dikelola Bakrie Brothers. Tapi tidak dibolehkan ditanamkan ke bidang yang sudah tertutup untuk PMA, misalnya industri sepatu. "Hanya, kalau usaha baru itu untuk produksi barang yang minimal 85% untuk diekspor, tidak ada istilah tertutup untuk PMA," ujar Ginandjar. Hal yang terakhir ini, menurut presiden American Chamber of Commerce, Jakarta, Nick P. Petroff, merupakan peluang kecil untuk menarik modal asing. Pasar internasional juga terlalu labil, sehingga perusahaan memerlukan basis pasar yang kuat di sekitar pabriknya. "Sebaiknya perbandingan pasar dalam negeri dan ekspor itu 50:50," ujar Petroff, kepada James R. Lapian dari TEMPO. AHLI ekonomi dari Jetro Tokyo, Keichi Oguro, melihat kebijaksanaan baru tentang investasi itu agak terlambat. "Seharusnya sekitar September lalu," katanya kepada wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa. Ketika itu perusahaan-perusahaan Jepang mulai mencari tempat strategis berhubung biaya produksi di Jepang hendak meningkat karena mata uang yen hendak dikuatkan terhadap valuta asing. Kini perusahaan Jepang cenderung memilih tempat investasi di Muangthai. Orang bisa saja menuding pengusaha seperti Petroff meminta terlalu banyak. Tapi dalam masa resesi yang berkepanjangan sekarang, negeri yang butuh kapital dari luar seperti Indonesia hendaknya lebih banyak tunduk pada kemauan pasar. Menanam modal di negeri sendiri, dan dekat pada calon konsumen - seperti di Jepang dan Amerika - tentu akan lebih terasa aman daripada menanam modal di kandang orang. Masalah memilih momentum yang tepat, seperti dikemukakan Ogura dari Jetro Tokyo, agaknya juga perlu diyakini oleh pemerintah. Sesungguhnya para perumus beleid ekonomi di sini perlu mencontoh Jepang, misalnya, dalam mencari dan mengumpulkan masukan-masukan sebelum memutuskan suatu kebijaksanaan baru di bidang Ekuin. Adalah pihak swasta yang diminta mengumpulkan data-data, lalu melaporkannya kepada pemerintah sebagai salah satu bahan untuk merumuskan suatu beleid yang baru. Di Indonesia, setiap beleid ekonomi yang baru sering muncul secara tiba-tiba, dan tak jarang membuat kaget kaum swasta. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus