Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) masih menjadi organisasi yang diperhitungkan. Setidaknya, hal itu bisa dilihat dari kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan Muktamar Keempat ICMI, di Hotel Sahid Jaya, Makassar, Minggu malam dua pekan lalu.
Di hadapan 400 peserta muktamar, secara khusus Yudhoyono meminta ICMI bisa memberikan pandangan dan saran terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Menurut dia, ada agenda besar yang harus dikerjakan ICMI, antara lain agar ICMI bisa membantu negeri ini setelah lama dilanda krisis. ”ICMI hendaknya bisa memecahkan masalah ini,” kata Yudhoyono.
Tepuk tangan membahana di arena muktamar. Selain Presiden, muktamar ICMI juga dihadiri tamu lain seperti Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Hadir pula sejumlah tokoh ICMI seperti Hatta Radjasa, Muslimin Nasution, Adi Sasono, dan Jimly Asshiddiqie.
Bagi anggota ICMI, muktamar di Makassar punya makna penting. Makna yang dianggap berarti itu, kata B.J. Habibie, karena ICMI berhasil melewati perjalanan panjang (long march) tahap pertama setelah 15 tahun organisasi ini didirikan. Dalam masa itu, kata mantan Presiden RI ini, ICMI telah berhasil mempersiapkan prasarana masyarakat madani (civil society).
Prasarana masyarakat madani itu, kata Habibie, antara lain adalah berkembangnya sejumlah program pemberdayaan yang dirintis ICMI seperti Bank Muamalat, Asuransi Takaful, harian Republika, dan lembaga amil zakat Dompet Duafa. ”Dan ICMI berhasil menstimulasi ekonomi syariah,” kata Habibie, yang juga mantan Ketua Umum ICMI.
Menurut Adi Sasono, saat ini ICMI mempunyai 50 ribu ahli di berbagai bidang, dan organisasi ini mengembangkan 3.000 Baitul Mal Wa Tamwil—BMT (lembaga keuangan mikro)—dan pemberian beasiswa kepada 40 ribu siswa. ”Gagasan tentang kebebasan dan demokrasi sudah berhasil kita gulirkan,” kata pendiri ICMI dan mantan Menteri Koperasi era Habibie ini.
Di sisi lain, ICMI juga dinilai gagal dalam melakukan regenerasi organisasi. Salah satu sebabnya, organisasi ini sangat bergantung pada figur Habibie, yang waktu itu menduduki jabatan penting mulai dari Menteri Riset dan Teknologi, wakil presiden, sampai puncaknya saat Habibie menjabat presiden pada 1998. Akibatnya, setelah Habibie mundur dari jabatan ketua umum, ICMI seperti ayam kehilangan induk.
Becermin dari pengalaman itu, Habibie mengusulkan kepemimpinan ICMI yang semula dipegang oleh seorang ketua umum diubah menjadi kepemimpinan kolektif (presidium). Kepemimpinan kolektif, kata Habibie, diperlukan karena ke depan ICMI akan menghadapi masalah-masalah besar. ”Di antaranya delapan pekerjaan rumah yang diberikan Presiden,” kata Habibie.
Dalam sambutannya, Yudhoyono mengatakan ada sejumlah pekerjaan rumah yang bisa dikerjakan ICMI, di antaranya ICMI bisa membantu membangun pemerintahan yang bersih dan ICMI ikut membangun peningkatan kualitas hidup, terutama pendidikan dan kesehatan masyarakat. ”ICMI bisa melakukan pengembangan teknologi, termasuk teknologi informasi,” kata Yudhoyono.
Dengan banyak ”PR” itulah, ide kepemimpinan presidium disambut peserta muktamar. Dan dalam pemilihan Rabu pekan lalu, Marwah Daud Ibrahim terpilih sebagai Ketua Presidium ICMI untuk periode lima tahun mendatang. Untuk menjalankan organisasi, Marwah didampingi empat anggota presidium, yaitu Hatta Radjasa, Muslimin Nasution, Azyumardi Azra, dan Nanat Fattah.
Model kepemimpinan presidium ini, menurut Latief Burhan, dinilai kurang efektif dan hanya cocok untuk organisasi yang ”sakit” atau untuk organisasi yang darurat. ”ICMI itu organisasi yang sehat. Saya khawatir model presidium ini tidak efektif,” kata Ketua ICMI Jawa Timur ini.
Jadi, bagaimana nasib ICMI di bawah kepemimpinan Marwah? ”Soal pengalaman di organisasi, tak ada yang meragukannya,” kata Latief Burhan. Hanya, persoalannya, apakah ICMI bisa bangkit untuk kedua kalinya tanpa didukung oleh kekuasaan.
Zed Abidien, Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo