INI memang bukan sembarang tahi. Tapi tahi minyak, yang kerennya disebut calcined cokes. Limbah ini belakangan diguncingkan di kalangan tertentu di Pertamina. Pasalnya, ada sementara oknum di Pertamina ketahuan telah menjual tahi minyak ini terlalu murah. Selama ini, produk sampingan dari Pertamina Dumai di Riau itu dijual ke PT Inalum di Asahan, Sumatera Utara. Dalam kontrak jual-beli, yang berlaku empat tahun sejak 1988, disebutkan Pertamina akan memasok 5.000 ton tahi minyak setiap bulan. Harga yang harus dibayar oleh perusahaan pengolah aluminium PMA Jepang di Asahan itu adalah sesuai dengan harga patokan internasional: US$ 210 per ton. Tapi, entah apa pertimbangannya, sejak November 1990 pemasokan calcined cokes ke Inalum tiba-tiba dilakukan lewat PT Dinoyo Cokes dan PT Yosomulyo Jajag, keduanya penyalur tahi minyak di Surabaya. Tapi harga yang mereka tawarkan jauh lebih murah dibandingkan dengan harga yang berlaku di pasaran, yakni US$ 160 per ton. ''Harga itu memang dibuat rendah agar kelihatannya rasional,'' kata sebuah sumber yang merasa tahu. Alkisah, kedua perusahaan swasta itu kabarnya membeli tahi minyak dari Pertamina dengan harga sangat murah, sekitar US$ 84,5 per ton. Rendahnya harga jual tahi minyak, menurut seorang pejabat Pertamina, disebabkan beberapa alasan. Menurut dia, selama ini perusahaan negara paling kaya di Indonesia ini terikat perjanjian dengan perusahaan Great Lakes (Amerika), perusahaan yang menangani eskpor tahi minyak dari Indonesia. ''Sampai saat ini kami tidak boleh menjual dengan harga lebih tinggi daripada harga internasional,'' kata pejabat itu. Tapi para pemakainya di Indonesia bebas mengimpornya. Perlu dicatat, mutu tahi minyak Pertamina lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh, misalnya, Jepang atau Jerman. Itu sebabnya mengapa harga tahi minyak Pertamina lebih murah ketimbang harga internasional. Mengapa Pertamina bersedia mengorbankan sebagian pendapatannya? Ini yang belum jelas. Padahal, dengan melalui perantara, ditaksir bahwa pendapatan Pertamina dari hasil penjualan tahi minyak sejak November 1990 hingga saat ini turun Rp 33 miliar. Mungkin karena itu, tak aneh bila kemudian muncul suara sumbang mengenai penunjukan dua penyalur tadi. Logis kalau kemudian timbul dugaan yang bukan-bukan. Sayang, Direktur Pembekalan dan Pemasaran Pertamina, Judo Sumardjo, belum bersedia berbicara banyak. ''Saya tidak mau berkomentar dahulu,'' katanya. Menurut seorang anak buah Judo, kendati melalui dua agen, ''Penunjukan itu tidak merugikan pihak Pertamina.'' Alasannya, menurut dia, harga jual tahi minyak yang ditetapkan Pertamina sendiri adalah Rp 186 ribu per ton, sudah termasuk PPn 10 persen. Bantahan senada dikemukakan oleh Handojo Laymanto, Direktur Utama PT Dinoyo Cokes. ''Saya jadi tidak habis pikir. Ini kan pekerjaan lama?'' katanya kepada Candra Negara dari TEMPO. Bantahan serupa dikemukakan oleh Begug Purnomosidhi, Direktur Utama PT Yosomulyo Jajag. ''Saya tidak memperoleh fasilitas khusus apa pun dari Pertamina. Semuanya lewat tender,'' kata Begug. Yosomulyo Jajag merupakan penyalur tahi minyak Unit Pembekalan Dalam Negeri V Pertamina, Jawa Timur. Perusahaan tersebut juga menyalurkan tahi minyak dari Amerika ke Korea Selatan, Thailand, dan Jepang. ''Pemasaran tahi minyak di dalam negeri terlalu kecil daripada ke negara lain,'' tambahnya. BA dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini