INDONESIA ternyata masih dinilai menarik sebagai tempat menanam modal untuk perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Kendati investasi mereka di sini sudah kalah jauh dibandingkan Jepang dan Hong Kong, Indonesia, menurut majalah ekonomi bergengsi dari Amerika, Fortune, secara ekonomi tak bisa diabaikan. Dasar penilaian Fortune, antara lain, penduduk Indonesia yang hampir 200 juta merupakan calon konsumen potensial. Mau cari buruh? Gaji di sini lebih murah dibandingkan di Cina Selatan. Mau cari bahan baku? Indonesia adalah eksportir gas alam terbesar di dunia, produsen timah paling banyak, dan produsen kayu kelas kakap. Kestabilan politik? Itu sudah dipelihara Presiden Soeharto selama 25 tahun. Di samping itu, menurut Fortune, penghasilan para investor Amerika di sini juga tidak kecil. Mobil Oil Indonesia, misalnya, tahun lalu meraih penghasilan sekitar US$ 370 juta. ''Itu sama dengan 25% dari laba total perusahaan Amerika itu,'' tulis Fortune. Perusahaan-perusahaan dari Negeri Paman Sam, yang telah menanamkan modal sekitar US$ 4 miliar di Indonesia, menurut survei departemen perdagangan Amerika, pada tahun 1991 meraih return on investment (perbandingan laba bersih dengan modal) rata-rata 48%. Salah satu perusahaan Amerika yang telah menanamkan modal besar di sini adalah Freeport-MacMoRan. Perusahaan ini telah menanamkan US$ 1,5 miliar untuk menambang tembaga dengan hasil ikutan emas dan perak di Irian Jaya. ''Kami memiliki cadangan emas terbesar di dunia,'' kata Presiden Freeport-McMoRan, Louis A. Clinton. Kini, Freeport, yang masih punya masa kontrak 10 tahun, tinggal memetik laba. Melihat Indonesia merupakan lahan menguntungkan, Freeport merencanakan investasi baru lagi sebesar US$ 1,2 miliar. ''Kami suka Indonesia dan bekerja dalam budayanya,'' tutur Clinton. ''(Negara) ini adalah tempat yang luar biasa untuk bisnis,'' kata Presiden Direktur PT Goodyear Indonesia, Edward J. Higham. Pabrik ban Goodyear, menurut Fortune, paling efisien di seantero jagat. Selain Freeport dan Goodyear, salah satu perusahaan Amerika yang juga sedang tumbuh pesat di Indonesia adalah General Electric. Ram K. Sharma, yang merintis bisnis General Electric di Indonesia, 14 tahun lalu, mula-mula berkantor di sebuah kamar hotel saja. Kini omset General Electric di Indonesia sekitar US$ 400 juta. Hasil itu antara lain didapat dari kemenangan General Electric dalam tender pemasokan peralatan pembangkit listrik, mesin-mesin pesawat terbang, lokomotif, dan plastik. ''Jika Anda punya relasi dan bermain mengikuti aturan main, tempat ini akan menguntungkan. Pengalaman kami sangat menyenangkan,'' kata Sharma sebagaimana dikutip Fortune. Tadinya General Electric hanya berdagang di sini, tapi belakangan mulai ikut menanamkan modal. Tahun 1992, General Electric menyuntikkan modal sebesar US$ 49 juta dan mengambil oper 30% saham perusahaan leasing, Astra Sedaya. Setelah tahun lalu kalah tender untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Tanjungpriok, yang bernilai US$ 600 juta, General Electric ikut dalam suatu konsorsium (bersama Mission Energy dari Amerika, perusahaan dagang Mitsui dari Jepang, dan Batu Hitam Perkasa milik Hashim Djojohadikusumo) yang akan membangun pembangkit listrik swasta pertama di Paiton, Jawa Timur. Investasi ini diperkirakan akan menelan sekitar US$ 1,8 miliar. Sementara itu, di jalur telekomunikasi, perusahaan AT&T juga sudah mulai mencoba ikut menanamkan modal. Tapi, jalan perusahaan telekomunikasi dari Amerika ini tidaklah begitu mulus. Setelah kalah bersaing dengan NEC dalam tender pemasangan peralatan switching telepon, AT&T harus meminta bantuan Presiden (ketika itu) George Bush untuk mengikuti tender ulang. Baru setelah Bush mengirim surat kepada Presiden Soeharto, tender STDI akhirnya dibagi dua antara NEC dan AT&T, dan masing-masing mendapatkan porsi kontrak bernilai US$ 100 juta. Namun, kedua perusahaan tersebut harus bermitra perusahaan Indonesia. NEC bermitra dengan PT Citra Telekomunikasi milik Nyonya Siti Hardijanti Rukmana, sedangkan AT&T bermitra dengan perusahaan milik Bambang Trihatmodjo. Iklim bisnis seperti itu tak akan mungkin ditiru perusahaan- perusahaan yang dikelola dengan sangat baik. ''Perusahaan- perusahaan triple A tak akan mungkin masuk dalam kerewelan seperti itu. Indonesia membutuhkan suatu proses yang transparan. Posisinya sekarang masih jauh dari transparan,'' kata seorang eksekutif Amerika di Jakarta. Indonesia, menurut pengamatan Fortune, menarik, tapi tidak efisien. Itu tercermin, antara lain, dari sulitnya hubungan telepon, lamanya urusan administrasi dengan birokrat, sampai dengan kesenjangan antara kaya dan miskin yang begitu mencolok mata di jalan raya. MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini