Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyorot kebijakan dan laba bej

Swastanisasi BEJ ternyata mahal. tahun lalu calon pemegang saham ribut cari modal, kini giliran emiten merasa diperas.

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG boleh mengatakan bahwa BUMN tidak efisien. Tapi bukan berarti jika bisnis diserahkan kepada swasta, lalu bisa murah dan efisien. Listrik swasta di kawasan industri Cikarang, misalnya. Atau pun telepon yang ditawarkan swasta di kawasan permukiman. Kedua sarana swasta itu tarifnya jauh lebih mahal dari tarif pemerintah. Contoh lain, kini terlihat di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Pekan lalu, para emiten (perusahaan yang telah menjual saham atau obligasi) di BEJ menggerutu. Soalnya, manajemen baru BEJ yang kini dipegang swasta, menaikkan biaya pencatatan saham dua kali lipat. Dulu ketika ditangani pemerintah (Bapepam), para emiten diminta membayar hanya 0,05%, sedangkan kini BEJ swasta meminta 0,10% dari nilai nominal saham. Selain itu, para emiten harus mencatatkan seluruh sahamnya (company listing). PT Indocement, misalnya, dewasa ini baru mencatatkan sahamnya sekitar 90 juta lembar saham. Padahal seluruh saham Indocement kini lebih dari 600 juta lembar. Dengan nilai nominal Rp 1.000 per lembar, kewajiban Indocement membayar ke BEJ naik dari Rp 90 juta menjadi Rp 600 juta lebih per tahun. Beberapa perusahaan asing yang dahulu terpaksa go public dan cuma menjual saham sedikit kewajibannya pada BEJ akan naik 30w60 kali lipat. Prodenta (300.000 saham) tadinya cuma diwajibkan membayar Rp 150.000 atau Pfizer (600.000 saham) yang cuma membayar Rp 350.000. Kini keduanya harus membayar Rp 10 juta per tahun. Bank International Indonesia yang hanya mencatatkan sekitar 17% sahamnya (35 juta lembar), kini harus menanggung beban hampir lima kali lipat. Menurut Vice President BII, Sjahvery Anwar, jika ketentuan baru BEJ diikuti, berarti harus membayar Rp 204 juta (tadinya cuma Rp 35 juta). "Sebagai samasama swasta, seyogianya BEJ tidak main kekuasaan begitu," tutur Sjahvery, menyesalkan. Banyak emiten menuduh, manajemen BEJ bermain backing pemerintah. "Ketika emiten minta musyawarah, dia jawab bersedia mengubah tarif kalau ada instruksi Menteri Keuangan," tambah Sjahvery. Menurut Hidayat Muchtar, kalau ada tarif minimum, harus juga ada tarif maksimum. "Kami usulkan tarif pendaftaran perdana Rp 10 juta Rp 100 juta, dan biaya pendaftaran tahunan Rp 10 juta Rp 50 juta," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia ini. Setelah merasa sulit menembus dinding BEJ, para emiten ingin berdialog dengan Menteri Keuangan. "Lo, jangan persalahkan Menteri Keuangan. Itu kan urusan swasta dan kami tidak ikut campur," kata Ketua Bapepam, Sukanto Reksohadiprodjo. Ia berpendapat, BEJ dan emiten harus berembuk. "Kalau tarifnya mau diubah, silakan kirim surat, nanti kami rekomendasi," tutur Sukanto. Dengan beban Rp 200 juta saja, BII sudah ribut, apalagi kalau sampai Rp 800 juta seperti yang harus ditanggung Bapindo. Ini karena Bapindo telah menjual obligasi bernilai Rp 800 milyar. Sementara ini Bapindo juga tengah mempersiapkan penjualan obligasi Rp 200 milyar. Artinya, kalau terus di BEJ, Bapindo harus membayar Rp 1 milyar per tahun. Dengan kewajiban begitu besar, Bapindo tak merasakan manfaat go public. "Kalau BEJ terus seenaknya, emiten bisa lari," tambah Hidayat. Beberapa emiten, memang mau pindah ke Bursa Efek Surabaya (BES). Menurut Dirut BES, Basjirudin A. Sarida, sampai Kamis pekan lalu sudah 4 perusahaan yang memastikan diri monolisting di BES, di antaranya Bapindo, Pfizer Indonesia, dan PT Semen Gresik. Melihat gelagat kurang baik ini, BEJ lalu menyatakan kesediaannya berunding. Kalau semua ketentuan tadi dilaksanakan, BEJ tampaknya akan mandi duit. Masalahnya sederhana, adakah kemakmuran itu layak atau tidak. Dewasa ini, lebih dari 140 perusahaan telah mencatatkan sejumlah saham mereka ke BEJ. Dari itu saja, BEJ bisa menghimpun Rp 3,2 milyar per tahun. Uang itu akan lebih banyak, kalau semua saham perusahaan dipaksa dicatat di bursa. Berarti, penerimaan BEJ dari pungutan pencatatan tahunan (annual listing fee) bisa lebih dari Rp 10 milyar per tahun. Belum lagi fee yang dipungut dari para pialang, yakni seperseribu (1 permil) dari nilai transaksi. Dengan omzet perdagangan saham sekarang ratarata di atas Rp 30 milyar Rp 40 milyar per hari, 5 hari bursa setiap pekan, ada sekitar Rp 750 juta yang masuk ke kocek BEJ. Jadi setahun, berkisar Rp 8 Rp 10 milyar. Praktis penerimaan BEJ setahun Rp 20 milyar. Adapun anggaran BEJ seperti yang diungkapkan Dirut Hasan Zein Machmud, sekitar Rp 11 milyar setahun. Berarti, tiap tahun BEJ mencatat laba Rp 9 milyar. Ini jumlah yang tidak sedikit. "Jangan bandingkan BEJ dengan BES. Transaksi di BEJ 9 kali lipat BES," Hasan berdalih. Menurut mantan pejabat Bapepam itu, BEJ kini juga tak bisa dibandingkan dengan BEJ masa Bapepam. Ketika itu semua penerimaan masuk kas negara dan anggarannya ditentukan pemerintah. Max Wangkar, Iwan Qodar, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Biro Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus