TAMPAKNYA, panen raya jeruk di Kalimantan Barat sudah menjadi beban bagi PT Bima Cipta Mandiri (BCM). Pemegang tata niaga jeruk ini makin kewalahan menghadapi arus penjualan jeruk dari petani. Padahal, akhir bulan lalu BCM sudah minta bantuan tiga pedagang besar jeruk, yaitu PT Mekar Citra Abadi, PT Segar Utama Raga, dan PT Harapan Anda, masingmasing sebagai koordinator wilayah yang membantu kelancaran pembelian jeruk. Namun, ketiganya tak cekatan sehingga membuat petani semakin hilang kesabaran. Sabtu dua pekan lalu, misalnya, 400 petani di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, muncul di kantor Camat Tebas. Mereka menuntut agar PT BCM menepati janjinya, yakni membeli semua jeruk petani. Tuntutan itu tak seluruhnya dipenuhi. Abu Hasan, pemilik PT Mekar Citra Abadi, justru menerapkan pembatasan pembelian jeruk dari 10 KUD di wilayahnya. Berarti, petani tak lagi leluasa menjual jeruk mereka, seperti yang pernah dijanjikan oleh BCM. Dengan pembatasan yang disebut sebagai 'sistem pola petik untuk pengendalian panen raya', Tempat Pengumpulan Koperasi (TPK) hanya membeli jeruk antara 55 peti sampai 100 peti saja. Soalnya, BCM hanya bersedia menampung jeruk dari TPK sesuai dengan jatah yang ditentukan. Dan modal untuk pembelian itu ditanggung dulu oleh TPK besangkutan. Celakanya, tak semua TPK mempunyai modal cukup. Padahal, tak mungkin menolak jeruk petani, sejauh kuotanya memungkinkan untuk itu. Acan dari sebuah TPK di Kecamatan Pemangkat, mengaku berutang 5,5 juta untuk pembelian selama lima hari. Ia belum bisa membayar utangutang itu karena dropping uang dari BCM belum diterima. "Kalau begini terus, modal saya tidak kuat," katanya. Petani bahkan lebih payah. Selain kesulitan uang tunai, mereka bingung melihat jeruk yang sudah siap panen tapi tak bisa dijual ke TPK. "Dari 200 pohon jeruk saya, baru 10 keranjang yang terjual. Yang rontok ke tanah sudah lima keranjang," kata Juhni, seorang petani di Bedinding, Pemangkat. Begitulah kepahitan yang tiap kali terulang, bila musim panen raya tiba. Terjadi over produksi yang masih akan berlangsung sampai Agustus depan. Menurut perhitungan Kantor Dinas Pertanian Pontianak, hasil panen raya tahun ini akan mencapai 132.000 ton jeruk. Untuk menyerap total produksi itu sambil menjaga harga Rp 600 tiap kilogram untuk kategori AB, Rp 400 (C), Rp 200 (D), dan Rp 100 (E), jelas tidak mudah. Dana merupakan kunci utamanya. Sebelum tataniaga diberlakukan, over produksi bisa diserap dengan harga antara Rp 300 sampai Rp 100 per kilogram. Tapi Abu Hasan tak mengakui kalau ia kesulitan dana membeli jeruk petani. Ia yakin setiap hari bisa menyalurkan uang antara Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Kalau ada tunggakan utang dari beberapa TPK, "Itu karena prosedur administrasi saja," katanya. Dan ia tetap berjanji akan membeli semua jeruk dalam masa panen raya ini. Bagi Herman Soesilo dari PT Harapan Anda, urusan utang piutang dengan petani atau TPK itu tak menjadi soal. "Sudah sepuluh tahun kami lakukan itu, yang penting saling percaya. Tapi kalau petani kecil kami bayar langsung," katanya. Ia mengakui, sampai saat ini perputaran uang di perusahaannya jadi seret, walaupun masih mendapat dropping uang dari BCM. Dan ia yakin tata niaga jeruk bisa dipertahankan, "Kalau dana tetap mengalir lancar," lanjutnya. Soal lain yang tak diantisipasi adalah sarana angkutan. Akibatnya, jalur perjalanan jeruk dari TPK ke KUD dan ke gudang BCM di Pontianak tak lancar. "Saya harapkan TPK juga ikut mengatasi kesulitan angkutan truk," kata Abu Hasan. Begitu juga dengan angkutan laut dari Pontianak ke Jakarta, yang mengandalkan 48 buah kapal saja. Maka, pembatasan pembelian perlu dilakukan. BCM tentu tak mau menampung semua jeruk petani tapi sulit menyalurkannya karena keterbatasan sarana. Maka, ditetapkan bahwa BCM hanya membeli jeruk dengan kematangan 80%. Yang di atas kematangan itu merupakan tanggung jawab petani, padahal mereka tidak punya cold storage yang mampu memperpanjang usia jeruk sampai 45 hari. Menurut sebuah sumber TEMPO, masalah yang timbul pekan lalu diperburuk oleh pemilihan umum dan Idhul Adha. Pada saat itu banyak pegawai TPK maupun KUD asal Madura pulang kampung sehingga TPK dan KUD tak bisa melaksanakan fungsinya selama empat hari. Dan ketika TPK mulai membuka pelayanan lagi, jeruk sudah menumpuk sehingga masalah dana dan angkutan semakin buruk. Tapi sumber itu mengakui, tata niaga tak didukung oleh feasibility study yang memadai. "Sekarang baru kelihatan banyak bolongnya," kata sumber tersebut. Memang, ketika BCM ditunjuk menjadi koordinator, BCM mempunyai perhitungan yang menjanjikan. Di kantor pusat BCM Jakarta, setiap hari ada 30.000 sampai 40.000 peti jeruk langsung bisa di lepas ke pasar. Bahkan menurut Tongkiang seorang staf pemasaran BCM jumlah itu masih kurang. Tiap peti yang berisi 25 kg, untuk kategori AB, BCM bisa melepas ke pasar dengan harga Rp 27.000, padahal harga beli tiap peti hanya Rp 24.000. Jelas, masih bisa meraih untung. Tapi faktor di lapangan tampaknya kurang diperhitungkan. Itu sebabnya ketika terjadi unjuk rasa di Tebas, sempat terdengar tuntutan agar BCM dibubarkan. Tentang ini, Direktur Utama BCM, Joesoef Abdoelah, berkomentar, "Kita lihat saja nanti." Liston P. Siregar (Jakarta) dan Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini