Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kodel & hotel

Proyek hotel regent di kuningan, jakarta, tertunda lebih dari setahun. bank menilainya tidak f51feasible, modal pun sulit diperoleh.

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON-pohon palem raja tampak memagari pekarangan The Regent, hotel berlian yang belum kunjung selesai pembangunannya. Terletak di ujung Jalan Rasuna Said, The Regent semula diproyeksikan sebagai landmark Kuningan, satu sisi paling bergengsi dari kawasan segi tiga emas di Jakarta dua sisi lain ialah Jalan ThamrinwJenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto. Kuningan, sebagai kompleks gedung perkantoran dan perhotelan, secara tak langsung bisa dijadikan barometer kemajuan bisnis properti di Jakarta. Dewasa ini, beberapa gedung baru sedang dibangun di sini, namun kegiatan bisnis properti justru sedang surut. Seakan menyesuaikan diri dengan irama pasang surut itu, pembangunan hotel The Regent juga terteguntegun. Mulai dibangun sejak tahun 1988, sampai hari ini belum tampak tandatanda bahwa hotel itu akan segera rampung. Padahal pemiliknya,PT Permadani Khatulistiwa Nusantara (PKN, bagian dari Kongsi Delapan atau Kodel), sudah memastikan hotel megah itu akan diresmikan April 1991. Mitra bisnis PT PKN dari mancanegara sempat berkomentar bahwa The Regent tampaknya diniatkan untuk menjadi hotel abad ke21. Dia menyindir tak lain karena hotel itu tak kunjung selesai. Tapi Komisaris Kodel, Said Umar Husin, mengartikan pernyataan itu sebagai pujian. Dan ia punya alasan. "Hotel ini sekali dibangun tak perlu lagi direnovasi, paling tidak sampai 20 tahun mendatang," ujarnya berdalih. Diperkirakan, pembangunan The Regent akan makan waktu lima tahun dan biayanya tak kurang dari US$ 150 juta. Kabarnya, pihak Kodel memiliki ekuiti US$ 70 juta, selebihnya merupakan dana pinjaman. Bank Bukopin dan Bank Duta menyalurkan US$ 4 juta (dalam bentuk rupiah). Sisanya, US$ 76 juta, merupakan offshore loan yang dipinjam melalui BNI, BDN, dan BBD. Semua itu dikucurkan bertahap, seiring kemajuan proyek. Menurut seorang bankir senior di Jakarta, proyek The Regent sudah sejak awal overpriced alias kemahalan. Akibatnya, beberapa bank yang semula berniat memberi pinjaman, dan sejumlah investor yang dulu berminat ikut bergabung, belakangan mengundurkan diri. Sementara itu, Tiga Mas Group, yang pada tahun 1990 berjanji akan membantu mencarikan dana tambahan, sampai hari ini belum melaksanakannya. Tentang ini, Direktur Tiga Mas, Subagyo Wiryoatmodjo, mengakui, "Duit memang susah diperoleh." Teryata, selain biaya modal yang tinggi, pembangunan The Regent dinilai tidak ekonomis. Ini kata seorang direktur bank yang tergolong besar di Jakarta. Diungkapkannya, ketika tahun 1986 pihak Kodel mengajukan proposal ke sejumlah bank, mereka mematok harga tanah di lokasi proyek (seluas 2,4 hektare), US$ 1.000 per meter persegi. "Ini luar biasa, padahal tanah di Rasuna Said waktu itu US$ 200 sampai US$ 300 per meter." Estimasi harga tanah itu sengaja ditinggikan, untuk meningkatkan nilai ekuiti pemilik proyek, sehingga bisa meminta pinjaman lebih besar dari yang seharusnya. "Terus terang saja, sebagai bankir pemerintah saya curiga, janganjangan dana yang mereka peroleh untuk proyek itu dimanfaatkan demi kepentingan proyek lain," kata sumber yang keberatan disebut namanya ini. Selain itu, pengelola proyek tak tanggungtanggung mematok ongkos pembuatan sebuah kamar, US$ 245 ribu. Sdangkan proyek hotel bintang lima biasanya memasang biaya setinggi US$ 135 ribu per kamar. Kendati PT PKN berdalih bahwa The Regent dirancang sebagai hotel lima berlian (bukan lima bintang lagi), pihak bank toh belum yakin. Soalnya, ongkos pembuatan sebuah kamar hotel lima berlian umumnya US$ 160 ribu. PT PKN kemudian menurunkan kalkulasi biaya sebuah kamar menjadi US$ 220 ribu. Tapi karena terkena kenaikan bunga pinjaman, biaya itu membengkak jadi US$ 350 ribu. Ketika mulai dibangun, The Regent diproyeksikan bertarif US$ 120 per malam. Kini, proyeksi itu berubah menjadi lebih dari US$ 200 per malam. "Dengan tarif sebegitu dan tingkat hunian ratarata 70% per tahun, tak sulit mengembalikan modal sesuai dengan rencana," kata Said Umar Husein. Ia memperkirakan balik modal akan terjadi setelah 10 tahun. Tak banyak memang pengusaha pribumi yang terjun ke bisnis perhotelan, dan bila Kodel tampak mengalami kesulitan, ini pun barangkali karena mereka mengejar proyek bergengsi. Jadi, selain kendala uang ketat, Said Umar Husin menyebutkan sederet hambatan teknis. Maklum, ia membangun hotel terbaik di Asia. Untuk itu, marmer diimpor dari Italia, keran air diimpor dari Jerman dan AS. Dan prosesnya makan waktu karena marmer itu harus diukir dulu di Italia, baru diangkut dan dipasang di Indonesia. Kecuali itu, arsiteknya Skiednore Owing & Merril, yang kabarnya tersohor sebagai pembuat hotel di San Francisco dan Chicago mengerjakan rancangannya dari San Francisco. Kalau timbul masalah di lapangan, penyelesaiannya dilakukan melalui korespondensi. Nah, ini pun mengulur waktu. Mohamad Cholid, Iwan Qodar, dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus