IKLIM di luar yang masih loyo, tampaknya, tak mengendurkan minat pemerintah untuk masuk ke industri hulu lebih dalam lagi. Kebetulan ada pihak Jepang, dalam hal ini Mitsui dan C. Itoh yang memenangkan penawaran, berani memberikan kredit ekspor US$ 34,5 juta dengan bunga 6%. Mungkin karena suku bunganya murah dan jangka pengembaliannya cukup panjang, maka Keppres No. 8 tahun 1984, yang mengatur pemakaian fasilitas itu, agak luwes menghadapinya. Maka, mesin diesel dengan tenaga lebih besar kelak bakal dihasilkan PT Boma Bisma Indra (BBI). Kini badan usaha milik negara itu hanya menghasilkan diesel 500 PK (tenaga kuda), tapi kelak diesel 5.000 PK akan bisa dibuatnya. Sasaran itu bakal jadi kenyataan jika usaha restrukturisasi teknologi, yang dimulai Juli nanti, lancar dilaksanakan. Mudah-mudahan, "Awal 1986 kami sudah bisa take off," ujar Ir. Didih Widjajakusumah, Direktur Utama BBI, kepada TEMPO. Pinjaman, yang diberikan dalam bentuk barang modal, kemudian dicampur dengan dana rupiah: Rp 10,8 milyar dari pemerintah dan Rp 5,8 milyar dari Bank Pembangunan Indonesia. Supaya kelak pembayaran kreditnya ringan, BBI sedang membujuk Bapindo agar mau menurunkan suku bunga pinjamannya dari 18% jadi 12%. Utang valuta asingnya, sementara itu, bakal dioper oleh pemerintah, dan uang yang Rp 10,8 milyar bakal dianggap sebagai penyertaan modal pemerintah. Dengan pelbagai kemudahan itu, posisi BBI dalam restrukturisasi memang sangat nyaman. Menurut Didih, sebagian dari rupiah tadi akan digunakan untuk membangun gedung pabrik baru di Pasuruan, guna menempatkan mesin-mesin bernilai sekitar US$ 19,58 juta bagi unit Indra. Sebagian mesin lama milik unit ini, terutama mesin bubut, akan dipindahkan dari Surabaya ke situ. Dengan fasilitas barunya ini, barang konstruksi baja dan cor yang dihasilkannya diharapkan bisa naik dari 6.000 ton jadi 25.000 ton setahun. Lalu sebagian dari pembiayaan kredit ekspor itu, sekitar US$ 17,775 juta, akan digunakan untuk menempatkan mesin-mesin baru di unit Bisma, yang mengambil sebagian lokasi Indra di Surabaya sebelumnya. Unit inilah yang nantinya diandalkan mampu menghasilkan mesin diesel dengan tenaga lebih besar, dari 2.000 unit setahun jadi 6.000 unit setahun. "Yang penting lagi, komponen impor untuk diesel itu hanya akan tinggal 20% saja, padahal sekarang komponen impor yang kami pakai masih 60%," kata Ir. Sukamto, Kepala Bagian Mesin BBI. Unit Boma, juga di Surabaya, sementara itu, akan mendapat tambahan mesin baru bernilai sekitar US$ 3,348 juta. Dengan tambahan barang modal ini, barang-barang tempa semacam pacul dan alat-alat pertanian yang dihasilkannya selama ini diharapkan bisa bertambah dari 4.000 ton jadi 10 ribu ton setahun. Bukan hanya sekadar menaikkan kapasitas dan mengubah barang modal saja ambisi BBI, tapi juga ada keinginan bisa menghasilkan barang modal, semacam ketel uap, bagi pabrik lain. Padahal, semula, ketiga unit pabrik dalam keluarga BBI, yang letaknya terpisah-pisah itu, hanya sekadar sebagai sarana perbengkelan untuk merawat dan membuat suku cadang bagi sejumlah pabrik gula di masa kolonial. Perkembangan zaman, rupanya, menuntut ketiga bengkel itu menjalankan fungsi lebih besar lagi: menjadi sebuah pabrik terintegrasi. Semuanya tentu dilakukan pelan-pelan dan secara berangsur, disesuaikan dengan keadaan kantung pemerintah, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini