SESUDAH diseminarkan tertutup oleh Golkar, utang Indonesia dipermasalahkan lagi oleh FKP (Fraksi Karya Pembangunan) -- kali ini secara lebih mengesankan. Entah apa yang terjadi, fraksi terbesar yang selama ini sikapnya datar-datar saja itu mendadak bergelora. Senin pekan silam, FKP secara tiba-tiba mengundang pers, dalam upayanya menyampaikan kritik terbuka terhadap pemerintah. Tak jelas, apakah pernyataan yang dibacakan Sekretaris FKP Ir. Rachmat Witoelar itu benar-benar telah dipersiapkan matang. Terlepas dari niat baik yang berada di baliknya, siaran pers sepanjang 11 halaman folio itu tampak dibuat secara terburu-buru. Materinya tidak ditunjang data lengkap, hingga membingungkan orang yang membacanya. Hal itu terlihat pada data jumlah utang pemerintah Republik Indonesia, yang mereka permasalahkan. "Dari data-data yang diperoleh, jelas terlihat bahwa posisi utang pemerintah pada akhir Maret 1988, menurut Menteri Keuangan, sebesar US$ 38,362 milyar, sedangkan menurut BI adalah US$ 34,423 milyar, dan menurut Neraca Pembayaran yaitu US$ 33,187 milyar ...," begitu tertulis dalam pernyataan FKP. Di bawahnya kemudian dijelaskan bahwa data Menteri Keuangan diperoleh dari acara Rapat Kerja Komisi APBN, 22 Juni 1988. Hanya sumber data BI dan data Neraca Pembayaran tak jelas. Ternyata, menurut Indra Bambang Oetoyo, data dari BI itu diperoleh FKP dari komisi lain. Oetoyo adalah anggota FKP yang paling keras menuntut agar Menkeu Sumarlin membeberkan rincian utang pemerintah. Tapi ia tak bisa menjelaskan kapan data itu diberikan BI di DPR, demikian pula halnya dengan data Neraca Pembayaran. Barangkali data dari BI yang dimaksudkan FKP adalah informasi yang masuk ke Komisi APBN DPR-RI, dalam rapat kerja 28 November -- 2 Desember 1987 dengan Menteri Keuangan (waktu itu masih Radius Prawiro). Di situ Radius menjelaskan sebagai berikut, "Mengenai utang pokok pemerintah, dapat kami jelaskan bahwa sesuai dengan penjelasan Gubernur Bank Indonesia dalam rapat kerja dengan komisi APBN DPR-RI, pada akhir bulan Juni 1987, POSjSj pinjaman luar negeri pemerintah adalah US$ 34.635 juta (bukan US$ 34,423 milyar seperti dikemukakan FKP)." Dengan ini, semestinya jelas bahwa data Menteri Keuangan sama dengan data dari BI. Agak aneh kalau FKP mengatakan bahwa ada kesimpangsiuran data. "Tidak ada angka yang berbeda," kata Menko Ekuin Radius Prawiro kepada TEMPO awal pekan ini. Jumlah yang dikemukakan Sumarlin, menurut Radius, adalah angka yang benar. Bahwa jumlah yang dikemukakan Menkeu Sumarlin lebih besar, mestinya bisa dimengerti. Sebab, utang per 31 Maret 1988 tentu saja lain dengan data per 30 Juni 1987. "Orang DPR itu paham nggak, sih, bagaimana menghitung utang?" ujar beberapa menteri dari kalangan Ekuin, sebelum rapat di kantor Menko Radius Senin lalu. Bagaimanapun, FKP telah mencoba dalam batas-batas kemampuan dan kesungguhannya. Bahwa ternyata mereka, sebagai anggota DPR, belum paham -- padahal setiap tahun ikut membahas masalah utang pemerintah -- konon pula masyarakat umum. Kritik FKP soal utang bukanlah yang pertama di mimbar wakil rakyat itu. Awal tahun ini, Kwik Kian Gie dan Soerjadi dari Fraksi Demokrasi Indonesia dan Hamzah Haz dari Fraksi Persatuan Pembangunan sudah dengan lantang mengkritik pemerintah -- khusus karena sikapnya yang kurang terbuka dalam hal utang. Ternyata, banyak orang ingin tahu lebih jelas tentang perkembangan utang-utang pemerintah. Seorang pembaca TEMPO belum lama mengirim surat pernyataan, antara lain berbunyi, "Masya Allah . . ., alangkah beratnya perekonomian bangsa ini melihat cicilan utang pemerintah yang tiba-tiba harus menghabiskan 36% dari APBN 1988-89." Dan seorang mahasiswa dari Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Ujungpandang juga mengirimkan surat keluhan. Mahasiswa itu, Anas Iswanto Anwar, sedang mengumpulkan bahan untuk menyusun tesis tentang Perubahan Nilai Tukar Dan Dampaknya Dengan Utang Luar Negeri Indonesia tahun 1969-1987. "Saya sudah putus asa, karena data paling utama belum saya peroleh. Saya telah menghubungi Bank Indonesia di Ujungpandang (dan Jakarta), serta Bank Dunia di Jakarta. Di Jakarta, saya telah berusaha dengan bantuan teman-teman, dilengkapi rekomendasi dari dekan FE-Unhas, tetapi tidak membawa hasil," tulis Anas. Semua fraksi di DPR sudah bersuara, warga biasa ada yang terperangah dan ada yang nyaris putus asa. Rupanya perlu dimaklumi, bahwa mencari dan membayar utang itu sukar, memahami seluk beluk utang juga tak kalah sukar. Pemerintah bagaimanapun ternyata belum berhasil "memasyarakatkan" utang. Perlu penataran 24 jam? Max Wangkar, Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini