Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Khawatir Laba Berkurang

Pemerintah mengenakan pajak penjualan barang mewah. sebagian pengusaha terkena pajak berganda. khawatir keuntungan berkurang, kenaikan harga pun dilakukan untuk mengimbangi biaya produksi yang juga naik.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH seperti hukum saja, bila tarif pajak naik, maka harga pun naik. Tapi belum nampak jelas gerakan harga itu, kendati telah berlaku peraturan pemerintah yang baru tentang pajak. Minuman ringan seperti Coca-Cola, misalnya, per 15 Januari 1989 ini kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM) 20%, tadinya cuma 10%. "Harga Coca Cola, juga minuman ringan lainnya, pasti akan naik. Tapi belum jelas berapa naiknya, karena sedang digodok," ujar Jannus Hutapea dari PT Coca-Cola Indonesia. Tentu saja Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad sudah menyadari kenaikan harga yang segera akan terjadi. Tapi mengutip hukum ekonomi yang lazim berlaku, ekonom lulusan FEUI itu merasa yakin, "akan terjadi keseimbangan baru antara penawaran dan permintaan." Menurut Sumarso F.R., ketua umum lembaga pengkajian CFMS (Central for Fiscal and Monetary Studies), kenaikan harga mestinya tak akan melebihi 10%. Sebab, hal itu bisa mempengaruhi penjualan, yang mungkin menurun. Dengan kata lain, "Sebagian PPn-BM itu akan ditangung pengusaha, dengan konsekuensi keuntungan menurun," katanya. Soalnya, para pengusaha itu belum apa-apa sudah harus membayar dulu pajaknya, yang biasanya akan berpengaruh pada cash-flow. Apa itu bisa mengurangi rangsangan bagi kaum pengusaha? Itulah yang dikhawatirkan Sumarso dan beberapa pengamat lainnya. Ada yang menunjuk pada beleid George Bush. Presiden baru AS itu tak mau mengutak-atik pemasukan negaranya dari pajak, karena khawatir akan terjadi divestment alias berkurangnya minat untuk investasi. Pihak Coca-Cola Indonesia sendiri tidak khawatir jumlah dagangannya akan mengkeret di pasaran. Namun, nampaknya faktor laba diperkirakan akan berkurang dibandingkan tahun lalu. Itu pula sebabnya, "Investasi bisa tidak ada, atau ... yaah, lebih dipertimbangkanlah," jawab Jannus. Dalam RAPBN 1989-90 sasaran penerimaan dari pajak berjumlah Rp 11,8 trilyun naik Rp 2,7 trilyun dari sasaran tahun lalu. Sasaran segede itu, seperti diakui Menkeu Sumarlin, merupakan PR yang sungguh berat buat Dirjen Pajak yang baru. "Pemerintah harus bekerja lebih keras lagi," kata Sumarlin. Maka, sejumlah peraturan pemerintah, keputusan Menteri Keuangan, dan surat edaran Ditjen Pajak dikeluarkan sebagai ancang-ancang untuk mengumpulkan tambahan duit dari masyarakat. Kantor Inspeksi Pajak Jakarta Timur, misalnya, atas nama Dirjen Pajak bahkan sudah mengedarkan surat perintah pemeriksaan ulang terhadap PPh (Pajak Penghasilan) alias kekayaan sebagian warganya di tahun 1986. Yang ingin diketahui, misalnya, sertifikat deposito selama tahun itu, jumlah dividen, dan pemilikan lainnya. Sekalipun di tahun 1986 yang bersangkutan sudah memiliki kartu NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) alias pembayar pajak sah republik ini. Dalam rangka menggali pajak lebih intensif, Ditjen Pajak juga sudah mewajibkan agar pemlhk giro mempunyainya. Dirjen Pajak juga sudah menjalin kerja sama dengan Dirjen Postel untuk meng-NPWP-kan pelanggan telepon. Sedangkan ekstensifikasi, misalnya, dilancarkan kepada para deposan, yang mulai 14 November 1988 dipungut PPh 15% atas bunga deposito mereka. Daftar barang mewah diperbanyak, dan tarifnya diperbarui, yang kabarnya akan lebih berat. Pulsa telepon, tarif pesawat udara di dalam negeri, sampai angkutan barang terkena PPN 10%. Bagaikan suatu tindakan devaluasi, pemerintah nampaknya lebih suka menempuh cara yang dadakan untuk meraup pajak lebih banyak. "Sebaiknya ada 'kondisioning' dulu sebelum sebuah aturan diterapkan. Seperti pada pengenaan PPh atas bunga deposito, cukup waktu bagi masyarakat untuk berpikir," kata Sumarso. Salah satu yang terkena pendadakan itu adalah PT Unilever. Ada 13 produk mereka yang ditibani tambahan pajak 10%: sampo Sunsilk, Vinolia splash cologne, minyak wangi Serimpi, deodoran Rexona, dan krim rambut Brisk. "Kami sedang menghitung berapa tepatnya kenaikannya akibat peraturan pajak yang baru," tutur Taufiq Ismail dari PT Unilever. Tapi diduga kedua perusahaan itu akan meminta para konsumen untuk menanggung kenaikan pajak itu sekitar 8%. Ada juga yang sudah menetapkan kenaikan harga produknya, seperti Aqua. "Kami menaikkan mulai 1 Februari, mudah-mudahan tak ada pengaruhnya," kata Tirto Utomo, orang nomor satu dari perusahaan air minum itu, yang menguasai 65% pasaran. Barang-barang elektronik juga sudah naik 10-15%. Demikian pula harga mobil. Harian Suara Karya Senin lalu melaporkan harga jual Toyota Corolla Twin Caml sudah naik dari Rp 38 juta menjadi Rp 41,3 juta. Sedang Toyota Corona naik Rp 4 juta menjadi Rp 40 juta sebuah. Ada juga yang tak naik, bir Bintang, misalnya. Sebab, awal Januari lalu mereka sudah menaikkan harga 12% untuk mengimbangi biaya produksi, yang menurut Dirut Tanri Abeng sudah naik 25%. Tanri beranggapan, perusahaannya sudah membayar cukai. Tapi toh masih dibebani PPN (Pajak Pertambahan Nilai), lalu ditambah PPn-BM yang 10%. "Jadi, pajak di atas pajak. Dalam pandangan kami, itu pajak berganda," katanya. Mudah-mudahan kerja keras Ditjen Pajak dengan 20.000 orang petugasnya tak akan membuat masyarakat takut. Misalnya menanyakan perihal simpanan depositonya yang jelas diakui sifat kerahasiaannya oleh pemerintah. Kalau itu sampai dipaksakan, akibatnya mudah diduga: orang akan mulai memarkir duitnya di bank-bank di Singapura, yang pasti bisa membuat si pemilik lebih enak tidurnya. Mudah-mudahan sasaran pemasukan yang Rp 11,8 trilyun itu bakal tercapai di akhir Maret tahun depan. Sekalipun, seperti kata Dekan FEUI Prof. Dr. Arsjad Anwar perlu ada political will dan law enforcement di negeri ini. Suatu hal yang lebih mudah diucapkan ketimbang dijalankan. Suhardjo Hs., Yopie H., Wahyu Muryadi (Surabaya), Makmun Al Mujahid (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus