Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Mereka-reka Letusan Gelembung Utang

Yopie Hidayat, Kontributor Tempo

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas menyampaikan penjelasan kepada pengunjung saat menghadiri Green Sukuk Investor Day di Jakarta, Sabtu (16/11/2019)/ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu pertanyaan besar tengah membebani pasar. Akankah gelembung investasi surat utang pemerintah meletus pada 2020? Ini persoalan serius. Banyak negara akan kalang-kabut jika investor ramai-ramai melepas obligasi pemerintah. Terutama negara-negara berkembang yang sedang haus dolar karena memikul defisit neraca transaksi berjalan.

Begitu juga kisah Indonesia. Obligasi terbitan pemerintah RI tengah menjadi favorit investor global. Bunga yang menurun di negara-negara maju membuat investor menyerbu, memburu imbal hasil lebih tinggi. Sejak awal 2019 hingga pekan lalu, investor asing secara neto sudah memborong bermacam surat berharga negara (SBN) berdenominasi rupiah senilai Rp 167 triliun.

Serbuan investor asing itu, di satu sisi, merupakan berkah bagi pemerintah yang sedang terdesak. Rendahnya penerimaan negara dari pajak membuat defisit anggaran negara pada 2019 melebar, diperkirakan menjadi 2,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dari rencana semula 1,83 persen saja. Melonjaknya defisit anggaran mengharuskan pemerintah lebih agresif menjual surat utang di pasar.

Memang, tak ada lagi cara menutup defisit anggaran selain berutang kepada pasar dengan menjual obligasi. Selama 2019, secara neto pemerintah sudah menjual surat utang senilai Rp 457 triliun, jauh lebih tinggi ketimbang target awal senilai Rp 389 triliun. Serbuan investor asing itu memudahkan pemerintah menjual surat utangnya. Ada permintaan besar di pasar yang seolah-olah tak akan pernah terpuaskan.

Di sisi lain, langkah pemerintah menambal defisit dengan menambah penerbitan surat utang ini juga berisiko besar. Bukan soal besarnya beban utang yang membuatnya berisiko. Sejauh ini, beban utang pemerintah per Oktober lalu mencapai Rp 4.756 triliun, masih relatif aman jika diukur dengan rasionya terhadap PDB yang tercatat sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan Malaysia, yang rasionya mencapai 51,8 persen, misalnya, beban utang Indonesia masih jauh dari membahayakan. Namun risiko yang mengancam RI dalam hal posisi SBN adalah risiko pasar.

Jika tren global mendorong keluarnya dana asing dari surat utang pemerintah, sudah pasti investor yang masuk ke Indonesia akan ikut terpengaruh menarik dananya keluar. Per 4 Desember 2019, posisi dana asing yang tertanam di seluruh SBN sudah mencapai Rp 1.041 triliun. Tentu, tak semua dana itu akan serentak keluar, kecuali ada hal ekstrem yang meruntuhkan kepercayaan pada Indonesia. Masalahnya, jika timbunan dana itu longsor sebagian saja, rupiah sudah cukup mendapat tekanan besar.

Urutan penjelasannya begini. Jika investor asing melepas obligasi miliknya, mereka akan mendapatkan dana dalam bentuk rupiah lantaran obligasi itu berdenominasi rupiah. Investor asing tak akan membawa rupiah ke negaranya. Mereka tentu saja harus membeli dolar dulu untuk dibawa pulang.

Arus balik dolar inilah yang dapat memukul kurs rupiah. Sebab, sampai saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Dolar yang masuk ke negeri ini dari seluruh transaksi barang dan jasa masih jauh lebih kecil daripada dolar yang keluar. Selama ini, dolar yang dibawa investor asing masuk ke SBN itulah yang menjadi salah satu pengganjal defisit. Jika penambal defisit itu hilang, makin keringlah persediaan dolar di dalam negeri. Otomatis nilai tukar dolar terhadap rupiah akan melonjak.

Tak mudah bagi pemerintah untuk merancang rencana mengatasi risiko ini. Kekuatan pasar finansial global, sekali bergerak, tak akan terbendung. Satu-satunya langkah yang bisa pemerintah lakukan hanyalah sedapat mungkin menjaga kepercayaan pasar pada Indonesia agar tidak luntur. Walhasil, kalau toh gelembung itu benar-benar meletus, dampaknya pada Indonesia setidaknya tak akan terlalu parah.


Peringkat Kredit Indonesia

​Standard & Poor's

Rating ​BBB      Outlook​ Stable

Fitch Ratings

​Rating BBB     Outlook Stable

Moody's Investor Service ​

Rating Baa2     Outlook ​Stable

Japan Credit Rating Agency

Rating ​BBB     Outlook ​​Stable

 

Yopie Hidayat, Kontributor Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus