INDUSTRI rokok kretek Indonesia saat ini sedang dibayangi
mendung kelabu. Produksi lesu hingga banyak pabrik yang
mengurangi jam kerjanya. Biang keladi yang dituding: harga
cengkeh, bahan utama rokok kretek yang belakangan ini menggila.
April lalu di pasaran bebas Surabaya harga per kg nya masih Rp
7.250. Dua pekan lalu melejit menjadi Rp 15.000. Padahal harga
dasar yang ditetapkan pemerintah masih tetap Rp 3.500 per kilo.
Wajar jika banyak produser rokok kretei yang risau. "Kalau
harga terus membubung, kami tidak akan bisa membeli banyak,"
ucap Hudiono Wangsawijaya, Direktur PT Karnia yang memproduksi
rokok Grendel di Malang pada Dahlan Iskan dari TEMPO. Menurut
Hudiono pabriknya kini hanya bisa membeli persediaan untuk
produksi 2 minggu.
Keadaan yang serupa menimpa banyak pabrik lain. Pabrik rokok
Jambu Bol di Kudus sejak awal Juli lalu mengurangi praduksinya
antara 20-40%. Jumlah buruhnya tetap dipertahankan, tapi sistim
jatah diterapkan. Akibatnya, bila sebelumnya mereka bisa
memperoleh upah Rp 500 dengan bekerja dari jam 06.00-16.00, kini
mereka hanya bisa mendapat antara Rp 300-Rp400.
Raksasa Kudus yang lain, PT Jarum, masih bisa mempertahankan
produksinya, tapi nasib yang menimpa beberapa pabrik kecil lebih
parah. Pabrik rokok Kalo dan Bengkuan bulan lalu terpaksa libur
2 minggu. Pabrik rokok cap Pompa, Gentong Gotri dan Korek Api 7
hari. Namun yang terparah agaknya pabrik rokok Sogo yang Juli
lalu harus libur 20 hari.
Mercu Buana
Mengapa karga cengkeh menggila? Menurut kalangan pabrik rokok
serta importir cengkeh, ini karena rusaknya panen cengkeh dalam
negeri tahun ini. Pada 1977, panen cengkeh Indonesia
menghasilkan lebih dari 35.000 ton. Tahun ini, karena banyaknya
hujan, panen cengkeh diperkirakan hanya mencapai 4.000 ton.
Kebutuhan cengkeh Indonesia tiap tahun sekitar 45.000 ton,
sekitar 15.000 ton berasal dari impor dari Zanzibar dan
Malagasi. Sejak akhir 1970, hanya 2 perusahaan yang mendaat
ijin impor cengkeh, PT Mercu Buana (1an PT Mega. Swasembada
cengkeh diperkirakan baru tercapai pada 1981.
Menurut Probosutedjo, Direktur Utama PT Mercu Buana,
ketidakstabilan harga cengkeh disebabkan oleh kebutuhan dalam
negeri yang meningkat terus karena penggemar rokok kretek makin
meningkat. "Jadi jelas kenaikan harga cengkeh bukan karena
Kenop-15, bukan karena kenaikan harga BBM, dan bukan karena
kesalahan teknokrat," ujarnya pekan lalu.
Yang juga merisaukan banyak pabrik rokok kretek adalah
beredarnya banyak cengkeh impor di pasaran bebas. Padahal
seharusnya, cengkeh impor ini dijatahkan pada para pabrik rokok.
Kebocoran ini tampaknya karena perbedaan harga yang menyolok.
Harga jatah dari Mercu Buana Rp 6.120/kg sedang harga pasaran
bebas Rp 15.000. Ada juga pabrik yang belum mendapat jatah
cengkeh ini, misalnya Grendel. "Padahal sudah setahun lebih kami
mengajukan permohonan," keluh Hudiono.
Beberapa perusahaan rokok kecil di Kediri juga sudah lama tidak
mendapat jatah ini. PT Sriti misalnya sudah sejak Pcbruari 1976.
"Baru Juni lalu kami mendapat jatah lagi, walau sangat sedikir,
200 kg per bulan," kata Haryanto, Direktur Sriti pada TEMPO.
Menurut Probosutedjo, umumnya para pabrik besar masih cukup
memiliki persediaan cengkeh. Alasannya, beberapa pabrik ini
seperti Gudang Garam, Bentoel dan Jarum melakukan pembelian
langsung ke daerah penghasil cengkeh. Diperkirakan persediaan
mereka cukup untuk produksi antara 3 - 6 bulan. Menurut
pengusaha pribumi terkemuka ini, yang untung dengan kenaikan ini
adalah petani di masa mendatang. Karena biasanya kalau harga
sudah terlanjur naik, sulit untuk menurunkannya kembali.
Tapi yang paling terkena dengan mahal dan langkanya cengkeh ini,
di samping buruh pabrik adalah para pengisap kretek. Melejitnya
harga cengkeh tampaknya menyulitkan pabrik untuk mempertahankan
harga produksi mereka. Harga pas banderol yang sebelumnya memang
sulit terwujud setelah sampai ke tangan pengecer sekarang makin
keteter. Rokok Gudang Garam misalnya, yang harga banderolnya Rp
250 -- kini hanya bisa dijual Rp325 per bungkus.
Untuk mengatasi kekurangan cengkeh ini satu-satunya jalan adalah
lewat tambahan impor. Pekan lalu Menteri Perdagangan dan
Koperasi Radius Prawiro memperkirakan, pemasukan cengkeh eks
impor ke Indonesia "tidak akan terlalu pesimistis". Sebab sudah
ada jaminan dari negara produsen utama di dunia, bahwa sepanjang
mereka memiliki persediaan cengkeh, mereka akan menjualnya ke
Indonesia langsung tanpa melalui negara ketiga. Tapi berapa
jumlah dan harga cengkeh impor ini "belum diketahui". Menurut
beberapa kalangan, Singapura telah memborong persediaan cengkeh
Zanzibar, Malagasi dan Tanzania, hingga akhirnya Indonesia
tampaknya akan terpaksa membeli dari negara tetangga ini dengan
harga yang mereka tentukan. RRC dikabarkan juga membeli cengkeh
di pasaran internasional karena negeri ini mulai memproduksi
rokok kretek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini