Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Terpaksa Diliburkan

Produksi cengkeh tahun ini menurun, sehingga harga cengkeh naik. Banyak pabrik rokok kretek terpaksa meliburkan buruhnya atau mengurangi produksinya. (eb)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDUSTRI rokok kretek Indonesia saat ini sedang dibayangi mendung kelabu. Produksi lesu hingga banyak pabrik yang mengurangi jam kerjanya. Biang keladi yang dituding: harga cengkeh, bahan utama rokok kretek yang belakangan ini menggila. April lalu di pasaran bebas Surabaya harga per kg nya masih Rp 7.250. Dua pekan lalu melejit menjadi Rp 15.000. Padahal harga dasar yang ditetapkan pemerintah masih tetap Rp 3.500 per kilo. Wajar jika banyak produser rokok kretei yang risau. "Kalau harga terus membubung, kami tidak akan bisa membeli banyak," ucap Hudiono Wangsawijaya, Direktur PT Karnia yang memproduksi rokok Grendel di Malang pada Dahlan Iskan dari TEMPO. Menurut Hudiono pabriknya kini hanya bisa membeli persediaan untuk produksi 2 minggu. Keadaan yang serupa menimpa banyak pabrik lain. Pabrik rokok Jambu Bol di Kudus sejak awal Juli lalu mengurangi praduksinya antara 20-40%. Jumlah buruhnya tetap dipertahankan, tapi sistim jatah diterapkan. Akibatnya, bila sebelumnya mereka bisa memperoleh upah Rp 500 dengan bekerja dari jam 06.00-16.00, kini mereka hanya bisa mendapat antara Rp 300-Rp400. Raksasa Kudus yang lain, PT Jarum, masih bisa mempertahankan produksinya, tapi nasib yang menimpa beberapa pabrik kecil lebih parah. Pabrik rokok Kalo dan Bengkuan bulan lalu terpaksa libur 2 minggu. Pabrik rokok cap Pompa, Gentong Gotri dan Korek Api 7 hari. Namun yang terparah agaknya pabrik rokok Sogo yang Juli lalu harus libur 20 hari. Mercu Buana Mengapa karga cengkeh menggila? Menurut kalangan pabrik rokok serta importir cengkeh, ini karena rusaknya panen cengkeh dalam negeri tahun ini. Pada 1977, panen cengkeh Indonesia menghasilkan lebih dari 35.000 ton. Tahun ini, karena banyaknya hujan, panen cengkeh diperkirakan hanya mencapai 4.000 ton. Kebutuhan cengkeh Indonesia tiap tahun sekitar 45.000 ton, sekitar 15.000 ton berasal dari impor dari Zanzibar dan Malagasi. Sejak akhir 1970, hanya 2 perusahaan yang mendaat ijin impor cengkeh, PT Mercu Buana (1an PT Mega. Swasembada cengkeh diperkirakan baru tercapai pada 1981. Menurut Probosutedjo, Direktur Utama PT Mercu Buana, ketidakstabilan harga cengkeh disebabkan oleh kebutuhan dalam negeri yang meningkat terus karena penggemar rokok kretek makin meningkat. "Jadi jelas kenaikan harga cengkeh bukan karena Kenop-15, bukan karena kenaikan harga BBM, dan bukan karena kesalahan teknokrat," ujarnya pekan lalu. Yang juga merisaukan banyak pabrik rokok kretek adalah beredarnya banyak cengkeh impor di pasaran bebas. Padahal seharusnya, cengkeh impor ini dijatahkan pada para pabrik rokok. Kebocoran ini tampaknya karena perbedaan harga yang menyolok. Harga jatah dari Mercu Buana Rp 6.120/kg sedang harga pasaran bebas Rp 15.000. Ada juga pabrik yang belum mendapat jatah cengkeh ini, misalnya Grendel. "Padahal sudah setahun lebih kami mengajukan permohonan," keluh Hudiono. Beberapa perusahaan rokok kecil di Kediri juga sudah lama tidak mendapat jatah ini. PT Sriti misalnya sudah sejak Pcbruari 1976. "Baru Juni lalu kami mendapat jatah lagi, walau sangat sedikir, 200 kg per bulan," kata Haryanto, Direktur Sriti pada TEMPO. Menurut Probosutedjo, umumnya para pabrik besar masih cukup memiliki persediaan cengkeh. Alasannya, beberapa pabrik ini seperti Gudang Garam, Bentoel dan Jarum melakukan pembelian langsung ke daerah penghasil cengkeh. Diperkirakan persediaan mereka cukup untuk produksi antara 3 - 6 bulan. Menurut pengusaha pribumi terkemuka ini, yang untung dengan kenaikan ini adalah petani di masa mendatang. Karena biasanya kalau harga sudah terlanjur naik, sulit untuk menurunkannya kembali. Tapi yang paling terkena dengan mahal dan langkanya cengkeh ini, di samping buruh pabrik adalah para pengisap kretek. Melejitnya harga cengkeh tampaknya menyulitkan pabrik untuk mempertahankan harga produksi mereka. Harga pas banderol yang sebelumnya memang sulit terwujud setelah sampai ke tangan pengecer sekarang makin keteter. Rokok Gudang Garam misalnya, yang harga banderolnya Rp 250 -- kini hanya bisa dijual Rp325 per bungkus. Untuk mengatasi kekurangan cengkeh ini satu-satunya jalan adalah lewat tambahan impor. Pekan lalu Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro memperkirakan, pemasukan cengkeh eks impor ke Indonesia "tidak akan terlalu pesimistis". Sebab sudah ada jaminan dari negara produsen utama di dunia, bahwa sepanjang mereka memiliki persediaan cengkeh, mereka akan menjualnya ke Indonesia langsung tanpa melalui negara ketiga. Tapi berapa jumlah dan harga cengkeh impor ini "belum diketahui". Menurut beberapa kalangan, Singapura telah memborong persediaan cengkeh Zanzibar, Malagasi dan Tanzania, hingga akhirnya Indonesia tampaknya akan terpaksa membeli dari negara tetangga ini dengan harga yang mereka tentukan. RRC dikabarkan juga membeli cengkeh di pasaran internasional karena negeri ini mulai memproduksi rokok kretek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus