Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika cahaya merah memudar

Grup padneswara mementaskan sekar pembangun di teater arena tim. ceritanya digarap bersama oleh retno maruti dan sulistyo s. tirto kusumo. mereka berhasil menampilkan unsur jawa yang khas. (tr)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKAR PEMBAYUN Penata Tari: Retno Maruti, Sulistyo S. Tirtokusumo. Prodoksi: Padneswara. SEORANG lelaki konon dilahirkan untuk menaklukkan dunia, tetapi wanita dilahirkan untuk menguasai hati laki-laki. Ki Ageng Mangir, seorang lelaki pilihan pemberontak terhadap kekuasaan Mataram di bawah Panembahan Senopati Sang Raja tahu bahwa musuh yang satu ini, yang juga bergelar Ki Ageng Wanabaya memang sangat berbahaya. Maka dengan cerdik dipasangnya peranghap, walau untuk itu jiwa puterinya, Sekar Pembayun, harus dipertaruhkan. Mangir masuk bubu mengawini Sekar Pembayun yang menyamar sebagai penari barangan. Dia akhirnya terpaksa harus mengorbankan martabat dan jiwanya sebagai seorang menantu harus ngabekti (= berbakti) kepada mertua yang ternyata musuh bebuyutannya. Dalam upacara ngabekten inilah dengan disaksikan oleh sekalian yang hadir, Mangir mati sia-sia ketika hendak mencium duli kaki sang raja kepalanya dibenturkan dengan keras ke batu singgasana oleh sang mertua. Kisah tragis ini diangkat ke pentas oleh Grup Padneswara di Teater Arena, TIM, 28, 29 dan 30 Juli 1979. Ditangani bersama oleh Retno Maruti dan Sulistyo S. Tirtokusumo. Walaupun kisah ini tentang pemberontakan dan peperangan, penonton yang mengharapkan adegan-adegan seru akan kecewa. Arah garap pementasan memang tidak ke sana. Sekar Pembayun tampil dalam bentuk langendriyan yang lembut dan halus. Paduan gaya garap kedua murid almarhum R.T. Kusumokesowo (seorang tokoh tari Keraton Surakarta) itu ternyata cukup memikat, baik -- dari segi tari, karawitan maupun garapan tembang. Beberapa catatan kecil memang ada: latar belakang gerakan penari pria yang sulit serempak, cara berkain Mangir yang walaupun bagus tak menguntungkan proporsi tubuh penari. Namun secara keseluruhan langendriyan ini cukup mengendap. Yang menarik justru pendekatan garapan tari yang tidak semata-mata naratif. Gerak tari, iringan gending dan tembang secara keseluruhan mampu membawa suasana batin penonton ke pengalaman lengang, tragis dan sekaligus kesumat. Dan sejak awal suasana rudatin yang dingin memang telah menyelimuti pentas dan menguasai penonton. Kelewat Mriyayi Lawung Sala yang dikembangkan untuk memulai pementasan ini, memang menyuguhkan suasana yang berbeda dengan Lawung Yogya yang bersemangan Yang dari Sala lebih terasa anggun. Dan keanggunan itulah yang mewarnai pementasan dari awal sampai akhir. Adegan demi adegan merambat dengan tenang dan perlahan sesuai dengan kaidah tari keraton umumnya. Dan semua hal diungkapkan sinamun ing samudana --secara samar bagaikan diselubungi kabut yang indah -- memenuhi selera Jawa. Tapi ketegangan bukannya tak berhasil ditampilkan. Justru dari pergantian adegan yang merayap perlahan dan vokal-vokal yang melankolis ketragisan jadi lebih menyayat. Tak ada yang digambarkan secara wadag, tak ada perang otot, sampai-sampai adegan barangan-pun digarap kelewat mriyayi. Adegan percintaan Mangir dan Pembayun misalnya, digarap lewat cakepan, sindenan, tari dan iringan bedaya duradasih yang wingit. Sementara kedua insan yang ber-langen-asmara duduk bersila berhadapan di latar belakang arena, sekelompok bedaya memperagakan adegan -- atau lebih tepatnya suasana-suasana yang menyarankan kisah cinta yang tragis. Bahkan ketika Mangir sadar telah masuk perangkap, emosi penari (Sentot) cukup terkendali. Demikian pula adegan terakhir saat dibunuhnya Mangir oleh Senopati, sang mertua, ditampilkan secara halus dan simbolis. Ditopang cahaya merah terang yang berangsur-angsur memudar secara perlahan, suara empat tombak yang digedrugkan ke papan arena berhasil secara puitis mengakhiri kisah ini Ki Ageng Mangir telah perlaya. Bagi penonton yang tak paham kultur Jawa, tontonan ini barangkali terlalu menuntut kesabaran, kelewat halus atau kelewat tersembunyi. Apa lagi bagi mereka yang datang menonton untuk mencari hiburan. Tetapi yang biasa matmatan menikmati klenengan nyamleng, suasana khas priyayi Jawa itu hadir di sana. Bening Dan Dingin Tak dinyana garapan klasik semacam ini justru muncul, tumbuh dan berkembang di Jakarta. Dan ternyata mulai memiliki penggemar tetap yang berlimpah tanpa tersedot oleh penonton Sri Mulat, yang main di Teater Terbuka. Di masa silam, orang sering dengan sinis mencemoohkan tontonan Jawa di Jakarta sebagai bergaya pesisiran, yang artinya selalu kelewat kasar dan bernilai lebih rendah dari pada yang berkembang di pusat kerajaan. Keadaan itu mungkin masih benar sampai dengan lima tahun yang lewat. Tetapi kini, Jakarta agaknya mulai berbicara lebih mantap juga dalam percaturan tari tradisi, terutama Jawa. Sementara di tempat asalnya tontonan yang sae tur kathah luconipun (=bagus karena banyak humornya) lebih disukai, tontonan di Jakarta kini lebih banyak menampilkan gaya garap yang lebih halus dan lembut. Agaknya banyaknya orang Jawa Jakarta yang rindu suasana Jawa masa lalu, membantu menyuburkan berkembangnya tontonan yang lebih menampilkan unsur Jawa yang khas. Sekar Pembayun kali ini, jauh lebih berhasil daripada Roro Mendut (digarap oleh Maruti juga) misalnya. Sekar Pembayun membawa khayal kita kepada ungkapan ceritera tragis Noh -- drama klasik Jepang yang terkenal itu: bening dan dingin. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus