Riwayat cengkeh barangkali mirip dengan jungkir baliknya sang nasib. Lima belas tahun lalu, cengkeh adalah primadona. Persyaratan tumbuhnya yang tidak rewel, daya kembangnya yang melaju cepat, dan harganya yang terus membengkak telah mengantarkan cengkeh jadi bintang pujaan petani. Entah sudah berapa ratus ribu keluarga yang telah dimakmurkan si emas cokelat ini.
Tapi, pada awal 1990-an, si cokelat ini mulai dianggap sebagai "wereng" yang merepotkan. Pasokannya dinilai terlalu membanjir. Harganya mulai menyusut, sampai akhirnya pemerintah mulai menganggap perlu untuk membentuk lembaga yang bisa menjaga kepentingan petani cengkeh. Agar pasokan yang membeludak tak menekan posisi petani terhadap pabrik rokok, dibentuklah Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Tugasnya: jadi penyangga stok. Kalau cengkeh berlebih, BPPC akan menyerap kelebihan produksi agar harga yang diterima petani tetap terjaga. Sebuah cita-cita yang mulia.
Tapi, mungkin sudah jadi kebiasaan pemerintahan kita saat itu, niat mulia ini bengkok dalam pelaksanaannya. Pada prakteknya, BPPC bukan murni badan penyangga stok yang melindungi kepentingan petani, tapi sebaliknya, menjadi pemegang monopoli perdagangan cengkeh. Semua transaksi jual-beli cengkeh harus melalui BPPC. Petani harus menjual cengkehnya ke BPPC, begitu juga sebaliknya, pabrik rokok harus membeli kebutuhannya dari badan pemerintah itu. Bahkan pabrik rokok yang punya kebun cengkeh sendiri tak bisa memanen dan memakai langsung hasil kebunnya. Cengkeh hasil kebun sendiri itu harus "dijual" lebih dulu ke BPPC, untuk kemudian dibeli kembali.
Dan hebatnya lagi, sebagai badan penyangga stok, BPPC tak mengenal kata rugi. Badan pemerintah yang diketuai Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Presiden (kala itu) Soeharto ini menetapkan fee untuk pengelolaan cengkeh. Kalaupun harus menyimpan stok, pabrik harus membayar beban inventorinya. Kalaupun harus menanggung utang, konsumen jugalah yang dibebani bunganya. Pokoknya, dunia boleh jungkir balik, tapi BPPC tak boleh rugi.
Seberapa kuatkah sebuah lembaga usaha bertahan dengan resep "pokoknya"? Ternyata tak lama. Pasokan cengkeh terus menderas, BPPC tak mampu menyerap semuanya. Segala upaya dilakukan: harga beli ditekan, harga jual dinaikkan. Petani diminta menyimpan tabungan ini, tabungan itu, simpanan ini, simpanan itu, pokoknya asal harga bisa ditekan. Tapi BPPC tetap tak tertolong. Lembaga yang semula tampak begitu hebat itu akhirnya tetap saja tak mampu menyerap cengkeh petani, berantakan, dan terbelit utang.
Sampai saat ini, pelbagai tuntutan pencairan tabungan dan ini dan itu terus saja berlangsung. Tapi riwayat BPPC seperti diakhiri begitu saja setelah Dana Moneter Internasional (IMF) meminta lembaga ini dibubarkan. Ia pun ditutup begitu saja seperti sebuah buku yang habis dibaca. Seolah-olah semua derita yang ditimbulkannya selama ini bisa dihapus begitu saja. Tanpa maaf, tanpa pertanggungjawaban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini