BAGI Syahlan, wangi cengkeh cuma sayup-sayup sampai. Lima tahun terakhir, petani Sulawesi Selatan ini tak pernah lagi merasakan sedapnya aroma rempah cokelat itu. Sejak perdagangannya diatur pemerintah, beberapa tahun lalu, harga cengkeh terus merosot. Syahlan pun tak lagi punya minat untuk mengurus kebunnya yang delapan hektare itu.
"Buat apa?" katanya ketus, "Tak banding dengan ongkosnya." Ia lalu membuat kalkulasi kasar. Katanya, harga cengkeh (saat itu) paling banter Rp 2.500, padahal biayanya (mengurus tanaman, memanen cengkeh, dan mengeringkannya) sampai Rp 10.000 per kilogram. Apa boleh buat. Akibatnya, sekitar 3.000 pohon cengkeh yang tak bersalah itu dibiarkan Syahlan merana tak terpelihara.
Tapi zaman berganti, nasib berputar. Sejak akhir Mei lalu, harga cengkeh tiba-tiba menanjak seperti kesetrum listrik ribuan volt. Hanya dalam tempo sebulan, harga cengkeh yang semula anteng saja di sekitar Rp 10.000 tiba-tiba melompat jadi Rp 50.000 per kilogram. Wah!
Tanpa dikomando, Syahlan buru-buru kembali menengok kebunnya. Dengan sisa-sisa pohon yang hampir mati merana, ia masih mampu menjala dua ton cengkeh. Hasilnya? Bersih, Rp 50 juta. "Ini rezeki nomplok," katanya, tertawa-tawa. Ia masih bersyukur, walaupun dalam keadaan sehat kebunnya bisa menghasilkan cengkeh dua setengah kali lipat lebih banyak.
Rezeki nomplok seperti itu tampaknya tak cuma dinikmati Syahlan. Ribuan petani yang lain di Jawa, Sulawesi, dan Sumatra seperti kejatuhan rezeki tiban. Cengkeh yang sepuluh tahun terakhir dimusuhi seperti penyakit kusta, kini malah tampil sebagai peri pelipur lara. Di tengah hantaman badai krisis ekonomi, cengkeh tiba-tiba menjanjikan kehidupan yang lebih makmur.
Apakah mimpi seperti ini akan bertahan lama? Lonjakan harga cengkeh tak bisa dipisahkan dari kelangkaannya. Sejak ribuan pohon cengkeh ditebangi tiga tahun lalu, produksi cengkeh terus mengempis. Tahun ini, penggembosan itu mencapai dasarnya. Hujan yang tak kunjung reda di belahan timur Indonesia membuat pokok-pokok cengkeh di pusat produksi seperti Sulawesi dan Maluku malas menghasilkan malai bunga. "Yang muncul cuma kuncup daun melulu," kata seorang petani.
Akibatnya, tingkat produksi diramalkan merosot jauh. Yang biasanya antara 80 ribu ton dan 100 ribu ton, tahun ini diperkirakan cuma 50 ribu ton. Padahal, kebutuhan pabrik rokok kretek di Indonesia saja, konsumen terbesar cengkeh di dunia, kini mencapai 80 ribu ton lebih!
Gelagat kelangkaan cengkeh inilah tampaknya yang membuat pabrik-pabrik rokok panik. Mereka memborong stok cengkeh dan menyikat habis berapa pun harga yang ditawarkan pedagang. Apa boleh buat, simpanan cengkeh di pabrik rokok agaknya terbatas. Menurut data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, stok cengkeh pabrik rokok besar tinggal setahun, pabrik menengah cuma enam bulan, dan pabrik kecil tinggal tiga bulan.
Gara-gara aksi borong ini, pasar cengkeh gonjang-ganjing. Harganya di pasar lokal merambat naik dan pasokan menipis. Melihat harga yang terus menanjak, para pedagang yang sudah punya kontrak ekspor membatalkan pengapalan. Bahkan sejumlah besar cengkeh yang sudah telanjur dikirim ke Mesir dan Timur Tengah kabarnya akan segera ditarik pulang. Beberapa importir India yang mendatangkan cengkeh dari India kabarnya juga sedang melakukan hal yang sama: reekspor.
Gampang diduga, kelangkaan cengkeh di Indonesia ini langsung menyetrum ke pasar internasional. Dengan produksi 80 ribu ton setahun (lima kali jumlah yang diproduksi Madagaskar dan Zanzibar), Indonesia merupakan penghasil sekaligus konsumen cengkeh terbesar di dunia. Karena itu, hilangnya pasokan cengkeh di Indonesia langsung mengerek harga cengkeh di pasar internasional dari US$ 1.250 per ton menjadi US$ 5.500 sampai US$ 6.000 per ton.
"Ini harga yang sangat tak rasional," kata seorang pedagang di pasar cengkeh internasional. Meskipun demikian, kalangan pedagang cengkeh dunia menaksir, harga masih akan menanjak naik, sampai ada pasokan baru dari Madagaskar akhir tahun ini. Ada yang memperkirakan, harga cengkeh bisa saja terus menanjak sampai US$ 10 ribu per ton (atau sekitar Rp 70 ribu per kilogram).
Kemudian, apa yang harus dilakukan? Ekonom dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, Jen Tatuh, tak ragu-ragu menjawab: perbanyak tanaman cengkeh. Gelar program intensifikasi cengkeh. Hasilnya memang tak bisa dipanen segera. Menurut perkirakaan Jen Tatuh, program penanaman masal cengkeh ini, jika digelar segera, sudah bisa dinikmati paling tidak lima tahun mendatang.
Intensifikasi sebenarnya merupakan jalan yang getir dan ironis. Beberapa tahun lalu, pemerintah beserta seluruh jajaran birokrasinya, dari menteri sampai lurah di desa-desa, justru ngotot menggelar kampanye sebaliknya: babat cengkeh, ganti dengan tanaman buah yang lain, rambutan atau durian. Bahkan pemerintah sampai menyisihkan dana khusus untuk mempercepat pemusnahan tanaman cengkeh. Menurut perkiraan, pembabatan masal ini telah berhasil mengurangi populasi tanaman cengkeh hingga tinggal 60 persen.
Kini, ludah agaknya memang harus dijilat ulang. Jika melihat gelagatnya di pasar internasional, sulit dibantah, kebutuhan cengkeh memerlukan pasokan yang cukup. Memang betul, Jen Tatuh pun tak bisa membantah, ada juga risiko harga cengkeh akan jatuh kembali jika stok meledak seperti beberapa tahun lalu. Tapi, itu bukan berarti penggalakan penanaman cengkeh tak penting. Pasar bebas dan gejolak harga adalah risiko usaha. Asal tak ada rekayasa dan tekanan yang menguntungkan penguasa, untung-rugi soal biasa.
"Petani sudah kebal menderita," kata Jen.
Mardiyah Chamim, Verianto Madjowa (Manado), Tomi Lebang (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini