Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengembang swasta mendapat kesempatan membangun pembangkit EBT berkapasitas 11,7 GW.
Kendala pengembangan pembangkit EBT masih masalah tarif.
Pemerintah harus membangun industri peleburan pasir silika menjadi kristalin.
JAKARTA — Pengembang swasta berkesempatan membangun pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) berkapasitas 11,7 gigawatt dari 2021 hingga 2030. Para pelaku usaha meminta dukungan insentif dari pemerintah untuk memanfaatkan peluang yang dirancang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Priyandaru Effendi, menyatakan anggotanya sangat bersemangat mengembangkan pembangkit listrik panas bumi (PLTP). Namun sebagian besar masih menanti peraturan presiden tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari EBT. Menurut dia, pemerintah memberi janji penggantian biaya pembangunan infrastruktur PLTP melalui aturan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insentif tersebut penting untuk membantu menurunkan biaya produksi listrik dari panas bumi. Priyandaru mengatakan kendala pengembangan PLTP masih masalah tarif. "Harga keekonomian kita jauh di atas kemampuan PLN yang dibatasi pemerintah," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Salah satu yang membuat biaya produksi panas bumi tinggi adalah bunga pinjaman dari lembaga keuangan yang mencapai 7 persen. Dengan bunga sebesar itu, ujar dia, internal rate of return proyek sulit berada di bawah 10 persen. Dia berharap pemerintah juga campur tangan untuk mengurangi bunga pinjaman.
Faktor lain yang mempengaruhi biaya adalah kapasitas panas bumi. "Semakin tinggi kapasitas, harga listriknya akan semakin murah. Sayangnya, penemuan dari eksplorasi geotermal akhir-akhir ini didominasi oleh penemuan yang skalanya tidak besar," tuturnya.
Selain dari dukungan pemerintah, Priyandaru mengatakan pelaku usaha akan menekan biaya produksi dengan memanfaatkan teknologi baru yang lebih efisien. Salah satunya menggunakan teknologi yang bisa mengurangi risiko eksplorasi atau biaya pengeboran yang lebih murah.
Pekerja mengangkat panel surya di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, 2 Desember 2020. TEMPO/Tony Hartawan
Masalah tarif juga menjadi kendala pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Harganya masih belum kompetitif dibanding batu bara. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Energi Surya Indonesia, Andhika Prastawa, menyatakan salah satu pemicunya adalah ketiadaan industri modul surya yang terintegrasi dari hulu. Indonesia baru mampu merakit modul surya dengan mengimpor komponennya. Dengan aturan kandungan lokal hingga 40 persen, biaya produksi modul surya menjadi lebih tinggi.
Untuk itu, dia berharap PLN bersedia menyerap listrik dari PLTS dengan harga yang menarik bagi pengusaha. "Minimal tuntutannya tentu bisa lebih rendah dari biaya pokok penyediaan PLN," ujar Andhika.
Menurut Andhika, yang kini juga menjabat Perekayasa Ahli Utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional, pemerintah sudah merancang rencana pengembangan industri modul surya. Langkah pertama akan dimulai dengan mengembangkan industri sel surya. Setelah industri ini berkembang, setidaknya mencapai kapasitas produksi 3 gigawatt, pemerintah akan memulai mendirikan industri pemurnian kristalin.
Pemurnian kristalin dibutuhkan untuk membuat ingot. Sebagai modal, Indonesia sudah memiliki tambang pasir silika. Dari sumber daya tersebut, pemerintah bisa membangun industri peleburan pasir silika menjadi kristalin untuk kemudian dimurnikan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, menyatakan perlu ada pembenahan regulasi dan kebijakan untuk menarik minat swasta, terutama untuk mendukung pembiayaan proyek. Salah satu yang menurut dia penting dilakukan adalah merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Selain itu, dia menilai perlu ada pengembangan jaringan untuk menampung potensi tambahan kapasitas dari pembangkit EBT. "PLN harus melihat kemungkinan pengembangan teknologi penyimpanan energi berskala besar," katanya.
-
Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN dan pemerintah bersepakat menambah instalasi baru pembangkit listrik sebesar 40,6 gigawatt. Menteri Energi Arifin Tasrif menyatakan sebanyak 20,9 gigawatt atau 51,6 persen di antaranya berupa pembangkit EBT. "Dalam percepatan penambahan pembangkit selama 10 tahun ke depan, peran independent power producer dibuka lebih besar, termasuk dalam pengembangan pembangkit berbasis EBT," katanya.
Direktur Perencanaan Korporat PLN, Evy Haryadi, menyatakan PLN hanya akan menambah 9,1 gigawatt pembangkit EBT baru hingga 2030. Sedangkan sisanya atau 56,3 persen akan diserahkan kepada swasta.
PLTS menjadi salah satu peluang terbesar bagi swasta. Evy menyatakan target pembangunan PLTS baru dalam RUPTL mencapai 4,6 gigawatt-peak (GWp). PLN akan menggarap pembangkit EBT tersebut dengan kapasitas 1,7 GWp. "Untuk swasta, porsinya 63,7 persen atau 2,97 GWp," katanya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo