Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Asosiasi buruh dan pekerja menemukan adanya modus pemutusan hubungan kerja (PHK) berdalih resesi oleh perusahaan dengan memanfaatkan celah aturan Undang-Undang Cipta Kerja. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, Mirah Sumirat, mengatakan proyeksi resesi perekonomian global dijadikan alasan oleh perusahaan untuk melakukan PHK massal kepada para pekerja yang berstatus tetap. Tak lama kemudian, perusahaan diduga melakukan rekrutmen kembali untuk menjaring pekerja baru dengan status karyawan kontrak atau buruh harian lepas, sebagaimana yang diizinkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami mendapat laporan bahwa ada dugaan akal bulus pelaku usaha yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan, padahal setelah dicek mereka tidak terkena dampak resesi. Produksi mereka tetap jalan seperti biasa, tidak ada penurunan permintaan," ujar Mirah kepada Tempo, kemarin, 19 Oktober. Di sisi lain, pekerja yang dipecat diberi pesangon yang tak memadai sebagaimana ketentuan yang seharusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASPEK, kata Mirah, tengah mendata kasus-kasus serupa di lapangan dan jumlah pekerja yang terkena dampak, kemudian mengupayakan advokasi agar pekerja mendapat keadilan serta haknya secara penuh. "Kami prediksi jumlahnya ada ribuan pekerja yang terkena dampak. Lokasinya ada di beberapa daerah, seperti Tangerang, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Tengah," ucapnya.
Adapun perusahaan yang diduga melancarkan modus tersebut kebanyakan bergerak di bidang tekstil, makanan dan minuman ringan, keamanan, retail, serta logistik. "Perusahaan sengaja menukar dengan pekerja yang lebih murah. Sebab, dengan status kontrak atau buruh lepas, mereka tidak perlu memberikan manfaat tambahan, seperti asuransi kesehatan dan jaminan pensiun," ujar Mirah.
Ramai PHK Sejak Omnibus Law Disahkan
Buruh berunjuk rasa memprotes PHK sepihak oleh perusahaan tempat mereka bekerja saat berlangsung sidang gugatan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, 29 September 2022. TEMPO/Prima Mulia
Hal senada diungkapkan pemimpin Federasi Sektor Pekerja, Percetakan Penerbitan Media dan Informatika, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kota dan Kabupaten Bekasi, Hery Sopyan. Menurut dia, resesi global kini diduga menjadi alasan tambahan perusahaan menjustifikasi PHK kepada para pegawainya. Sebelum isu resesi global merebak, ia melanjutkan, gelombang PHK sebenarnya terus terjadi sejak omnibus law Cipta Kerja diteken.
"Sebagai contoh, ada teman-teman pekerja yang sudah masuk kategori usia tidak produktif lagi kemudian di-PHK, dan nilai kompensasinya lebih rendah daripada kompensasi yang diatur dalam undang-undang sebelumnya. Ada juga perusahaan garmen yang merelokasi pabrik ke daerah yang upah minimumnya lebih rendah," ucap Hery.
Ia menuturkan jumlah PHK yang terjadi bisa jadi lebih besar daripada data yang ada. Sebab, tidak semua pabrik menjadi anggota serikat buruh. "Masalahnya, banyak dari mereka yang terkena PHK itu tidak berserikat," kata Hery. Dia mencontohkan, dari sekitar 7.000 pabrik di Bekasi, hanya 30-40 persen yang karyawannya ikut serikat buruh. "Selanjutnya, banyak pabrik yang menggantikan pekerja mereka dengan pekerja magang, outsourcing, dan lainnya karena upahnya lebih murah berdasarkan omnibus law (UU Cipta Kerja)."
Sebagaimana diketahui, salah satu narasi utama Undang-Undang Cipta Kerja adalah menjanjikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk merekrut dan melepas buruh dengan biaya yang murah. Salah satu ketentuan pasar kerja fleksibel itu adalah dihapuskannya ketentuan pekerja kontrak maksimal tiga tahun, dan diperbolehkannya pekerja kontrak serta alih daya untuk seluruh jenis pekerjaan dan tanpa ada batasan waktu kontrak. Walhasil, buruh berpotensi menjadi pekerja tidak tetap selamanya tanpa hak-hak yang melekat pada pekerja dengan status tetap, seperti uang pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak.
Merespons temuan tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan, Adi Mahfudz Wuhadji, menyampaikan pengusaha sebisa mungkin menghindari agenda PHK, khususnya jika tidak terjadi ancaman serius terhadap ketidakmampuan menjalankan proses produksi. Kadin pun mengecam jika benar ada perusahaan yang mencoba mencari keuntungan dalam kesempitan. "Pelaku usaha tentu saja tidak boleh mencari keuntungan semata untuk memperkaya diri, terlebih dengan mengesampingkan karyawan," ujarnya.
Menurut Adi, mekanisme PHK sudah tertuang dalam regulasi dan harus mengedepankan proses hubungan bipartit antara pengusaha dan pekerja. "Kecuali perusahaan sudah tidak mampu lagi menjalankan proses produksi dan tidak membayar utang perusahaan serta gaji atau upah karyawan, PHK tidak terhindarkan sebagai solusi terakhir," ucapnya. Ihwal pekerja kontrak atau buruh harian lepas, kata dia, ketentuannya sudah diatur dengan rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Seluruh pelaku usaha pun berkewajiban mengikuti ketentuan tersebut.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, menambahkan, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, kondisi keuangan perusahaan yang memburuk memang dapat menjadi alasan untuk melakukan PHK. Selanjutnya, di bawah aturan tersebut, PHK dapat dilakukan secara sepihak tanpa perundingan bipartit dengan buruh dan tanpa perlu penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. "Dalam kondisi seperti ini, pilihan buruh adalah menerima PHK, menuntut pesangon, dan meminta bukti PHK agar bisa mengklaim manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan," kata Yusuf.
Adapun jika buruh menolak, perjuangan yang dihadapi bakal lebih panjang, dari melakukan perundingan bipartit dengan perusahaan hingga mengajukan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika masih tidak ada kesepakatan. "Posisi buruh cenderung lemah dan sering terpaksa menerima PHK. Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya memberikan bantuan optimal bagi buruh untuk memperjuangkan hak-haknya, termasuk untuk kembali bekerja," ujar Yusuf.
ANNISA NURUL | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo