DUNIA berkembang, selera berubah, dan penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebagai tolok ukur inflasi pun berganti. Untuk yang keempat kali, sepanjang sejarah ekonomi Orde Baru, perubahan IHK ini diumumkan Rabu pekan silam, seusai sidang terbatas kabinet bidang Ekuin. Yang menarik, dalam Indeks baru itu, kertas tisu dan parabola disertakan sebagai dua dari 200-224 komoditi yang harganya dimonitor untuk menentukan tingkat inflasi di Indonesia. Menurut Wakil Ketua BPS (Biro Pusat Statistik) Soetjipto Wirosardjono, kini kertas tisu sudah merupakan salah satu kebutuhan pokok penting, sehingga harganya setiap bulan ikut diperhitungkan dalam pengukuran laju inflasi. Sebaliknya, kain belacu -- yang dulu dipakai dalam pengukuran IHK -- praktis tak tercantum lagi. Pembangunan ekonomi memang telah meningkatkan pendapatan sebagian besar masyarakat, yang lazimnya berbuntut pada permintaan barang lebih beragam. Apalagi kemajuan teknologi telah menyodorkan banyak produk baru, seperti video, komputer, parabola, sampai dengan karaoke. Penduduk kota besar pun sekarang ini tidak sekadar menginginkan sebuah rumah tempat tinggal, melainkan ingin rumah tembok, lantai teraso, bahkan pilar-pilar dibikin meniru tiang-tiang Romawi kuno. Tak mengherankan jika jumlah barang yang menjadi patokan perhitungan IHK kini diperluas. Dasawarsa lalu, barang-barang yang dianggap kebutuhan pokok ada 150 jenis. Dewasa ini, menurut Ketua BPS Azwar Rasjid, tak kurang dari 224 jenis barang yang sudah menjadi konsumsi masyarakat secara nasional. Beberapa jenis komoditi baru, seperti parabola, sudah diperhitungkan, tapi masih dimasukkan dalam kelompok sejenis. "Tapi, bobotnya baru sekitar 0,03%," kata Azwar. "Setelah jumlah komoditi kini lebih banyak, tentu saja, menyebabkan perubahan bobot penghitungan masing-masing kelompok atau subkelompok," kata Menko Ekuin Radius Prawiro. Kelompok makanan, misalnya, dalam penghitungan IHK pola lama, mendapatkan bobot 10,9%, sedangkan dalam pola baru bobotnya menyusut tinggal 5,9%. Sebaliknya, subkelompok kesehatan yang tadinya mendapatkan bobot 2,79% kini meningkat menjadi 3,18%. Tambahan bobot terjadi juga pada subkelompok pendidikan dan subkelompok rekreasi dan olahraga. Hal yang baru juga dari IHK itu, yakni jumlah kota yang menjadi tempat pengambilan sample penghitungan. Tadinya cuma diambil dari 17 kota, tapi kini dari 27 ibu kota provinsi. Sepuluh kota yang semula tidak diperhitungkan adalah Banda Aceh, Pekanbaru, Jambi, Bengkulu, Bandarlampung, Samarinda, Palangkaraya, Palu, Kendari, dan Dili. Dr. Iwan Jaya Azis, yang tekun mengolah data ekonomi di Pusat Kerjasama Antar-Universitas Fakultas Ekonomi UI (PAU-Ekonomi UI), menyambut baik IHK baru itu. Menurut Iwan, dengan IHK baru akan diperoleh hasil pengukuran tingkat inflasi yang lebih lengkap dan akurat. "Padahal, sejumlah guru besar ekonomi AS yang datang ke PAU sudah pernah mengagumi kemampuan BPS menyediakan data yang relatif representatif, meski kondisi geografisnya lebih berat," kata Iwan, sebagaimana dikutip harian Kompas. Pakar ekonomi Sjahrir juga menganggap, penghitungan IHK baru itu sebagai "suatu kemajuan besar". Namun, ia berpendapat, penghitungan inflasi yang didasarkan pada 27 ibu kota provinsi itu bisa saja melenceng (urban bias). "Tingkat konsumsi pangan di pedesaan, misalnya, tentu masih lebih dominan dibandingkan penduduk kota," ujar Sjahrir. Alasannya: mayoritas penduduk masih tinggal di desa. Namun diakuinya, adalah wajar jika IHK yang didasarkan pada 27 ibu kota provinsi itu menyusutkan bobot untuk kelompok pangan. Soalnya, masyarakat kota semakin banyak mengeluarkan anggaran untuk perumahan, pendidikan, kesehatan, olahraga, dan rekreasi. Tapi, Prof. Dr. Mubyarto -- dari Universitas Gadjah Mada, yang mengemukakan pendapatnya pada Kompas -- khawatir bahwa meningkatnya kebutuhan di luar sektor pangan akan menyebabkan masyarakat kekurangan gizi. Tapi di pihak lain, meningkatnya bobot penghitungan kesehatan dan pendidikan, mudah-mudahan akan membuat Pemerintah lebih peka mengikuti perkembangan harga obat serta alat-alat sekolah. Max Wangkar dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini