UJIAN yang lumayan berat sedang melanda Bursa Efek Jakarta dewasa ini. Perdagangan reguler tiba-tiba sepi dari gaduhnya transaksi. Aktivitas jual beli merosot tajam. Senin pekan ini misalnya, dari 76 saham, hanya 23 yang dapat diperdagangkan. Inilah dampak samping tata niaga baru yang efektif berlaku sejak 1 Mei lalu. Ketentuan yang diundangkan lewat Surat Keputusan Ketua Bapepam, Marzuki Usman, itu membagi pasar menjadi tiga: perdagangan reguler (untuk 500-10.000 unit saham), block sale alias perdagangan besar di atas 10 ribu saham, dan odd lot atau pasar recehan yang menampung transaksi di bawah 500 unit saham. Di perdagangan reguler, sertifikat saham harus dalam pecahan atau denominasi 500. Ini disebut juga standard lot. Kepusingan terjadi lantaran tak banyak surat saham yang beredar dalam pecahan 500. "Sekarang semua orang sedang sibuk mengurus pengubahan pecahan itu. Jadi, transaksi sepi," kata seorang pialang. Maka, transaksi pun agak tersendat. Tanda-tandanya sudah terlihat sejak hari pertama, ketika 19 saham yang mencatat transaksi dari 73 yang beredar di bursa. Dibanding transaksi pada 23 April, misalnya, jumlah itu merosot jauh. Pada awal pekan menjelang Lebaran -- yang juga terhitung sepi -- malah 47 saham sempat diperdagangkan. Pelbagai hal yang kurang sedap itu sedikit banyak sudah diperhitungkan oleh orang-orang bursa. Mereka pun bersiasat untuk tidak kaku menerapkan aturan itu di lapangan. Contohnya, pecahan sertifikat saham seratusan bisa saja ditransaksikan di perdagangan reguler asal jumlahnya lima lembar. Dan lima surat saham seratusan itu bisa diikat dengan karet gelang atau direkat dengan staples. Ternyata, langkah darurat itu tak banyak menolong. Perdagangan tetap lesu. Pekan ini, muncul lagi satu upaya. Para pialang mengusulkan agar surat saham pecahan berapa pun bisa diikat sampai jumlahnya 500. "Supaya saham yang beredar di reguler makin banyak," kata Ketua Ikatan Pialang Efek Jakarta, Sani Permana. Ketua Bapepam pun setuju. Sesudah itu, apakah gairah pasar akan melambung? Tentang ini, tak ada kepastian. "Perlu waktu beberapa bulan agar pasar kembali normal," kata Jonathan Chang, Kepala Operasi Sekuritas dari PT Jardine Fleming Nusantara Finance. Dan hampir semua pialang tahu benar bahwa peraturan baru itu diperlukan. Karena memang itulah harga yang harus dibayar, agar pasar Jakarta tidak berantakan nantinya. "Jangan sampai kejadian di bursa Kuala Lumpur berulang di sini," kata Chang, mengingatkan. Hatta, gara-gara ruwetnya administrasi, di Kuala Lumpur, saham senilai US$ 150 juta terbukti cuma fiktif. Nah, kalau melihat kacau-balaunya administrasi di Jakarta sebelum aturan baru muncul, bisa saja saham siluman beredar pula di sini. Contohnya, seorang pemodal yang punya satu sertifikat saham dengan pecahan 10 ribu. Dia ingin menjual sahamnya separuh. Untuk itu, ia harus mengubah pecahan sertifikat saham ke perusahaan yang menerbitkannya menjadi 5.000-an. Proses ini, yang disebut split, tentu makan waktu. Maka, untuk sementara ia menerima surat keterangan yang di kalangan pialang, populer disebut dengan "saham eks". Surat keterangan alias "saham eks" inilah yang kemudian diperdagangkan bersama fotokopi saham yang bersangkutan. Bisa jadi, sebelum proses pendaftaran yang pertama tadi beres, "saham eks" sudah berkali-kali pindah tangan. "Dan itu jumlahnya bisa ratusan juta," kata Sani menjelaskan. Dalam memperdagangkan "fotokopi" itu, bisa terjadi "kekeliruan". Katakanlah jumlah yang 400 terketik di situ 4.000. Dari sinilah muncul saham siluman, yang sebenarnya tidak ada. Setelah peraturan baru dijalankan, "saham eks" tadi memang bakal lenyap dari peredaran. Soalnya, peraturan baru itu mengharuskan pialang benar-benar memiliki sertifikat saham asli, sebelum ia memperdagangkannya. Masalahnya memang terletak pada proses mengubah pecahan saham. "Pekerjaan yang tak mudah, tapi kan sudah diserahkan ke biro pendaftaran profesional," kata Micky Thio, Wakil Direktur Dharmala Group, yang lima perusahaannya sudah tercatat di bursa. Tapi pasar odd lot pun tak luput dari keruwetan. Para odd lot dealers itu yang jadi biangnya. Mereka adalah pialang yang diwajibkan membeli saham-saham recehan dari pemodal. Untuk itu mereka boleh membeli 2% di bawah kurs resmi. Rupanya, yang 2% belum menggairahkan. Seorang pialang malah mengaku sering keluar, hanya untuk menghindari pemodal yang memburunya untuk menjual recehan. "Habis dananya belum didrop dari atas," katanya. Kalau dihitung-hitung, dana yang diperlukan untuk menyerap recehan ini memang tak kecil. "Paling tidak Rp 500 juta tunai," kata Hendarmin Respati, pialang dari PT Deemte Artadharma. Itu pun masih terbatas. "Kalau setiap hari disuruh membeli di atas lima ratus saja, kami menyerah," sambungnya. Untuk saham yang tidak begitu laris -- sering juga disebut saham busuk -- nasib pialang odd lot bisa runyam. Namun, situasi semacam ini justru bisa menciptakan peluang buat Bursa Efek Surabaya. Mengapa? Di sana standard lot-nya masih tetap 100. "Saya harap, Surabaya bisa menjadi odd lot market buat Jakarta," kata Hasan Jeffry, Ketua Brokers Club Surabaya, kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Di tengah suasana lesu itu, nilai transaksi masih saja tinggi. Kamis pekan lalu, misalnya, transaksi tercatat Rp 42,2 milyar. Sebagian besar terjadi di pasar block sale yang total nilainya Rp 36 milyar lebih. Ini berarti, kepercayaan kepada Bursa Jakarta masih tebal. Dan kepercayaan itulah yang harus dijaga baik-baik oleh para pelaku di lantai bursa. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini