PIPA pralon ternyata bukan sekadar alat untuk mengalirnya air, tapi juga uang. Hanya, uang yang mengalir tidak pada pipanya, melainkan pada bahan bakunya, PVC Resin. Tengok saja, resin yang disuplai oleh dua pabrik di dalam negeri, PT Eastern Polymer dan PT Statomer, sejak Januari tahun ini sampai pekan lalu harganya terus menanjak hingga 60%. Naik dari sekitar Rp 1.200 per kilogram menjadi Rp 2.170. Tentu saja, ini membuat perusahaan pembuat pipa pralon dan barang jadi lain yang menggunakan resin kelabakan. Sebab, dengan naiknya ongkos produksi, harga jual produk jadi pun menanjak. Seperti dialami PT Pralon Indonesia, patungan Jepang, yang terpaksa menaikkan harga jualnya sebesar 70% (terhitung Januari) menjadi Rp 4.200 per kg. Selain itu, persaingan semakin tak seimbang. Maklum, teknik memproduksi pipa semacam ini menghasilkan kualitas produk yang berbeda. Artinya, selain pipa yang dibuat dari resin murni, ada juga yang dibuat dengan campuran kapur yang harganya relatif murah, Rp 50 per kilogram. Sehingga, pipa keluaran Pralon merasa sulit bersaing. "Bagaimana mampu bersaing kalau perbedaan harga bisa mencapai 50%?" kata Karman Laksmana. Menurut Ketua Asosiasi Produsen Pipa Plastik (AP3) tersebut, perbedaan ini muncul karena para produsen belum diwajibkan memiliki SII (Standar Industri Indonesia). Akibatnya, "Ya, ada produsen yang mencampurkan kapur dalam produksinya hingga 40%," katanya. Nah, bagi mereka yang memakai bahan baku campuran, pasar bukan masalah. Soalnya, dalam menaikkan harga jual, tak perlu sama dengan kenaikan bahan baku. "Mereka menaikkan harga hanya 30%," kata Yamin Amadi, Manajer Pemasaran PT Winge Industri Plastic. Tapi itu tak berarti produsen seperti Winge atau Pralon mati angin. "Karena proyek-proyek pemerintah tetap menggunakan pipa murni PVC," ujar Yamin. Apalagi tahun ini, diduga bahwa kebutuhan akan pipa, seperti untuk proyek pengadaan air bersih, naik hampir dua kali. Masalahnya, kenapa PVC Resin harus naik. Baik Statomer maupun Polymer, sebagai produsen lokal, menunjuk kenaikan VCM (bahan baku resin) di pasar internasional sebagai penyebab utama. Seperti dikemukakan Sofian Wanandi, Dirut PT Eastern Polymer, kurangnya suplai membuat harga VCM naik hampir 100%. Selama Januari, menurut Sofian, VCM impor dari Jepang hanya US$ 415 per ton, tapi sekarang menjadi US$ 800. Tapi alasan itu tidak cukup untuk memuaskan para produsen hilir. Mereka mengakui, harga VCM naik banyak. Namun, menurut Karman, kalau dihitung-hitung, dua produsen lokal itu agaknya meraih untung kelewat besar. Apa buktinya? Karman mencoba menghitung, "Taruh kata, biaya produksi plus laba marginal jatuhnya sekitar US$ 200. Maka, Polymer atau Statomer bisa menjual US$ 1.050 setiap ton atau sekitar Rp 1.750 per kilogram." Dia mengaku, telah membeli PVC Resin seharga Rp 2.170 per kilogram. "Bayangkan, laba marginal mereka lebih dari 60%. Itu tak wajar," ujarnya.Maka, September lalu, AP3 mengajukan permohonan agar harga resin ditinjau. Tapi besar dugaan, yang terjadi malah sebaliknya: harga bakalan naik lagi. Lho? "Habis, VCM impor naik terus," jawab Sofjan. Meskipun bebas bea masuk, sekarang jatuhnya (sampai di gudang) sudah US$ 870 per ton. Dia merasa keberatan kalau dikatakan Polymer untung besar. "Keuntungan kami wajar-wajar saja, dan yang penting, harga PVC yang ditetapkan sesuai dengan persetujuan Departemen Perindustrian, dan konsumen," kata Sofian. Menurut pihak Polymer, kalau dibandingkan dengan harga impor yang US$ 2.100 per ton (termasuk bea masuk 15%), PVC lokal jauh lebih murah. Mungkin, itu sebabnya, kendati impor masih diperbolehkan, melalui PT Mega Eltra, agaknya tak banyak konsumen yang tertarik. Buktinya, dari kuota impor yang diberikan pemerintah sebanyak 17 ribu ton setahun, baru terealisasi kurang dari tiga ribu ton. Budi Kusumah, Diah P., dan Sidartha P. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini