Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Naik Jangan Bersorak

Ekspor Indonesia selama September menembus US$ 7 miliar. Naik lebih karena harga, mungkin tak berjangka lama.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM indeks saham gabungan Bursa Jakarta mencapai rekor baru, Selasa pekan ini, ekspor Indonesia lebih dulu mencatat sejarah. Sehari sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor Indonesia pada September 2004 yang mencapai US$ 7,152 miliar, naik 41,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Tambahan hasil ekspor pada September itu meningkatkan ekspor sepanjang 2004 menjadi US$ 50,74 miliar, lebih tinggi 10,77 persen dibandingkan dengan nilai ekspor pada periode yang sama tahun silam. Selama ini, ekspor Indonesia paling tinggi hanya US$ 65,4 miliar?capaian pada tahun 2000. "Melihat trennya, ekspor kita bakal tembus US$ 70 miliar," kata Dantes Simbolon, Kepala Sub-Direktorat Statistik Ekspor BPS.

Selama September kemarin, ekspor migas dan nonmigas sama-sama menyumbang kenaikan signifikan. Penjualan minyak mentah, produk minyak, dan gas alam Indonesia pada bulan itu, misalnya, naik hampir 12 persen menjadi US$ 1,467 miliar dibandingkan dengan Agustus. Mudah ditebak, penyebab peningkatan ekspor sektor migas adalah kenaikan harga minyak di pasar dunia. "Harga minyak mentah Indonesia naik dari US$ 42,61 per barel pada Agustus 2004 menjadi US$ 44,31 per barel pada September 2004," kata Kepala BPS, Choiril Maksum.

Sektor nonmigas malah menyumbang kenaikan lebih tinggi. Pada September, ekspor nonmigas Indonesia naik 13,76 persen dibandingkan dengan Agustus, menjadi US$ 5,684 miliar. Choiril menyebut kenaikan ini disebabkan peningkatan ekspor mesin peralatan listrik, mesin pesawat mekanik, serta kayu dan produk kayu. Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang belakangan sering digambarkan sebagai sunset industry, tak ketinggalan sebagai sektor pencetak devisa lumayan besar.

Ekspor nonmigas diperkirakan menguat hingga akhir tahun. Dantes Simbolon mendasarkan perkiraan itu pada peluang ekspor yang masih terbuka di sejumlah negara, di antaranya Eropa. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa itu masih memiliki ruang untuk diisi produk Indonesia. "Tekstil dan produk tekstil serta furnitur masih akan meningkat pada November-Desember," katanya.

Departemen Perindustrian sepakat dengan prediksi BPS. "Saya yakin itu (tekstil dan produk tekstil) bisa jadi andalan kontribusi devisa," kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Elektronik, dan Aneka (ILMEA), Subagio. Struktur industri yang kuat di semua lini, hulu ataupun hilir, kata Subagio, merupakan kartu as peningkatan ekspor industri TPT dalam negeri.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang kini dipecah menjadi Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan, pertengahan Oktober lalu menyebut pasar ekspor tekstil Indonesia di Amerika kemungkinan berlipat pada 2005. Departemen Perindustrian dan Perdagangan memproyeksikan pangsa pasar TPT di pasar Amerika Serikat bakal dua kali lipat pada 2005.

Sementara tahun ini nilai ekspor TPT ke Amerika Serikat diperkirakan US$ 1,7 miliar, tahun depan ditargetkan melampaui US$ 3 miliar. Kenaikan nilai itu diikuti dengan perluasan pangsa pasar dari hanya dua persen menjadi empat persen. Alasan utama di balik tingginya target ekspor TPT adalah komitmen Cina yang bersedia mengucurkan kredit US$ 150 juta bagi industri TPT di Indonesia.

Rencananya, fasilitas pinjaman itu akan digunakan untuk merestrukturisasi sebagian besar mesin industri TPT Indonesia yang sudah uzur. Dengan mesin baru itulah industri TPT diharapkan dapat memproduksi lebih banyak dan lebih cepat, serta mampu menembus pasar kelas menengah ke atas.

Tapi, data di atas kertas ternyata lebih indah dari warna aslinya. Lily Asdjudiredja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Jawa Barat, malah mengutip album lama tentang kesulitan para produsen TPT. Kesan suram industri ini memang sulit dibantah. Di Jawa Barat saja, kata Lily, sekitar 340 perusahaan TPT memilih bubar. "Mereka tak sanggup menanggung biaya operasi."

Di pasar dunia, TPT buatan Indonesia sudah lama dipecundangi banyak negara pesaing seperti Cina, India, Vietnam, bahkan Kamboja. Tekstil dan garmen asal Cina, misalnya, merajalela hingga pasar Timur Tengah dan Afrika, yang tak mengenal sistem kuota. "Padahal pada sekitar 1999, seingat saya, tidak ada toko di sana yang menjual barang dari Cina," kata Lily.

Bahkan pangsa produsen Indonesia di kelas menengah ke bawah sudah digerogoti negara-negara itu lantaran Indonesia makin sulit bersaing harga karena upah buruh terus meningkat. Untuk menembus pasar menengah atas, produsen lokal tak memiliki mesin yang layak.

Lily mencontohkan mesin pemintal. Dari sekitar 250 ribu unit mesin yang ada, tak lebih dari 10 persen yang masih berusia di bawah 10 tahun. "Kredit dari Cina mungkin baru terasa di tahun depan," ujar Lily. Alih-alih menyerbu pasar lokal, industri TPT malah tersudut hingga di pasar domestik, yang beromzet sekitar Rp 21 triliun.

Di dalam negeri, banjir produk impor selundupan menjadi ancaman utama. "Tidak adil, kami harus bayar pajak hingga 35 persen," kata Lily. Ia yakin, jika pemerintah tak serius menggulung penyelundupan, industri TPT akan gulung tikar lebih dulu dan kenaikan ekspor TPT cuma jadi harapan kosong.

Sektor permesinan, yang ditabalkan sebagai unggulan, di atas kertas ternyata juga tak terlalu kinclong. "Yang menanjak tahun ini hanya alat-alat berat," kata A. Safiun, Ketua Asosiasi Logam. Kendati demikian, industri permesinan tak separah TPT. "Masih ada buyer dari luar," Safiun menambahkan.

Dari kacamata Subagio, pertumbuhan industri permesinan Indonesia lumayan bagus. Di antara produk yang bagus itu, Direktur Industri Aneka, Nugraha Sukma Widjaya, mengatakan jenis industri permesinan yang besar, seperti bejana bertekanan dan elektro-motor, termasuk yang jadi andalan Indonesia.

Produk jenis terakhir itu bahkan telah diekspor ke beberapa negara Asia. Bisa jadi, salah satu penyebab unggulnya elektro-motor karena tingginya kandungan lokal dalam produk tersebut. "Sekitar 80 persen dibuat dari bahan lokal, karena pengecorannya sudah ada di dalam negeri," kata Nugraha.

Namun, tak semua yakin ekspor Indonesia akan terus meningkat. Pengamat perdagangan internasional, Okta Mochtar, mengatakan kenaikan nilai ekspor Indonesia itu lebih karena kenaikan harga, bukan kenaikan volume ekspor. Jika basis kenaikannya harga, sulit mengharapkan kenaikan ekspor itu bersifat jangka panjang.

Harga minyak, misalnya, kini sudah turun di bawah US$ 50 per barel. Sebaliknya, jika dasar kenaikannya adalah volume, berarti memang ada kenaikan permintaan dari negara lain. Karena itu, Indonesia sebaiknya jangan bersorak dulu. Bisa jadi ini cuma kegembiraan sesaat.

Thomas Hadiwinata, M. Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus