Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK kesampaian niat Jusuf Anwar pensiun sepulang dari Manila, Filipina. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk bekas Kepala Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) itu menjadi Menteri Keuangan 2004-2009. Sebelumnya, banyak nama muncul sebagai kandidat Menteri Keuangan, di antaranya Rizal Ramli dan Sri Mulyani. Nama Jusuf tak pernah beredar, bahkan dia tak muncul di Cikeas sebagaimana calon menteri lain yang dipanggil SBY.
Jusuf mengaku ditelepon pukul 19.00, 20 Oktober, beberapa jam menjelang pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu. "Padahal, saya sudah kepingin main golf lagi di Jakarta," kata Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk Indonesia dan sejumlah negara di Lautan Pasifik sejak 2000 silam. Kini, tugas berat menghadang di depan mata, salah satunya menyangkut keuangan negara. Kepada M. Taufiqurohman dan Stepanus S. Kurniawan dari Tempo, Jusuf Anwar bercerita tentang program kerjanya di kantornya, Selasa pekan ini.
Wakil Presiden Jusuf Kala ingin mendorong anggaran menjadi stimulus fiskal. Mungkinkah?
Harus ada pengertian mendalam mengenai hal ini. Di setiap negara, yang menjadi penunjang pertumbuhan adalah sektor swasta. Sektor swasta menjadi engine of growth atau lokomotif pembangunan. Sebaliknya, peranan pemerintah kecil. Karenanya di mana-mana, di seluruh dunia, sektor swasta selalu didorong lebih berperan. Kebijakan moneter dan fiskal selalu diarahkan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi sektor swasta agar tumbuh dan berkembang, karena kemampuan pemerintah terbatas.
Penjabaran kebijakan moneter dan fiskal itu dalam bentuk stimulus-stimulus tadi. Dan dalam keadaan keuangan negara yang terbatas, stimulus itu juga harus diberikan secara lebih hati-hati dengan melihat kemampuan kita. Anda tahu defisit masih 1,3 persen. Tidak bisa kita terlalu berfoya-foya memberikan stimulus, karena nanti tujuan yang besar tidak tercapai. Tahun ini saya berkonsentrasi mengamankan terlaksananya fiskal yang sesuai dengan target-target yang diharapkan.
Apakah target defisit 1,3 persen tahun ini bakal tercapai?
Saya tetap optimistis, masih ada dua bulan. Sekarang pun besaran ekonomi sedang bagus-bagusnya, seperti indeks Bursa Jakarta yang mencatat rekor baru. Surat Utang Negara (SUN) juga begitu. Kita butuh Rp 3 triliun, yang mengajukan penawaran sudah Rp 5,5 triliun. Berarti ada sentimen positif.
Bukankah penerimaan pajak sampai awal November ini masih 75 persen dari target?
Kita monitor setiap hari, kurang 23 persen lagi. Mudah-mudahan akan tercapai.
Caranya?
Tambal kebocoran-kebocoran, seperti pesan Pak Presiden kepada jajaran pajak dan bea cukai saat melakukan inspeksi ke sana. Pertama, perbaiki pelayanan. Kedua, tambal kebocoran. Ketiga, berantas penyelundupan. Keempat, maksimalisasi penerimaan.
Bagaimana dengan APBN 2005?
Kita tahu beberapa asumsi makro sudah tidak cocok lagi, jadi APBN-nya sudah tidak realistis lagi, terutama asumsi harga minyak mentah dunia. Ada tren turun, tapi tetap di atas asumsi. Sekarang saya sedang melakukan exercise dalam rangka mencoba berbagai kemungkinan dengan keadaan harga minyak yang sekarang, plus kemungkinan disesuaikannya harga BBM dalam negeri.
Jadi, bicara soal BBM, komoditas yang sensitif, kita harus sangat berhati-hati, tidak bisa gegabah. Kita mesti mempertimbangkan akibat-akibat primernya, akibat sekunder, multiplier effect-nya, dan sebagainya harus betul-betul dipikirkan, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi, dipikir betul bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan negara, bagaimana fiskal defisitnya.
Mengadakan exercise masalah BBM juga tidak bisa budget neutral. Artinya, tidak bisa tanpa akibat fiskal. Bagaimana ke subsidi, bagaimana bagi hasil ke daerah, apa akibatnya terhadap nilai tukar rupiah, terhadap inflasi, penerimaan negara, pengeluaran negara. Itu sedang kita kaji secara berhati-hati. Akhirnya, kita akan memilih mana yang paling baik.
Dalam hal ini Departemen Keuangan tidak bisa hidup dalam isolasi. Kita perlu dukungan instansi lain, misalnya saja Departemen ESDM, yang tahu banyak pergerakan minyak dunia, apalagi menterinya Presiden OPEC. Tentunya tahu dong, harga minyak yang layak sekarang berapa. Apa US$ 26 layak, US$ 36 layak? Itu pun sudah naik, asumsinya sudah berubah. Lalu penyesuaian BBM, apakah 10 persen layak, 20 persen layak?
Kapan kenaikan itu dilaksanakan?
Kalau saya pribadi, tidak tepat kalau dilaksanakan Januari. Kan 100 hari di bulan Januari. Masa 100 hari itu kita menaikkan harga minyak? Secara psikologis tidak mungkin. Lalu kapan? Nantilah kita kaji dengan melihat pro-kontra, serta segi-segi multiplier penyesuaian itu. Sudah bosan saya melihat angka-angka ini. Dari berbagai harga, dari berbagai asumsi, sampai asumsi defisit sampai ada growth segala macam.
Defisit dipatok berapa?
Itu yang sedang kita exercise, mana yang layak. Tidak bisa dipatok tiga persen, lalu nomboknya dari mana? Sumbernya sudah makin terbatas. Privatisasi banyak politiknya, BPPN sudah mau habis. SUN jangan sampai overcrowded, jenuh pasarnya. Program loan juga tidak mudah. Jadi, harus hati-hati. Itu belum final untuk 2005.
Pak Jusuf Kala mengatakan perlu defisit sampai 2 persen pada 2005?
Kalau sumber-sumber untuk menambalnya, jelas saya juga berani. Dua persen ya? (terlihat berpikir). Kalau saja masyarakat sudah kasmaran dengan pajak, suksesnya soal amnesti pajak, kepatuhan, iklim investasi bagus, saya kira bisa ditutup. Tanpa besaran-besaran itu, susah. Karena itu, sekarang kita sedang menekan high cost economy dengan efisiensi perpajakan, bea cukai, bisa diharapkan tercapai bisnis yang aman dan iklim yang kondusif.
Tapi, justru banyak masalah di Departemen Keuangan, misalnya soal penyelundupan?
Saya sudah mengambil langkah-langkah melawan penyelundupan. Tapi, tidak cukup hanya dengan memberantas saja. Kita juga harus memfasilitasi perdagangan. Misalnya, kita buka jalur prioritas, tidak hanya jalur hijau atau merah seperti yang ada sekarang. Namun, jalur ini hanya diberikan kepada importir teladan, yang baik, bersih, jujur. Sekali disalahgunakan, habis dia.
Cukai juga banyak yang palsu?
Saya sudah jadwalkan operasi pita cukai palsu, sudah teridentifikasi oleh intelijen kita, namun saya belum tahu magnitude-nya.
Bagaimana dengan high cost economy di jalanan?
Ini masalah kita bersama. Saya sudah mencoba di lingkungan saya sendiri untuk menekan kebocoran-kebocoran yang mengakibatkan high cost economy, khususnya di jajaran pajak dan bea cukai, karena itu ujung tombak penerimaan. Itu fenomena turun-menurun yang harus kita obati. Di pelabuhan-pelabuhan, anak-anak sudah bergerak memperbaiki keadaan.
Pemerintah berencana memberlakukan task amnesty (pengampunan pajak). Berapa persen kenaikan penerimaan pajak dengan pemberlakuan ini?
Kalau bicara persen, susah. Apa sih yang ingin dicapai dengan task amnesty itu? Satu, pemasukan. Kedua, mengubah sikap dan perilaku wajib pajak dari suatu titik tertentu ke depan. Nah, semua ini harus dibarengi dengan kemajuan teknologi informasi. Dengan IT (information technology), kita bisa memiliki database yang baru. Dengan database yang baru ini kita akan berangkat. Lupakan masa silam. Mari kita ke depan membangun Indonesia.
Database yang lengkap juga bisa dikurangi one on one meeting antara petugas pajak dan wajib pajak. Jadi, kemungkinan kebocorannya lebih kecil lagi. Selain itu, kalau ada kelainan-kelainan, misalnya, dia tidak membayar pajak dengan benar, itu bisa ketahuan. Kerja sama dengan oknum ketahuan juga. Ini suatu big bang di mana pola hidup baru akan dimulai. Ini sudah dimulai dengan men-draft undang-undang tax amnesty. Usulannya sudah selesai dan sedang dibahas dalam interdepartemen sebelum diajukan ke DPR.
Sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri ada komitmen mengurangi utang luar negeri. Bagaimana sekarang?
Idealnya hidup ini penuh kemandirian, bebas dari utang luar negeri. Tapi kan tidak mungkin. Karena itu, kita harus punya manajemen utang yang jelas dan tanpa ikatan politik. Lebih dari itu, utang harus dianggap sebagai investasi. Dan setiap investasi memberikan imbal hasil. Sama halnya dengan korporasi yang tidak mungkin tanpa utang. Itu masalah strategi pembiayaan.
Kita juga harus menggunakan prinsip-prinsip manajemen utang yang prudent. Kita akan meminjam jika perlu, tanpa ikatan politik apa pun, semurah mungkin bunganya, jangka waktunya sepanjang mungkin. Tapi kita juga terus berusaha mengurangi utang. Sekarang persentase utang terhadap GDP sudah turun, tinggal 60 persen. Kita juga merancang pembayaran awal jika ada dananya.
Di samping itu, kita juga mencoba mengurangi biaya-biaya utang dengan cara mengefektifkan utang-utang yang tidur, yang selalu kita bayar biaya komitmennya. Ini akan kita efektifkan, apakah akan direalokasi atau malah di-cancel, sehingga biaya komitmen itu bisa kita hapus. Bayangkan saja, utang yang belum kita cairkan mencapai US$ 1,5 miliar (Bank Dunia) dan US$ 2,3 miliar (ADB). Berapa biaya komitmen yang bisa kita kurangi? Kita juga melakukan swap utang dengan lingkungan, proyek kemanusiaan, pendidikan, dan sebagainya.
Sudah ada yang menjanjikan komitmen soal pertukaran utang?
Kita sedang menggarap program pengadaan seribu bus kota dan perumahan yang layak dengan Prancis dan Jerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo