Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISA jadi tahun depan layak disebut "tahun perbankan syariah". Tak kurang dari enam bank berencana membuka unit syariah, meski tak satu pun terselip nama bank asing. Padahal, permintaan produk keuangan berbau Islami ini terus menguat.
Sampai saat ini, baru The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) yang tertarik. Citibank, yang lebih dulu membuka unit syariah di beberapa negara, masih berkutat dengan bisnis lamanya. "Pasar di Indonesia punya potensi substansial," kata Kepala HSBC Syariah, Mahmoud Abushamma, kepada Tempo.
HSBC pun mulai serius menggarap pasar yang menggiurkan. Berbagai kajian dan uji tuntas dilakukan. Hasilnya, ada "tambang emas" yang belum tersentuh bank syariah lainnya: pasar korporasi. Pada 20 Oktober 2003, HSBC resmi meluncurkan unit syariahnya, dengan label HSBC Amanah. Agar lebih dikenal, akhirnya disebut HSBC Syariah.
Bank asal Cina ini lebih dulu membuka "warung" syariah di Malaysia, pada 1994. Kemudian ekspansi dilakukan ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Inggris, Brunei Darussalam, dan Bangladesh. Dengan jaringan di 76 negara, lebih 10 ribu kantor cabang, HSBC menyatakan siap bersaing dengan bank-bank syariah lokal di Indonesia.
Sebagai menu pembuka, HSBC Syariah menawarkan berbagai fasilitas pembiayaan. Produk ini diberi tajuk Murabahah dan Muntahiyah Bi Tamlik, serta bisa membiayai perdagangan ataupun proyek keuangan lainnya. Pembiayaan, kata Abushamma, akan ditata menurut kebutuhan nasabah. "Bila jumlahnya besar, dapat disindikasikan."
Abushamma mengakui prospek perbankan syariah di Indonesia cukup bagus. "Pertumbuhan aktiva dan pasiva sangat pesat," ujarnya. Sayangnya, pertumbuhan ini belum dapat diikuti pengembangan produk. Akar masalahnya adalah peraturan perbankan syariah yang belum fleksibel, sehingga mampu mendukung produk baru syariah.
Satu lagi yang mengganggu, peraturan perpajakan masih belum menguntungkan bank syariah. Beban pajak yang ditanggung jauh lebih besar dari bank konvensional. Padahal HSBC Syariah punya rencana agresif untuk mengembangkan produknya. "Dengan pemerintahan baru, kami menaruh harapan hal ini dapat diselesaikan," kata Abushamma.
Ganjalan ini juga dirasakan Adiwarman Kalim, pengamat perbankan syariah. Akibatnya, bank-bank asing masih enggan terjun ke perbankan syariah. Contoh paling gampang: kartu kredit. Meski dengan prinsip Islami, produk ini masih dilarang. Jika bank-bank asing tidak mengerti situasi ini, "Mereka bisa frustrasi," kata Adiwarman. "Itu enggak boleh, ini enggak boleh."
Citibank, yang sudah malang-melintang di bisnis syariah, masih belum melirik potensi pasar Indonesia. Di Arab Saudi, bank asal Amerika Serikat ini membuka "warung" syariah sejak 1955. "Kami belum memiliki rencana," kata Vice President Corporate Affairs Citigroup Indonesia, Ditta Amahorseya, tanpa memerinci alasannya.
Jalan tengahnya, kata Adiwarman, perlu diidentifikasi risiko kartu kredit itu. Lalu diminimalkan. Soalnya, hampir semua orang sudah menggunakan kartu kredit. "Daripada semua riba, dibilang haram-haram terus, lebih baik diizinkan," katanya.
Bank Indonesia serta-merta membantah. Harisman, Direktur Perbankan Syariah BI, mengatakan produk kartu kredit dihalalkan, asal bukan yang konvensional. Kredit yang diguyurkan tidak boleh lebih dari 80 persen penghasilan individu. Misalnya, untuk gaji Rp 3 juta, kredit yang diberikan maksimal Rp 2,4 juta.
Kehadiran bank-bank asing sebenarnya membawa angin perubahan. Produk perbankan syariah di Tanah Air, kata Adiwarman, akan lebih inovatif. Layanan yang mereka terapkan di luar negeri ditawarkan di Indonesia, sehingga mempercepat keanekaragaman produk. Tidak semata berupa tabungan dan deposito. "Yang penting, jasa-jasa itu bisa melepaskan orang dari riba," katanya.
Menurut Harisman, bank sentral membuka seluas-luasnya bank asing dengan segala produk bawaannya masuk ke bisnis syariah. Hanya, "Harus dihormati, dong, aturan di Indonesia," kata Harisman. Kalau risiko produk asing sudah berkurang, apalagi setiap negara membolehkan, pasti BI akan mengkaji ulang. Jadi, bukan harga mati.
Stepanus S. Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo