Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nunggak, Macet, dan Target

Harga rumah KPR-BTN naik untuk semua tipe. Menurut menpera Ir. Siswono, standar harga rumah sekarang adalah standar th 85. Tunggakan DPT diatasi. Target pembuatan rumah diperbesar. Daya beli masih rendah.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ada yang sama-sama tidak diinginkan, tapi dilakukan juga, maka itu adalah kenaikan harga jual rumah KPR-BTN 14%. Mulai Senin 12 Desember ini, kenaikan itu diberlakukan bagi pemilik rumah baru yang menandatangani akad kredit Der 12 Desember 1988 dan seterusnya. Mereka yang sudah teken sebelum 12 Desember 1988 boleh merasa aman dengan ketentuan lama. Kenaikan bunga KPR-BTN pun sudah diumumkan sekarang, kendati berlakunya per 1 April 1989. Untuk rumah yang luas bagunannya 12, 15, 18, dan 21 m2, bunganya meningkat dari 9% menjadi 12%. Rumah dengan luas 36 m2 naik dari 12% menjadi 15%. Sementara itu, rumah-rumah yang lebih besar -- termasuk rumah toko -- malah melejit dari 15% menjadi 18%. Tapi mengapa mesti naik, apakah karena harga semen melonjak? Ya, tapi tidak semata-mata karena semen. Menurut Menpera Ir. Siswono Judo Husodo, standar harga rumah yang dipakai sekarang adalah standar harga tahun 1985, yang memang harus disesuaikan. Dalam kondisi yang kurang nyaman seperti sekarang ini, pemerintah juga sudah menetapkan target membangun perumahan sederhana di Pelita V: 450 ribu unit. Ini meningkat 50% dari target Pelita IV, yang 300 ribu unit. Sampai Maret 1989, yakni akhir Pelita IV, Menpera Siswono Judo Husodo malah berani menyatakan jumlah 320 ribu unit bakal tercapai. "Jadi, lebih dari yang ditargetkan," ujar Siswono. Gatut Prasetyo, Direktur PT Wirana Besi Muda, meragukannya. Sebab, "Daya beli masyarakat masih saja rendah," ujar developer di Surabaya itu. Tapi, "Realisasinya dari tahun ke tahun meningkat terus, malah melampaui target, kok," kata sumber TEMPO di BTN Cabang Surabaya. Target pembangunan perumahan di Ja-Tim, yang tahun ini 3.708 unit, sudah terealisasi hampir 5 ribu unit sampai November lalu. Namun, realisasi secara nasional, seperti dikatakan Dirut BTN, M. Jakile, baru mencapai 280 ribu unit. Dan kalau masih bernafsu menggapai 320 ribu unit, berarti harus menyelesaikan 40 ribu unit rumah lagi, hanya dalam waktu empat bulan -- sampai dengan Maret 1989. Di pihak lain, Perum Perumnas berusaha keras menjual rumah yang sempat macet sekitar 4.400 unit, terhitung sejak Mei lalu. "Tidak laku karena jumlah yang disediakan terlalu banyak," tutur Siswono, menjelaskan nasib Perumnas yang tak laku di Palembang dan Singkawang. Tak jelas benar, mengapa rumah bisa berlebih, dan apakah dengan penurunan harga masih ada yang mau beli. Sementara dana telanjur "macet", harga bahan bangunan lainnya seperti porselen, seng, dan asbes ikut naik, seiring dengan kenaikan harga semen, November lalu. "Jelas itu mempengaruhi harga jual rumah," kata Yopi. S. Batubara, Dirut PT Ira Widya Utama, developer di Medan. Paling-paling, seperti kata Soeharsoyo, Ketua REI Jawa Tengah, developer akan menekan biaya produksinya. Misalnya, bila perlu nanti membangun rumah tanpa tegel dan pagar. "Biar si pembeli sendiri yang memasangnya," katanya. Dengan demikian, target pemerintah tercapai, dan developer masih bisa untung. Menurut Enggartiasto Lukito, yang penting sekarang ini, iklim usaha sehat. Iklim itu setidaknya datang dari BTN, yang sudah menyederhanakan aturan mainnya. Misalnya, "Surat keterangan dokter bagi peminat KPR-BTN, yang dulu mesti ada, sekarang ditiadakan," kata Presdir PT Bangun Tjipta Pratama itu. Sementara itu, untuk target Pelita V, soal dana nampak encer. Menurut Siswono, diperlukan dana sekitar Rp 2,3 trilyun. Sumbernya: penyertaan modal pemerintah Rp 50 milyar, kredit likuiditas Bank Indoncsia Rp 369,6 milyar, bantuan Bank Dunia Rp 860 milyar, dan selebihnya dana usaha BTN sendiri. Namun, M. Ichsan dari PT Bumi Sarana Rejeki meragukannya. Sebab, "Suasana sekarang lain dengan dulu. Konsumen mulai kendur," katanya. Memang, dulu developer lebih suka bikin rumah bertipe besar, sedangkan kini BTN lebih banyak membiayai tipe-tipe kecil. Di samping itu, BTN akan menegakkan disiplin pada debitur. Mereka yang menunggak tiga bulan lebih -- dan sampai Agustus 1989 belum bayar -- akan dikenai suku bunga baru. Maklum, Maret lalu, ketika BTN masih dikendalikan oleh Sasonotomo, tercatat tunggakan Rp 84 milyar dari 50% debitur BTN. Kini di bawah Jakile, hanya dalam tempo enam bulan, tunggakan itu menggelembung jadi Rp 92 milyar. Bagi Jakile, tampaknya tak ada alternatif lain. Dirut BTN itu kini giat membenahi organisasinya. Karyawan yang bertugas menjaring konsumen ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Sehingga, "Kita bisa memperoleh debitur yang betul-betul punya itikad baik untuk mencicil," ujar Jakile. BTN pun punya resep baru, yakni "Laras" (langganan adalah raja selalu). Suhardjo, laporan biro biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus