KOTA Montreal, Kanada, beberapa hari jadi pusat perhatian dunia. Sekitar 100 menteri dari lima benua, pekan silam, bertarung di sana, dalam sidang GATT (General Agrcement on Trade and Tariff), perjanjian umum tentang perdagangan dan tarif. Sebagian datang untuk merobohkan benteng-benteng proteksionisme, sebagian lagi justru berkutat mempertahankan benteng itu. Pada awal sidang, tercetus berita bagus bagi negara tropis seperti Indonesia. Negara-negara industri maju telah setuju menurunkan benteng impor untuk karet, kopi, cokelat, teh, merica, dan tali rami. Komoditi ekspor nonmigas Indonesia itu selama ini harus menghadapi hambatan berupa tarif tinggi dan kuota untuk masuk ke pasar Eropa, AS, dan Jepang. Jepang, misalnya, telah sedia meningkatkan nilai impor barang-barang tropis sekitar US$ 3,3 milyar setahun. Tapi negara industri maju itu tak begitu saja meninggalkan negara-negara berkembang lainnya. Eropa, misalnya, mempunyai anak emas dari kelompok ACP (Africa-Caribia-Pacific), yang diikat dalam Konvensi Lome. Inggris, Amerika, dan Kanada juga memiliki anak emas seperti India, Pakistan, dan Malaysia. Protes dari 60 negara ACP menyebabkan Eropa akan menurunkan produksi hanya bagi 45 negara yang dianggap paling kurang berkembang. Sementara itu, di antara sesama negara maju meletus konflik terbuka. AS mendesak supaya Eropa menghentikan subsidi harga barang-barang hasil pertanian dan peternakan. Jumlah subsidi itu diperkirakan US$ 220 milyar per tahun. Yang menikmati subsidi tentu para konsumen, termasuk negaran-egara Blok Timur. Perdebatan kedua pihak itu begitu terbuka, sehingga mengundang demonstrasi yang mengarah pada aksi huru-hara. Masyarakat Eropa akhirnya bersedia mengurangi subsidi 50% dari nilai yang ada. Alasan mereka jumlah petani Eropa lima kali lebih banyak dari petani AS. Di tengah perdebatan itu, suara negara berkembang nyaris tenggelam. Akibatnya, juru bicara kubu ini, Ricardo Zerbino, Menteri Keuangan dan Ekonomi dari Uruguay, konon hanya berdiri di podium lima menit. Menurut seorang pejabat Departemen Perdagangan, Menperdag Arifin Siregar menginginkan agar GATT lebih berperan dalam perdagangan internasional, sebagaimana IMF dalam menata keuangan dunia. Tapi beberapa negara maju bahkan bertindak lebih jauh. Mereka mengusulkan agar GATT menata perdagangan jasa seperti perbankan, asuransi, dan turisme. "Jika perdagangan jasa mau dibebaskan, negara-negara maju harus juga membebaskan tenaga kerja dari negara-negara berkembang," kata Menteri Perdagangan India Dinesh Singh. Tampaknya, sidang GATT di Montreal ini memang belum siap untuk melontarkan kebijaksanaan baru. Menperdag Arifin Siregar ada mengusulkan supaya sidang GATT menata kembali perdagangan beberapa produk tekstil. Misalnya tata niaga benang, yang dikendalikan MFA (Multi-Fiber Agreement) sejak tahun 1974. Usul Indonesia itu didukung Pakistan. Gerhard Kopernik, wakil kepala urusan tekstil dan pakaian dari Menteri Perekonomian Jerman Barat, menulis di majalah ekonomi Far Eastern Economic Review edisi pekan lalu. Katanya, "Usul Indonesia dan Pakistan masih sulit diterima. Masyarakat tekstil internasional jangan mengharapkan ada perubahan fundamental dalam sistem perdagangan internasional, paling tidak sampai tahun 1990-an." MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini