Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU ada yang diperiksa lebih galak dari pemeriksa, itulah yang terjadi di Bank Global. Tak percaya? Silakan bertanya kepada pegawai Bank Indonesia (BI) yang menjadi pemeriksa di bank morat-marit itu. Untuk sekadar masuk ke kantor bank itu saja mereka dipersulit, apalagi mengakses dokumen. "Pemeriksa kami diusir-usir," kata Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Goeltom, kepada Yandi M. Rofiyandi dari Tempo. "Untung, mereka tahan banting."
Sejak awal manajemen Bank Global sudah tidak bersikap kooperatif. Pada puncaknya, mereka malah hendak mengangkut dokumen bank menggunakan dua truk ukuran sedang, Senin pagi pekan lalu. Habislah kesabaran petinggi BI. Truk dan beberapa pegawai Bank Global digelandang ke kantor polisi. Malamnya, Miranda langsung mengumumkan pembekuan bank berlogo bumi berpusing itu.
Sebelum itu pun, sebetulnya BI sudah punya cukup alasan memasukkan Bank Global ke kamar pembeku. Bank ini telah terbujur di unit pengawasan khusus karena kecukupan modalnya merosot drastis hingga minus 39 persen. Di sana kondisi Bank Global ternyata tak membaik. Manajemen juga tak mampu menyetor modal tambahan, seperti dijanjikan dalam capital restoration plan yang tenggatnya adalah 13 Desember.
Selama pemeriksaan, BI menemukan sejumlah borok kronis di tubuh Bank Global. Nilai aset yang diklaim mencapai Rp 1,8 triliun, misalnya, ternyata banyak yang bodong. Pemeriksa BI menemukan surat berharga senilai Rp 700 miliar yang terbukti palsu. Contohnya berupa reksadana yang duitnya tak disetorkan ke bank kustodian. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp 400 miliar.
Manajemen Bank Global diketahui telah memindahkan deposito sejumlah nasabah ke reksadana. "Saya dirayu memindahkan deposito ke reksadana karena bunganya katanya lebih tinggi," kata Ana—bukan nama sebenarnya—pemegang reksadana Prudence Dana Mantap. "Reksadana itu diduga palsu," kata Kepala Biro Penelitian dan Penyidikan Bapepam, Abraham Bestari, kepada Erwin Dariyanto dari Tempo. Bank itu sendiri ternyata tak punya izin menjadi agen penjual reksadana.
Aset bodong lainnya di Bank Global berupa obligasi. Dalam laporan keuangan per 31 Desember 2001, pada pos efek, Bank Global diketahui memiliki 21 obligasi korporasi senilai Rp 525 miliar. Antara lain obligasi PT Pupuk Kaltim senilai Rp 67 miliar dan PT PLN senilai Rp 66 miliar. Dalam pos efek yang dibeli dengan janji dijual kembali per 31 Desember, Bank Global memegang sekitar 18 jenis obligasi korporasi senilai Rp 189 miliar. Namun, di kedua pos itu terdapat 14 obligasi korporasi yang sama, alias tercatat dua kali, dengan nilai sekitar Rp 300 miliar.
Praktek pat-pat gulipat juga terjadi dalam penyaluran kredit. Bank Global tercatat menyalurkan kredit Rp 30 miliar kepada sejumlah koperasi. Namun, pemeriksa BI menemukan kredit itu fiktif. Koperasi bersangkutan memang pernah mengajukan permohonan kredit di Bank Global, tapi ditolak. Eh, identitas mereka yang masih tersimpan ternyata diselewengkan oleh manajemen bank tersebut.
Ada juga koperasi yang namanya tetap dipakai padahal kreditnya sudah lunas sejak dua tahun lalu. Aksi busuk itu terungkap setelah pemeriksa BI bersama petugas Kantor Koperasi terjun langsung mengecek ke lapangan. "Kami lihat neracanya, kami tanya pernah tidak dapat kredit dari Bank Global," ujar Yang Ahmad Rizal, Direktur Direktorat Pemeriksaan I Bank Indonesia.
Tak mengherankan jika banyaknya aset bodong ini membuat rasio kecukupan modal (CAR) Bank Global terjun bebas menjadi minus 39 persen. Giro wajib minimum, yang mestinya 5 persen, pun menyusut tinggal 1 persen. Ketika dibekukan, dana tunai yang tersisa tinggal Rp 16,5 miliar. Uang itu pun tak ditemukan di dalam brankas, tetapi di lantai lain: di dalam ruang genset diesel.
Tak salah ucapan Miranda Goeltom ketika mengumumkan pembekuan Bank Global, "... untuk melindungi kepentingan nasabah, mengamankan aset dan dokumen bank, memperkecil kemungkinan kerugian negara yang lebih besar, serta menghindarkan kondisi bank yang makin buruk." BI, kata Miranda, juga telah meminta pihak berwajib mencegah direksi Bank Global bepergian ke luar negeri, karena ada indikasi terlibat tindak pidana perbankan.
Di sini bank sentral dan polisi kalah lincah. Dua hari sebelumnya, Irawan Salim telah terbang ke luar negeri menggunakan Singapore Airlines dengan nomor penerbangan SQ 151, yang lepas landas pukul 06.25. Polisi yang menggeledah kediaman Irawan di Apartemen Sommerset, Kuningan, Jakarta Selatan, hanya menemukan—kemudian menyita—sejumlah dokumen perbankan dalam bentuk kertas, disket, dan arsip komputer.
Tak cuma BI dan Bapepam yang kalang-kabut gara-gara ambruknya Bank Global. Sejumlah investor dana pensiun ikut terkena imbasnya. Mereka diketahui membeli obligasi subordinasi Bank Global senilai Rp 400 miliar, yang dicatatkan di Bursa Efek Surabaya (BES) pada 11 Juni 2003. Dari sekian investor itu, yang paling terpukul adalah Jamsostek dan Pertamina Saving and Investment (PSI), anak perusahaan Pertamina yang bergerak dalam bidang manajemen jasa portofolio dan investasi.
Jamsostek membeli obligasi subordinasi Rp 100 miliar, sedangkan PSI melahap Rp 70 miliar. Kolapsnya Bank Global membuat uang itu dipastikan hilang. Soalnya, kendati mendapat peringkat A- (single A minus) dari PT Kasnic Credit Rating Indonesia, obligasi subordinasi tergolong junior dan tak memiliki perlindungan. Ia harus mendahulukan hak-hak kreditor lain, sementara pemerintah tak memberikan fasilitas penjaminan kepada surat berharga. "Obligasi ini hampir pasti cuma jadi kertas toilet," kata Direktur Utama BES, Hindarmojo Hinuri, kepada Tempo.
Terjerembapnya dua BUMN itu di ranjau Bank Global membuat Menteri Sugiharto berang. Ia mengancam akan mengaudit manajemen BUMN bersangkutan. "Pasti ada sanksi bagi direksi PSI," kata Direktur Utama Pertamina, Widya Purnama, kepada Muhamad Fasabeni dari Tempo. Adapun Direktur Investasi Jamsostek, Samuel Tobing, hanya berkilah pihaknya sudah berencana menjual obligasi itu, cuma belum ada tawaran dari pembeli sampai Bank Global dibekukan.
Pemerintah sendiri ketiban pulung harus membayar dana nasabah yang mencapai Rp 943 miliar bila Bank Global akhirnya ditutup. Dana itu akan dikeluarkan dari rekening 502. Namun penggantian tak berlaku bagi pihak terafiliasi seperti pemilik bank, pengurus bank, dan para keluarganya. Pinjaman nasabah di bank juga harus diperhitungkan dan dibandingkan dengan besar simpanannya.
Jika nilai simpanan lebih besar dari kredit, barulah selisihnya dibayar oleh pemerintah. Tapi, sebelum menyiapkan penggantian dana nasabah, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Darmin Nasution, meminta BI memastikan status Bank Global. "Bank ini beku sementara atau beku mau dimatikan," ujarnya kepada Budi Riza dari Tempo.
Darmin juga menuntut BI menetapkan pemegang saham pengendali di Bank Global. Ia mewanti-wanti agar kasus UniBank yang dibekukan pada 2001 tak terulang. Ketika itu BI telah diingatkan untuk memeriksa dulu pemilik sahamnya sebelum bank tersebut dibekukan. Namun, setelah pembekuan, BI ternyata tak mengetahui siapa pemegang saham mayoritas di UniBank lantaran porsi sahamnya sudah terbagi rata.
Sejauh ini Komisaris Utama Bank Global, Riyanto Sastroatmodjo, telah mengatakan Direktur Utama Irawan Salim merupakan pemegang saham pengendali. Sayangnya BI sendiri belum bersuara. Padahal suara BI sangat ditunggu-tunggu. Soalnya, pemegang saham pengendali akan ikut menanggung pengembalian uang milik nasabah.
Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Irawan Salim, malah mengaku tak tahu urusan pemilikan saham. Ia hanya menjelaskan kliennya sekarang sedang berada di Amerika untuk mencari investor bagi Bank Global. Juan sekaligus membantah Irawan melarikan diri ke luar negeri. "Saya telah meminta Irawan agar segera kembali ke Tanah Air," ujarnya tanpa menyebut batas waktu.
Juan juga membantah manajemen Bank Global mencoba menghilangkan barang bukti. Mengutip Irawan, ia mengatakan sejumlah dokumen memang hendak dipindahkan ke kantor cabang karena mesti dipilah-pilah. Dokumen itu berkisar tahun 2001 dan 2002. Pemilahan dokumen diperlukan untuk persiapan bertemu pihak Bank Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang dicapai pada Jumat dua pekan lalu.
Bank Global, kata Juan, hendak membawa dokumen yang lengkap. "Sejak pulang rapat, direksi dan karyawan Bank Global memilah mana dokumen yang perlu dibawa dan tidak," ujarnya. Jadi, kata Juan, Bank Global justru sangat kooperatif karena mencoba mencari investor ke Amerika. Mudah-mudahan betul begitu.
Nugroho Dewanto, Stepanus S. Kurniawan, Febrina Siahaan
Gombalnya Bank Global
Juni 2004 Bank Sentral mencurigai keanehan dalam portofolio aset Bank Global. Saat itu BI mengirim surat kepada Departemen Keuangan, kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan.
11 Agustus 2004 Bapepam menemukan hampir Rp 1 triliun aset Bank Global berupa surat berharga dan kredit ternyata fiktif. Hanya sekitar Rp 250 miliar yang betul-betul ada.
27 Oktober 2004 BI memasukkan Bank Global ke unit pengawasan khusus. Anjloknya rasio kecukupan modal (CAR) Bank Global menjadi di bawah 8 persen karena memburuknya kualitas aktiva produktif berupa surat berharga dan pemberian kredit menjadi alasan tindakan itu.
5 November 2004 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memasukkan Bank Global ke kategori bank yang tidak kooperatif dan melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan.
29 November 2004 Puluhan nasabah Bank Global mendatangi kantor pusat bank itu di Menara Global, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Mereka mempertanyakan nasib dananya dalam produk reksadana Prudence dan deposito yang belum bisa dicairkan kendati ada yang sudah jatuh tempo.
1 Desember 2004 Pejabat Ketua Bapepam, Darmin Nasution, meminta direksi Bank Global memberikan penjelasan. Direktur Utama Bank Global, Irawan Salim, menyatakan bank itu akan melakukan rights issue Rp 500 miliar pada 3 Januari 2005.
3 Desember 2004 Direksi Bursa Efek Jakarta (BEJ) memanggil direksi Bank Global, sekaligus meminta penjelasan soal kisruh yang terjadi di bank itu. BEJ juga meminta penjelasan tertulis dari direksi Bank Global.
6 Desember 2004 Bank Indonesia secara resmi mengumumkan masuknya Bank Global dalam unit pengawasan khusus, menyusul gencarnya pemberitaan tentang kondisi bank itu di media massa
9 Desember 2004 BEJ menghentikan sementara perdagangan (suspend) saham Bank Global. Sanksi dijatuhkan karena belum adanya penjelasan dari direksi Bank Global atas permintaan jawaban tertulis yang diminta BEJ pada 3 Desember. Manajemen bank itu tak kunjung menjelaskan beberapa informasi material yang dapat mempengaruhi kinerja dan kelangsungan usahanya.
11 Desember 2004 Direktur Utama Bank Global, Irawan Salim, melarikan diri ke luar negeri. Pengacara Irawan, Juan Felix Tampubolon, belakangan membantah kliennya kabur. Irawan, menurut Juan, sedang melobi investor yang akan menyuntikkan dana ke Bank Global.
13 Desember 2004 BI dan kepolisian berhasil menggagalkan upaya pemindahan dokumen Bank Global. Dokumen yang sempat dibawa ke dalam dua truk berukuran sedang itu rencananya akan dipindahkan manajemen Bank Global dari kantor pusat bank ke suatu tempat. Keesokan harinya polisi menyita dokumen itu.
14 Desember 2004 BI membekukan kegiatan usaha Bank Global. Berbagai langkah penyehatan yang diminta BI kepada pengurus untuk memperbaiki kondisi bank, seperti penyetoran tambahan modal dari pemegang saham pengendali sebagaimana yang dijanjikan dalam capital restoration plan (CRP) dengan batas waktu selambat-lambatnya, 13 Desember 2004, tidak dapat dipenuhi.
Kepolisian menahan delapan karyawan Bank Global. Mereka resmi menjadi tersangka. Kepolisian juga mengeluarkan perintah cegah terhadap Direktur Utama Bank Global Irawan Salim, Direktur Operasional Rico Santosa, dan Komisaris Steven.
17 Desember 2004 Komisaris Steven alias Stepanus menyerahkan diri ke polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo