Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dunia Lewis, Dunia Perkelahian

Buku yang memuji sekaligus mengkritik perkembangan kebudayaan Islam. Ada kecenderungan reduksionistis dalam karya-karya pengarang.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis Islam, Antara Jihad dan Teror yang Keji Pengarang: Bernard Lewis Alih Bahasa: Ahmad Lukman Penerbit: Ina Publikatama, 2004 Tebal: 163 halaman

Apa yang Salah? Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Umat Islam Pengarang: Bernard Lewis Penerbit: Ina Publikatama, 2004 Tebal: 209 halaman

IA memang seorang maestro, engku guru terhormat di perguruan tinggi terhormat, Universitas Princeton. Kala usianya di penghujung 80-an tahun, ia menyodorkan sesuatu yang berharga sekaligus praktis pada dunia Barat yang sedang melongo, dunia yang susah-payah mencoba memahami apa yang baru saja menimpa.

Ya, ketika menara kembar World Trade Center, New York, runtuh jadi puing tiga tahun lalu, ia, Profesor Bernard Lewis, muncul dengan What Went Wrong—buku yang kini sudah dialihbahasakan jadi Apa yang Salah? Sebab-sebab Runtuhnya Khilafah dan Kemunduran Islam. Islam sekarang, demikian Lewis menggambarkan, sebuah entitas yang terdiri dari orang yang mengalami post-power syndrome. Orang-orang yang sadar akan superioritas posisinya dalam satu kurun sejarah: Kristen Eropa yang diselimuti kegelapan di satu pihak, dan adikuasa militer-ekonomi (baca: kerajaan-kerajaan Islam) yang jadi pelopor pengembangan seni dan sains di lain pihak.

Apa yang Salah bukanlah sebuah success story. Lewis melukiskan betapa Islam adalah juga orang-orang yang terkejut melihat tentara Napoleon Bonaparte sekonyong-konyong muncul di Mesir pada 1798—titik awal yang menandakan kekalahan-ketidakberdayaan Islam. Dalam karya yang sempat berbulan-bulan jadi buku terlaris itu, Bernard Lewis memperlihatkan satu periode yang jadi biang keladi kemunduran. Periode yang terletak di antara Renaisans dan Revolusi Industri, pada saat Eropa mulai mencapai beberapa kemajuan teknologi. Sejak itu segalanya berubah. Dan Islam seakan bangun dari kealpaannya, baru menyadari setelah nasi jadi bubur.

Bernard Lewis tak menggunakan istilah post-power syndrome, tapi ia melukiskan kondisi itu dengan segenap ilustrasi yang dimiliki seorang sejarawan. Dalam buku selanjutnya, Crisis of Islam (diindonesiakan jadi Krisis Islam, Antara Jihad dan Teror yang Keji) ahli Timur Tengah ini bergerak ke dunia yang lebih kontemporer. Dunia dengan sebagian orang Islam sibuk mencari-cari titik-titik kemunduran yang meliputi hampir semua bidang, sekaligus mencari jalan keluarnya. Tapi rupanya bukan itu yang merupakan pusat perhatian Lewis. Ia banyak mengisi halaman Krisis Islam dengan orang-orang yang sibuk mencari ”siapa yang salah” ketimbang ”apa yang salah” dalam krisis ini. Dan di antara mereka yang mencari kambing hitam ini, ia menjumpai figur yang begitu tepat mewakili tesisnya: Usamah bin Ladin.

Kita tahu, Bin Ladin terpukau dan berhenti pada satu tema sejarah: Islam lawan Barat. Kita juga tahu, Lewis bukan Bin Ladin. Tapi dari buku-buku Apa yang Salah dan Krisis Islam, perlahan kita bisa menyimpulkan satu dunia yang dibayangkan Bernard Lewis: benturan itu benar-benar terjadi, kemajuan Barat adalah juga kemunduran Islam, atau sebaliknya. Ia melihat dunia yang selalu terbelah oleh konflik dua kepentingan—pandangan yang perlahan menggiringnya pada kebiasaan melakukan generalisasi. Lewis memang tidak segamblang Huntington, pengarang Clash of Civilization (1993) ketika menggambarkan benturan itu. Tapi semua tahu, dialah inspirator. Huntington memetik ide tentang benturan dari sebuah karya Lewis, The Roots of Muslim Rage (1990).

Bernard Lewis seorang maestro dalam kajian Timur Tengah, terutama Turki. Tapi, khususnya untuk kita yang berada di Indonesia, mungkin benturan raksasa itu bukan sesuatu yang mempunyai pijakan sejarah. Wajah Islam tidak selalu satu. Di sini kita terbiasa dengan berbagai koeksistensi: tradisional-modern, santri-abangan, konservatif-progresif, dan banyak lagi. Lewis memang seorang yang menghabiskan 60 tahunan hidupnya untuk pengembangan studi Timur Tengah. Tapi generalisasi yang dibawakannya acap mengerikan.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus