Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
TikTok Shop dapat menjangkau segmen konsumen yang lebih luas.
Pedagang berkeberatan atas lonjakan biaya admin e-commerce.
Banyak tokoh publik dan pemengaruh yang berjualan melalui media sosial.
TREN berjualan barang secara interaktif melalui TikTok menarik perhatian Azmi Ismail—bukan nama sebenarnya. Selama ini, pemilik toko kemeja pria di lantai dasar Pusat Grosir Tanah Abang itu mengandalkan promosi melalui toko daring, seperti Tokopedia dan Shopee.
Walau berdagang di lokapasar terbukti membantu bisnis pakaiannya, ia menilai taktik obral yang ditempuh TikTok Shop lebih unik. “Pasarnya sedang hype di sana. Saya akan mencoba berjualan di TikTok mulai bulan depan,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Karena formatnya berupa media sosial, Azmi memperkirakan TikTok Shop bakal menjangkau segmen konsumen yang lebih luas selain pembeli dari kalangan pria dewasa. Kini, dia menyiapkan sederet produk, terutama kemeja bermotif dan kemeja batik, untuk dijual lewat tayangan langsung TikTok Shop.
“Syarat pendaftaran TikTok Shop mudah. Tinggal menggunakan KTP atau paspor setelah mengisi data diri. Saya sedang menunggu verifikasi,” kata dia.
Niat untuk menjajal TikTok Shop dilontarkan pula oleh Isma Savitri, yang berdagang pakaian untuk ibu menyusui. Ia mengaku berkeberatan atas lonjakan biaya admin dari dua e-commerce yang dipakainya selama dua tahun terakhir ini. Salah satu e-commerce, kata dia, menaikkan potongan biaya admin untuk setiap transaksi dari 6 persen menjadi 8 persen sejak awal Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isma pun mendaftar TikTok Shop tak lama setelah menerima pesan elektronik berisi promosi dari tim pemasaran aplikasi media sosial buatan ByteDance tersebut. “Skema klaim transaksi di TikTok Shop kelihatannya lebih mudah, tapi masih saya pelajari lagi.”
Isma menyadari salah satu tantangan yang bakal dihadapi adalah pencarian segmen pasar yang tepat. Sebab, pemakai TikTok kebanyakan kelompok remaja, sedangkan produk utama Isma adalah pakaian untuk ibu menyusui. “Saya harus mencari segmen tertentu, tapi social commerce patut dicoba,” ucapnya.
Mengacu pada hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menyebutkan sekitar 90,5 persen promosi penjualan barang di ranah digital memakai aplikasi pesan singkat, seperti WhatsApp, Line, dan Telegram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejual menawarkan barang dagangannya secara LIVE SALE melalui salah satu toko daring di toko kegiatan luar ruang Angsana kawasan Sudimara, Tangerang Selatan, Banten, 12 Desember 2022. Tempo/Tony Hartawan
Tidak Resmi
Adapun media sosial berada di tempat kedua yang dipakai oleh 65,1 persen pengusaha yang disurvei BPS. Adapun aplikasi lokapasar ada di posisi ketiga. “Penjualan barang di media sosial lebih besar, tapi sifatnya tidak resmi karena di luar sistem pemerintah,” ucap Nailul. Sifat tak resmi ini juga yang membuat social commerce minim biaya admin dan pajak.
Komunikasi antara penjual dan pembeli dalam social commerce, seperti TikTok Shop, juga dipermudah oleh adanya fitur pesan pribadi yang biasa ditemui di aplikasi media sosial. “TikTok melihat peluang ini dan menyempurnakan fitur tayangan langsung. Jadi, selain murah, ada unsur user experience yang segar,” ujar Nailul.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan nilai transaksi dari penjualan tayangan langsung berpotensi menembus US$ 35 miliar atau setara dengan Rp 375 triliun pada tahun depan. Menurut dia, metode penjualan daring berkembang karena banyaknya tokoh publik dan pemengaruh yang berjualan di media sosial, baik produk pribadi maupun titipan atau afiliasi. “Konsumen bosan dengan platform e-commerce yang hanya berisi etalase produk,” kata Bhima.
Adapun Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), Bima Laga, optimistis tren dagang interaktif di media sosial tak akan mengusik pasar e-commerce. Terlebih, para pengelola aplikasi lokapasar juga sudah mengembangkan model berjualan yang serupa dengan media sosial. “E-commerce membangun fitur tayangan langsung pengenalan produk. Cuma memang algoritma medsos sedikit berbeda,” ujarnya.
Bima optimistis pasar e-commerce masih akan terus tumbuh pada tahun-tahun mendatang. Dalam laporan e-Conomy SEA 2022 yang terbit pada kuartal terakhir 2022, angka gross merchandise value (GMV) ekonomi digital di Indonesia diperkirakan menembus US$ 77 miliar pada akhir 2022. Sebanyak 77 persen dari nilai tersebut disumbang oleh kegiatan e-commerce.
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo