SEORANG wartawan hari itu memergoki sejumlah mahasiswa
Universitas Indonesia berjaket kuning memhawa poster protes
melakukan aksi duduk di lobby gedung DPR, Jakarta. Isi poster
kebanyakan mengecam kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK). Semua ini ditulis oleh sang wartawan dalam laporan
kepada redaktur korannya .
Laporan itu, dalam penilaian jurnalistik, tidak lengkap. Bahkan
"kerin,". i wartawan lalu diperirtahkan reakturnya
mewawancara pimpinan DPR, mengorek latar belakang aksi mahasiswa
dari ketua delegasi, lalu mencari komentar Rektor UI. Kalau bisa
sangat dipujikan adalah komentar Menteri P & K Dr. Daoed Joesoef
terhadap aksi itu.
Esok pagi berita itu tersaji lengkap di halaman depan. Benarkah
di situ terjadi pencampuradukan fakta dan opini? Persoalan ini
sebenarnya sudah jelas dalam teori dan praktek jurnalistik
selama bertahun-tahun, tapi pekan lalu rupanya jadi perdebatan.
Yang memutai adalah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Pekan lalu,
selesai menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, ia mengecam
pers Indonesia. Katanya, belakangan terasa banyak pemberitaan
pers yang mencampur adukkan fakta dan opini. Menurut Sudomo.
opini seseorang bukanlah fakta, jadi jangan diulis dalam
berita.
Hanya dua hari kemudian Wakil Presiden Adam Malik juga di Bina
Graha coba menjelaskan perbedaan antara fakta dan opini kepada
wartawan. Menurutnya, opini dari seseorang yang dikutip pers
bukanlah opini dari pers yang bersangkutan. "Tapi tetap
merupakan opini orang yang dikutip, dan hal itu dari sudut
pandangan pers adalah fakta," kata Wapres Adam Malik. Opini itu
bisa dipertanggung jawabkan, "asalkan pers menyebut sumbernya
dengan jelas."
Baik Suardi Tasrif SH, Ketua Dewan Kehormatan PWI, maupun Haji
Rosihan Anwar, Ketua Dewan Pembina PWI, setuju dengan pendapat
Adam Malik -- yang memang bekas wartawan. "Ucapan pendapat atau
penilaian orang lain yang kemudian dikutip pers adalah fakta
bagi si wartawan," kata S. Tasrif. "Kalau pers hanya
memberitakan aksi duduk saja (seperti berita yang ditulis dalam
contoh di atas --red.) jelas kurang lengkap dan kering. Untuk
menghasilkan pemberitaan yang baik dan berimbang, sang wartawan
juga harus memperoleh latar belakang aksi mogok itu," kata
Rosihan dalam wawancara terpisah.
Bahkan Soewarno SH, Penanggung Jawab/Pimpinan Redaksi, Suara
Merdeka Semarang menyebut, "yang diucapkan Pak Sudomo salah,
sedang pendapat Adam Malik adalah benar." Sepanjang pers
menyebut jelas sumber opini, lanjutnya, pers tetap menyiarkan
fakta. "Untung Wapres Adam Malik cepat memberi tanggapan dan
menjernihkan persoalan. Kalau tidak, pers bisa keliru terus,"
komentar Soendoro, dosen Sejarah Publisistik di Fak. Sosial
Politik UGM .
Seandainya pendapat Pangkopkamtib jadi pegangan, memang bisa
ramai. Misalnya pidato Presiden menilai keadaan sebagai
"memprihatinkan". Karena penilaian adalah opini, apakah tak
holeh dimuat? Padahal menurut Widminarko, Wakil Penanggung
Jawab Bali Post, "koran sekarang lebih banyak menyiarkan opini
pejabat pemerintah." Ia memberi contoh misalnya tentang ucapan
pejabat, "pedagang jangan menaikkan harga seenak perut." Bahkan
tanpa melakukan pengecekan kembali, pers langsung memuat.
Tapi betapa pun secara teknis mudah membedakan mana fakta dan
opini, seperti yang tertuang dalam kode etik, tapi dalam praktek
diakui wartawan kawakan Rosihan, memang sulit. "Apalagi kalau
yang menilai hanya satu pihak saja," katanya.
Kepentingan
Meski demikian Wakil Presiden Adam Malik meminta pers untuk
mempertimbangkan dalam mengutip opini seseorang. Ia meminta pers
tidak memuat opini seseorang yang "merugikan kepentingan
nasional". Ini kalimat yang sukar secara persis dijadikan
pegangan, karena misalnya membongkar penyelewengan tingkat
tinggi belum tentu dianggap sesuai dengan "kepentingan
nasional". Tapi Menteri Penerangan Ali Moertopo sependapat
dengan Wapres Adam Malik. Karena fungsi pers Indonesia juga
sebagai media pendidikan, pers diharapkan tidak memuat, "hal-hal
yang malah mengaburkan," katanya selesai bertemu Presiden di
Cendana pekan lalu.
Tasrif tampaknya sependapat dengan Wapres Adam Malik dan Menteri
Ali Moertopo. Tidak seharusnya memang, menurut Tasrif, pers
menyiarkan ucapan sseorang yang bisa merugikan nama baik orang
lain tanpa didukung bukti, walau ucapan itu sendiri adalah
fakta. "Mintalah kesempatan orang yang dirugikan namanya itu
untuk menjawab opini lawan," kata Tasrif.
Dari semua pendapat itu nampaknya yang paling baru dan lain
adalah pendapat Pangkopkamtib.
Untuk memecahkan perbedaan penafsiran ini, menurut Rosihan,
antara pers dan pemerintah harus saling mendidik. "Jangan kita
saja yang dididik oleh pemerintah, kita pun harus mendidik
pemerintah," kata wartawan kawakan ini. "Bukan hanya Kopkamtib
saja, tapi juga Menteri-menterinya."
Para wartawan Indonesia banyak yang bakal setuju. Umumnya
pejabat belum paham benar cara kerja pers, adanya istilah
off-the-record yang berbeda dengan background briefing, adanya
hak jawab dan bahkan adanya kode etik yang umurnya sudah lama.
Jangan kecut: para wartawan juga banyak yang belum paham, sih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini