Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Opini tentang opini

Pangkopkamtib sudomo menilai pers indonesia mencampuradukkan fakta dengan opini. adam malik dan wartawan lain membantah. sebagai media pendidikan pers harus mempertimbangkan penulisan opini. (md)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG wartawan hari itu memergoki sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia berjaket kuning memhawa poster protes melakukan aksi duduk di lobby gedung DPR, Jakarta. Isi poster kebanyakan mengecam kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Semua ini ditulis oleh sang wartawan dalam laporan kepada redaktur korannya . Laporan itu, dalam penilaian jurnalistik, tidak lengkap. Bahkan "kerin,". i wartawan lalu diperirtahkan reakturnya mewawancara pimpinan DPR, mengorek latar belakang aksi mahasiswa dari ketua delegasi, lalu mencari komentar Rektor UI. Kalau bisa sangat dipujikan adalah komentar Menteri P & K Dr. Daoed Joesoef terhadap aksi itu. Esok pagi berita itu tersaji lengkap di halaman depan. Benarkah di situ terjadi pencampuradukan fakta dan opini? Persoalan ini sebenarnya sudah jelas dalam teori dan praktek jurnalistik selama bertahun-tahun, tapi pekan lalu rupanya jadi perdebatan. Yang memutai adalah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Pekan lalu, selesai menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, ia mengecam pers Indonesia. Katanya, belakangan terasa banyak pemberitaan pers yang mencampur adukkan fakta dan opini. Menurut Sudomo. opini seseorang bukanlah fakta, jadi jangan diulis dalam berita. Hanya dua hari kemudian Wakil Presiden Adam Malik juga di Bina Graha coba menjelaskan perbedaan antara fakta dan opini kepada wartawan. Menurutnya, opini dari seseorang yang dikutip pers bukanlah opini dari pers yang bersangkutan. "Tapi tetap merupakan opini orang yang dikutip, dan hal itu dari sudut pandangan pers adalah fakta," kata Wapres Adam Malik. Opini itu bisa dipertanggung jawabkan, "asalkan pers menyebut sumbernya dengan jelas." Baik Suardi Tasrif SH, Ketua Dewan Kehormatan PWI, maupun Haji Rosihan Anwar, Ketua Dewan Pembina PWI, setuju dengan pendapat Adam Malik -- yang memang bekas wartawan. "Ucapan pendapat atau penilaian orang lain yang kemudian dikutip pers adalah fakta bagi si wartawan," kata S. Tasrif. "Kalau pers hanya memberitakan aksi duduk saja (seperti berita yang ditulis dalam contoh di atas --red.) jelas kurang lengkap dan kering. Untuk menghasilkan pemberitaan yang baik dan berimbang, sang wartawan juga harus memperoleh latar belakang aksi mogok itu," kata Rosihan dalam wawancara terpisah. Bahkan Soewarno SH, Penanggung Jawab/Pimpinan Redaksi, Suara Merdeka Semarang menyebut, "yang diucapkan Pak Sudomo salah, sedang pendapat Adam Malik adalah benar." Sepanjang pers menyebut jelas sumber opini, lanjutnya, pers tetap menyiarkan fakta. "Untung Wapres Adam Malik cepat memberi tanggapan dan menjernihkan persoalan. Kalau tidak, pers bisa keliru terus," komentar Soendoro, dosen Sejarah Publisistik di Fak. Sosial Politik UGM . Seandainya pendapat Pangkopkamtib jadi pegangan, memang bisa ramai. Misalnya pidato Presiden menilai keadaan sebagai "memprihatinkan". Karena penilaian adalah opini, apakah tak holeh dimuat? Padahal menurut Widminarko, Wakil Penanggung Jawab Bali Post, "koran sekarang lebih banyak menyiarkan opini pejabat pemerintah." Ia memberi contoh misalnya tentang ucapan pejabat, "pedagang jangan menaikkan harga seenak perut." Bahkan tanpa melakukan pengecekan kembali, pers langsung memuat. Tapi betapa pun secara teknis mudah membedakan mana fakta dan opini, seperti yang tertuang dalam kode etik, tapi dalam praktek diakui wartawan kawakan Rosihan, memang sulit. "Apalagi kalau yang menilai hanya satu pihak saja," katanya. Kepentingan Meski demikian Wakil Presiden Adam Malik meminta pers untuk mempertimbangkan dalam mengutip opini seseorang. Ia meminta pers tidak memuat opini seseorang yang "merugikan kepentingan nasional". Ini kalimat yang sukar secara persis dijadikan pegangan, karena misalnya membongkar penyelewengan tingkat tinggi belum tentu dianggap sesuai dengan "kepentingan nasional". Tapi Menteri Penerangan Ali Moertopo sependapat dengan Wapres Adam Malik. Karena fungsi pers Indonesia juga sebagai media pendidikan, pers diharapkan tidak memuat, "hal-hal yang malah mengaburkan," katanya selesai bertemu Presiden di Cendana pekan lalu. Tasrif tampaknya sependapat dengan Wapres Adam Malik dan Menteri Ali Moertopo. Tidak seharusnya memang, menurut Tasrif, pers menyiarkan ucapan sseorang yang bisa merugikan nama baik orang lain tanpa didukung bukti, walau ucapan itu sendiri adalah fakta. "Mintalah kesempatan orang yang dirugikan namanya itu untuk menjawab opini lawan," kata Tasrif. Dari semua pendapat itu nampaknya yang paling baru dan lain adalah pendapat Pangkopkamtib. Untuk memecahkan perbedaan penafsiran ini, menurut Rosihan, antara pers dan pemerintah harus saling mendidik. "Jangan kita saja yang dididik oleh pemerintah, kita pun harus mendidik pemerintah," kata wartawan kawakan ini. "Bukan hanya Kopkamtib saja, tapi juga Menteri-menterinya." Para wartawan Indonesia banyak yang bakal setuju. Umumnya pejabat belum paham benar cara kerja pers, adanya istilah off-the-record yang berbeda dengan background briefing, adanya hak jawab dan bahkan adanya kode etik yang umurnya sudah lama. Jangan kecut: para wartawan juga banyak yang belum paham, sih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus